Yang Sebenarnya Terjadi (Bagian Akhir)

916 52 33
                                    

* Jannah pov*

"Eh dimana ya Ricky? Tadi dia benar-benar ada disini, Jannah..." seru Dian. Aku tersenyum. Terlihat Dian sangat kebingungan mencari Ricky hingga ia mencari di bawah kolong meja.

"Sudahlah Dian, kau tak perlu mencarinya lagi. Mungkin dia ada urusan mendadak," ujarku sambil tersenyum. Dian terlihat sangat kesal karena hal ini.

"Ah, benar-benar deh si Ricky. Suatu saat kalau aku bertemu dengannya, aku akan memarahinya. Lihat saja nanti," seru Dian sambil memajukan bibirnya.

"Jangan, Dian. Mungkin dia memang sedang ada urusan. Jangan kau marah-marah seperti itu," kataku.

"Tapi, setidaknya dia berpamitan dulu padaku. Kalau begini kan dia tidak menghargaiku sama sekali sebagai pemilik acara," seru Dian yang terlihat sangat kesal dengan Ricky. Aku pun tersenyum tipis. Aku jadi berpikir, apakah Ricky pergi dari sini karena ia tak ingin bertemu denganku? Apa dia mencoba untuk menghindariku? Tapi kenapa dia harus menghindariku?

"Ah, ya sudahlah. Maafkan aku ya, kau jadi tak bisa bertemu dengannya sekarang," ucap Dian yang tampak tak enak kepadaku.

"Kenapa harus minta maaf, Dian? Santai saja," jawabku sambil tersenyum.

Aku baru ingat sesuatu.

"Oh iya, Selamat ya, Dian," ucapku sambil mencium pipi kanan dan pipi kirinya serta memberinya kado.

"Wah, terima kasih ya, Jannah," Dian tampak begitu senang. Aku pun turut senang melihatnya.

"Sama-sama, Dian," sahutku.

"Oh iya, bagaimana kabar keluargamu?" tanya Dian. Aku terkejut mendengar pertanyaannya.

"Keluarga?" Tanyaku.

"Iya. Kau dan suamimu, Jannah," lanjut Dian. Aku pun tersenyum dengan tegar. Mau tidak mau, aku menceritakan semua kejadian yang menimpaku. Dian pun mendengarkannya dengan seksama. Ia terlihat sedih sekaligus kesal mendengarnya.

"Huft... kau ini. Kenapa kau tak menceritakan masalah sebesar ini kepadaku?" tanya Dian. Aku pun masih tersenyum.

"Maaf, aku sengaja tak menceritakan kepada siapapun. Karena itu adalah rahasia. Lagipula itu sudah berlalu cukup lama. Jadi kenapa harus dibahas lagi?" sahutku.

"Ck... kau ini. Sama saja dengan Ricky..." sery Dian. Aku sedikit terkejut dengan ucapan Dian.

"Ricky? Memangnya dia kenapa? Apa dia juga punya masalah?" tanyaku. Jujur saat ini aku sangat penasaran dengan keadaan Ricky yang sekarang. Seperti apakah dia saat ini? Apakah ia sudah menikah? Siapakah istrinya? Pasti ia sudah memiliki anak dan bahagia dengan rumah tangganya.

Tapi aku tak mengerti dengan perkataan Dian.

"Ah tidak, aku hanya salah bicara," lanjut Dian. Terlihat sekali jika ia sedang menyembunyikan sesuatu. Ingin aku bertanya tentang Ricky kepada Dian, karena dia pasti tahu banyak tentang Ricky. Namun, rasanya aku terlalu malu untuk menanyakan hal ini.

"Em... lalu bagaimana dengan kabar ayah dan ibumu?" tanya Dian lagi kepadaku. Aku tersenyum.

"Ayah sudah meninggal lebih dari dua bulan yang lalu karena penyakit jantung yang ia derita. Itulah sebabnya aku kembali ke Indonesia. Aku ingin sekali menemani ibu, karena aku tak ingin ibu sendirian di sini," ceritaku dengan senyum penuh ketegaran.

"Innalillahi wa'inna illaihi roji'un. Aku turut berduka, Jannah," ucap Dian sambil memegang tanganku. Aku kembali tersenyum.

"Terima kasih, Dian," sahutku. Dian pun mengangguk.

"Lalu, apa kau berencana untuk kembali lagi ke Malaysia?" tanya Dian lagi. Aku pun menggelengkan kepala.

"Sepertinya tidak. Ibuku tak mau meninggalkan rumah kenangannya bersama dengan ayah. Jadi, aku takkan kembali lagi ke Malaysia," jawabku. Dian terlihat sedih mendengar kisahku. Kami pun saling bertukar cerita hari itu. Entah itu cerita sedih ataupun bahagia. Kami cukup lama menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang. Hingga akhirnya aku berpamitan pulang kepada Dian karena acara telah selesai.

*****

Aku pun pulang naik taksi. Di dalam taksi aku teringat disaat-saat ayah akan pergi meninggalkanku dan juga ibu. Saat itu kami sedang berada di rumah sakit. Aku kembali ingat dengan perkataan ayahku.

"Jannah... maafkan ayah, nak..." ucap ayah yang tengah sakaratul maut di kala itu. Aku menangis melihat keadaan ayah.

"Tidak, ayah, ayah jangan minta maaf..." sahutku sambil memegang erat tangan ayahku.

"Ayah tak bisa membahagiakanmu dan juga ibumu, nak. Ayah telah egois kepadamu. Ayah tak memikirkan kebahagiaanmu nak. Ayah hanya mementingkan diri sendiri..." ucap ayah. Aku menggelengkan kepalaku dengan air mata yang masih bercucuran.

"Tidak, ayah... ayah adalah seorang ayah yang baik bagiku..." jawabku dengan linangan air mata.

"Ayah telah menghalangi cintamu, nak. Maafkan ayah..." ujar ayah. Air mataku masih terus mengalir ketika melihat keadaan ayah.

"Mulai sekarang, kejarlah impianmu, nak. Raihlah semua yang kau inginkan. Asalkan kau jangan melupakan Allah. Kau harus tetap berjalan di jalan yang diridhoi Allah," kata ayah. Aku pun mengangguk.

"InsyaAllah, yah..." sahutku dengan mata yang masih dipenuhi air mata.

"Kau bisa kembali mendapatkan cintamu, nak. Ayah takkan menghalanginya..." lanjut ayah. Aku mengangguk sambil meneteskan air mata. Setelah mengucapkan syahadat, ayahku pun pergi untuk selamanya.

"Innalillahi wa'inna illaihi roji'un..." ucapku. Tangisanku dan ibu telah memecahkan suasana di kamar rumah sakit itu.

Saat ini aku tersadar bahwa ayahku telah tiada. Aku ingin sekali mewujudkan semua keinginan ayahku. Namun aku tak tahu apakah aku bisa mewujudkannya atau tidak. Karena cintaku telah pergi menjauhi diriku yang dilanda kehampaan ini...

***** TBC *****

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang