Aku Pulang (Bagian 3)

877 52 9
                                    

* Dian pov *

Hari ini aku pergi untuk bertemu dengan Ricky. Kami memang hari ini janjian pergi ke kafe  untuk  menghabiskan waktu selama kami di Jakarta.  Dan hari ini juga aku berencana untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku tidak tahu apakah Ricky memiliki perasaan yang sama denganku atau tidak, namun aku yakin dia akan menyambut perasaan cinta ini.

"Assalamu'alaikum, Dian. Maaf aku membuatmu menunggu. Kau tahu kan bagaimana macetnya kota Jakarta? Itulah penyebab aku datang terlambat," ucap Ricky sambil mengatur nafasnya yang tak karu-karuan. Terlihat sekali kalau dia baru saja berlari.

"Iya, tidak masalah kok," sahutku sambil tersenyum.

"Em... kau sudah memesan makanan?" tanya Ricky. Aku pun menggelengkan kepalaku.

"Belum. Aku sengaja menunggumu agar kita bisa memesan makanan sama-sama," jawabku.

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memanggil pelayan," ujar Ricky. Ia lantas memanggil pelayan, sementara aku sibuk memilih menu makanan yang tersedia di atas meja. Tak lama kemudian kami selesai memesan makanan dan pelayan pun pergi.

"Ngomong-ngomong ada apa kau mengajakku kesini?" tanya Ricky. Jujur saja, aku sedikit bingung mau menjawab apa saat ini. Karena jantungku berdetak sangat kencang sekarang, seperti genderang yang mau berperang. Ah kenapa jadi seperti lirik lagu begini? Pria yang ada di depanku ini memang selalu berhasil membuatku gugup.

"Em... aku ingin mengatakan sesuatu Ricky," ucapku sambil menggenggam erat kedua tanganku sendiri.

"Ada apa?" tanya Ricky. Aku pun menghela napas panjang dan mengumpulkan segenap keberanianku.

"Ricky... aku... mencintaimu..." Aku pun menundukkan kepala. Jujur saja, saat ini aku tak ingin mendengar penolakan apapun dari Ricky.

Setelah berhasil mengatakannya, aku  mengangkat wajahku untuk menatap Ricky. Dia terlihat sangat kaget. Dia tercengang melihatku. Untuk sesaat dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Matanya terlihat sekali jika ia sedang berpikir keras. Namun akhirnya ia pun berbicara.

"Maaf Dian... tapi selama ini aku hanya menganggapmu sebagai sahabat," kata-kata yang keluar dari mulut Ricky bagaikan badai bagiku. Bagaimana tidak? Ia menolakku...

"Aku... aku mencintai seorang wanita. Tapi itu... bukan kau Dian..." lanjutnya sambil menghela napas panjang.

Entahlah seperti apa hatiku saat ini. Aku merasa sangat hancur bagaikan gelas yang pecah menjadi serpihan kaca kecil-kecil dan bisa melukai seseorang yang mencoba untuk menyentuhnya. Air mataku rasanya hampir tumpah saat ini. Aku pun menundukkan kepalaku.

"Jannah?" tanyaku padanya. Ricky pun mengangguk.

"Maafkan aku Dian..." ujar Ricky. Aku mencoba untuk menahan tangisku. Namun itu rasanya tidak mungkin. Aku berlari meninggalkan kafe dan tak memedulikan Ricky yang telah memanggilku.

Sampai di rumah, lagi-lagi aku mendengar kedua orang tuaku bertengkar hebat. Sungguh, ini membuat hatiku semakin tak karuan. Aku berlari menuju kamar. Sedangkan mereka masih terus bertengkar.

Aku benar-benar merasa frustasi. Tak ada artinya lagi semua hal yang telah aku lakukan. Aku melepas kerudungku, dan bertekad untuk tak memakainya lagi.

"Kenapa kau melakukan ini padaku Ya Allah!? Kenapa kau sungguh tidak adil kepadaku!" protesku kepada Allah dengan kerasnya. Aku tak peduli apakah ada yang mendengarku atau tidak. Aku tak mau tahu. Aku pun menghancurkan seluruh barang-barangku yang ada di kamar. Aku melihat sebilah pisau di atas meja dan memegangnya. Entah apa yang merasukiku saat ini. Aku ingin sekali mati.

"Baiklah... jika ini satu-satunya jalan untuk menyelesaikan semua ini, maka aku akan melakukannya..."

*****
* Ricky pov *

Beberapa hari lagi aku akan kembali ke Malaysia untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku teringat dengan tujuanku datang kesini, yaitu aku harus mengatakan keislamanku kepada keluargaku. Namun jujur saja, saat ini hatiku tidak siap untuk mengatakannya. Tapi mau tidak mau aku harus mengatakannya.

Sekarang aku sudah mulai untuk menyiapkan barangku sedikit demi sedikit. Namun teriakan ibu ini sungguh memekakkan telinga.

"Ricky, sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan!" seru ibu. Aku pun membalas dengan sedikit berteriak juga.

"Iya-iya, baiklah!" seruku. Aku pun keluar dari kamar.

Ketika sampai di meja makan, seperti biasa, kami berdo'a bersama. Kecuali aku, aku berdo'a dengan do'a yang diajarkan oleh agama islam. Hanya saja cara menengadahkan tanganku yang masih seperti orang kristen ketika berdo'a. Tentu hal itu aku lakukan agar keluargaku tidak curiga.

Selesai berdo'a, kami pun langsung menyantap makanan yang sudah tersedia di meja makan.

"Kamu kapan kembali ke Malaysia Ricky?" tiba-tiba ayah membuka pembicaraan seperti itu. Aku lantas menjawab.

" Masih beberapa hari lagi kok yah. Memang kenapa?" tanyaku. Ayah lalu menjawab.

"Dua minggu lagi kan pemilihan gubernur berlangsung. Kau tidak mau pulang kesini untuk mencoblos?" tanya ayah. Jujur saja, sebenarnya aku tak terpikir untuk pulang hanya untuk mengikuti berlangsungnya pemilu.

"Em... entahlah, aku sangat sibuk. Jadi aku tak yakin apakah aku bisa pulang atau tidak. Tapi aku akan mengusahakannya," jawabku.

"Hm... ya sudah, terserah kamu saja, Nak," sahut ayah. Aku pun menyelesaikan makanku lagi sampai habis.

Aku masuk ke kamar. Namun, tiba-tiba handphoneku berbunyi.

"Assalamu'alaikum," ucapku.

"Wa'alaikumsalam," Sebuah suara yang terdengar seperti suara seorang wanita tua itu menjawab salamku.

"Benar ini den Ricky?" tanya wanita itu. Aku pun mengiyakan.

"Iya, tapi maaf. Ini siapa?" aku balik bertanya kepada wanita itu.

"Em... saya adalah pembantu di rumahnya non Dian. Non Dian... ada di rumah sakit, den..." jawab wanita tua itu yang terdengar ketakutan. Aku kaget mendengarnya.

"Hah? Apa Dian sakit bi?" tanyaku dengan sedikit teriak karena saking paniknya.

"Non Dian, non Dian bunuh diri den. Saya tahu nomornya den Ricky dari nomor hp yang terakhir dihubungi non Dian..." sahut pembantu itu. Aku jadi semakin panik sekarang. Namun, aku harus tetap tenang.

"Em... baiklah, sekarang bibi beri tahu saya, di rumah sakit mana Dian dirawat?" tanyaku. Pembantu itu pun memberitahuku alamat rumah sakit yang merawat Dian saat ini. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyalakan mobil dan berangkat menuju rumah sakit.

***** TBC *****

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang