Aku Pulang (Bagian 2)

919 56 10
                                    

Hari ini adalah tanggal 31 desember. Pagi-pagi sekali aku membereskan barang-barang yang akan ku bawa pulang ke Indonesia. Mulai dari baju, celana, laptop, dan lain sebagainya aku bawa. Dan yang tidak boleh tertinggal adalah perlengkapan shalat.

Ketika aku melihat alkitab berada di tumpukan buku-bukuku, sempat terpikir olehku untuk membawanya. Namun untuk apa? Sekarang aku sudah menjadi umat muslim. Lagipula tujuanku pulang ke Indonesia adalah untuk menceritakan keislamanku. Bukan untuk kembali mengikuti agama yang dulu.

Semua sudah masuk kedalam koper. Ah, rasanya tak sabar untuk segera sampai di rumah. Aku sangat merindukan suasana rumah. Aku pun siap-siap dan segera berangkat dari rumah kontrakan.

Begitu sampai di bandara, aku langsung membuka handphone karena aku mendengar ada pesan masuk di whatsapp. Rupanya itu dari Jannah. Beginilah isi pesannya.

From: Jannah

Semoga Allah selalu melindungimu. Save flight Ricky.

Begitulah isi pesannya. Singkat, namun berkesan bagiku. Aku pun membalas sambil tersenyum. Mungkin aku sudah seperti orang gila karena senyum-senyum sendiri.
Selama beberapa jam berada di dalam pesawat, akhirnya aku tiba juga di bandara Soekarno-Hatta. Aku mencari-cari kak Meylanie karena ia lah yang akan menjemputku.

Beberapa saat kemudian aku menemukan kak Meylanie.

"Hey Ricky!" sapa kak Meylanie seraya menepuk bahuku.

"Wah gila, kau semakin terlihat tampan saja," seru kak Meylanie yang suka sekali menggodaku. Aku sudah hafal dengan sifatnya ini, tapi kenapa ia harus bilang begitu di bandara? Ini benar-benar memalukan. Kak Meylanie sama memalukannya seperti ibu yang suka menggoda seperti ini.

"Ah, aku memang sudah tampan dari sananya, tidak perlu heran lagi lah," Aku pun membalas dengan candaan seperti itu. Orang-orang melirikku dan kak Meylanie dengan tatapan yang sangat aneh. Mungkin orang-orang akan berpikir bahwa kami ini adalah dua orang gila yang baru saja kabur dari rumah sakit jiwa. Namun aku tidak peduli itu. Yang penting aku bisa berkumpul lagi dengan keluargaku untuk beberapa hari.

"Ya sudah, ayo kita pulang kak. Aku lapar sekali," ucapku sambil memajukan bibir. Kak Meylanie pun tertawa melihatku seperti itu.

"Haha... iya-iya, ayo," ajak kak Meylanie.

sesampainya di rumah, sudah ku duga ibu akan berteriak heboh ketika melihatku. Dan ternyata benar. Bahkan ibu terus memelukku dengan sangat erat tanpa mau untuk melepaskanku.

"Hey bu, kau ini memalukan sekali. Aku ini sudah dewasa bu. Sudah, lepaskan aku," seruku sambil berpura-pura memajukan bibir.

"Kau ini, baru beberapa bulan berpisah tapi sekarang kau tidak mau di peluk ibu," jawab ibu. Kali ini giliran ibu yang memajukan bibirnya. Hm... raut wajah ibu sungguh menggemaskan.

"Hehe... aku hanya bercanda bu," ujarku sambil tersenyum. Aku lantas membereskan barang-barang bawaanku. Setelah itu aku pun makan bersama ibu dan kak Meylanie.

"Rencananya kau berapa hari berada di Indonesia Ricky?" tanya ibu.

"Sekitar seminggu bu," jawabku sambil mengambil lauk.

"Ah, sebentar sekali nak," kata ibu. Dari raut wajah ibu, ia tampak kecewa sekali. Aku pun tersenyum.

"Namanya juga kerja bu. Aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku lama-lama," sahutku. Aku baru sadar kalau ayah tidak menunjukan batang hidungnya.

"Oh iya, ayah dimana bu?" tanyaku. Ibu menjawab.

"Biasa deh. Ayahmu sedang berkampanye. Hari ini adalah kampanye terakhir, karena minggu depan sudah mulai pemilu untuk putaran kedua," jawab ibu yang terlihat datar sekali. Aku tersenyum mendengarnya.

"Ayahmu sedang berjuang mati-matian untuk memenangkan pemilu. Tapi entah kenapa ibu tidak ingin ayahmu menjadi gubernur," ucap ibu dengan wajah yang sangat datar, sungguh tidak seperti ibuku yang biasanya.

"Ibu, pasrahkan saja semuanya kepada Tuhan. Soal ayah menang atau kalah dalam pemilihan gubernur ini, biarlah Tuhan yang mengaturnya. Tuhan lah yang tahu kualitas sesungguhnya dari diri manusia bu," ujarku sembari memegangi tangannya. Ibu pun mengangguk dan tersenyum.

*****

Malam itu aku sedang berada di kamar. Biasanya jika aku sudah berada di dalam kamar, aku akan menghabiskan waktu untuk bermain game online.

Namun kali ini tidak. Kali ini aku menghabiskan waktuku di kamar dengan shalat dan mengaji secara lirih agar tak ada yang mendengarku. Lagipula, keluargaku sudah tidur. Jadi rasanya aku tak enak jika mengganggu mereka dengan suara mengaji ini.

Jika berada di dalam kamar, rasanya aku ingin mencopot salib yang menempel di dinding kamarku. Namun aku belum berani melakukan itu. Maklum saja, keluargaku masih belum tahu soal kemuafalan diriku, karena aku masih menyiapkan nyali untuk mengatakannya.

Tepat jam dua belas malam, terompet yang berbunyi dari luar pun terdengar. Akhirnya tahun yang lama berganti dengan tahun yang baru. Tiba-tiba aku teringat dengan Jannah. Aku pun segera meneleponnya. Dan ternyata ia masih belum tidur.

"Assalamu'alaikum, Jannah," sapaku.

"Wa'alaikumsalam, Ricky," jawabnya.

"Selamat tahun baru ya. Em... semoga Allah mengabulkan segalanya yang kau harapkan di tahun yang baru ini dan di tahun-tahun yang akan datang," ucapku dengan senyuman. Jannah pun menjawab.

"Amin... terima kasih Ricky. Kau juga, semoga Allah selalu membimbingmu ke jalan yang lurus dan juga yang terindah untukmu Ricky," jawab Jannah. Aku mengamini do'anya.
Kami pun mengobrol selama beberapa menit hingga kami benar-benar mengantuk malam itu.

***** TBC *****

Maaf, pendek lagi🙏

Tapi insyaAllah, besok lebih panjang. Makasih.

Tinggalkan jejak ya 😘

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang