Keputusan (Bagian 2)

1K 65 11
                                    

Hari kemenangan untuk seluruh umat muslim telah tiba. Tepatnya adalah hari raya Idul Fitri. Hari ini, semuanya kembali suci. Aku senang sekali dengan hari ini.

Sedari tadi aku berjalan menuju masjid, aku melihat banyak sekali hiasan-hiasan untuk Idul Fitri tengah tergantung di beberapa tempat. Ini terlihat indah sekali. Hal ini mengingatkanku akan suasana natal. Hanya saja ini terlihat lebih semarak jika dibandingkan dengan perayaan natal.

Ketika aku sampai di masjid sambil menunggu shalat dimulai, tak henti-hentinya aku mengucapkan takbir. Sungguh ini terdengar begitu indah. Beberapa saat kemudian, shalat dimulai. Awalnya aku sempat bingung, aku pikir setelah takbiratul ikhram adalah membaca ayat dan dilanjutkan dengan rukuk. Namun ternyata salah, setelah takbiratul ikhram ternyata masih ada takbiratul ikhram lagi hingga tujuh kali di rakaat pertama dan takbiratul ikhram sebanyak lima kali di di rakaat kedua. Namun tidak apa-apa, aku rasa wajar jika terjadi kesalahan karena ini pertama kalinya aku mengikuti shalat Idul Fitri.

Saat ini aku ingin sekali berkumpul dengan seluruh keluarga. Tapi aku sadar, hal itu tak mungkin terjadi. Keluargaku akan sangat marah jika tahu kalau aku menjadi mualaf. Namun ini semua adalah pilihanku. Pilihan hidupku. Aku harus tetap bertahan dengan pilihanku sampai akhir hayat.

"Ayolah nak Ricky, kita rayakan hari raya ini bersama-sama. Kalau kau ingin bermain ke rumah, datang saja, Nak," ucap ustadz Maman yang didampingi Jannah beserta ibunya. Beliau tiba-tiba menyapaku ketika aku melamun, seolah-olah mengetahui isi hatiku.

"Terima kasih ustadz, tapi..." istri ustadz Maman memotong perkataanku.

"Sudahlah nak, ini kan hari raya Idul Fitri. Kau tidak perlu merasa sendiri di hari kemenangan ini. Kita semua adalah saudara. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk datang ke rumah. Ayo," ajak istri ustadz Maman. Ajakan itu juga mendapat anggukan dari Jannah. Aku akhirnya menyetujui ajakan itu dan ikut ke rumah ustadz Maman.

Setibanya aku di rumah ustadz Maman, aku disuguhi berbagai makanan yang tersedia di meja. Lalu aku juga diajak oleh ustadz Maman untuk berkeliling ke rumah tetangga bersama dengan Jannah dan ibunya. Aku pun setuju dan berjalan berdampingan dengan Jannah.

"Em... mohon maaf lahir dan batin ya. Mungkin aku mempunyai kesalahan baik disengaja ataupun tidak," ujarku. Jujur saja setiap kali aku bertemu dengan Jannah, aku selalu merasa kalau jantungku ini hampir copot. Jannah menjawab.

"Aku juga. Bagaimanapun, manusia adalah gudangnya pembuat dosa. Dan kesempurnaan, hanyalah milik Allah semata," sahutnya sambil tersenyum.

Jannah bersalaman dengan para tetangganya. Begitu juga aku, meskipun aku tak mengenali mereka. Jujur saja, perasaan canggung menyelimuti hati ini jika bertemu dengan Jannah. Aku tak tahu apakah Jannah merasakan hal yang sama terhadapku atau tidak. Ingin sekali aku menyatakan perasaanku padanya. Namun apa daya, hatiku belum siap untuk itu.

Namun dibalik perasaan canggung itu, aku merasakan kenyamanan jika berkumpul dengan Jannah dan keluarganya. Mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Bahkan bisa dibilang mereka adalah keluarga kedua bagiku. Sehingga aku tak perlu lagi merasa kesepian jika aku merindukan keluarga kandungku. Aku sangat bersyukur dengan semua ini Ya Allah...

*****

Kantor sudah mulai masuk lagi setelah beberapa hari libur hari raya lebaran. Di kantor pun kami melakukan kegiatan halal bihalal dengan rekan kantor dan juga pimpinan kami. Setelah itu, kami semua kembali melakukan pekerjaan kami.
Disaat aku tengah asyik dengan pekerjaanku, tiba-tiba Dian berteriak. Dia terlihat sangat panik.

"Argh... dompetku. Dimana dompetku?" seru Dian.

"Ada apa sih? Kau sedang mencari apa Dian?" tanyaku.

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang