Ujian Semakin Berat (Bagian 2)

883 57 14
                                    

"Kak kenapa kau membawaku kesini?" tanyaku. Kak Meylanie tak menjawab pertanyaanku. Ia terus berjalan. Aku mengikuti kak Meylanie sambil melihat di sekitarku yang penuh dengan orang gila. Sungguh pemandangan yang menyedihkan.

Dokter mengantarkan kami. Tak lama kemudian, kami pun berhenti di sebuah ruangan. Kami bisa melihat orang yang ada di dalamnya melalui kaca jendela yang memang menjadi penghalang antara kami dan orang di dalamnya.

Aku melihat orang yang berada di dalam ruangan itu. Orang yang sangat aku kenal dan sangat aku sayangi. Benar, beliau adalah ayahku.

"Kak, aku benar-benar tak mengerti. Kenapa ayah bisa disitu kak?" tanyaku dengan kebingungan. Aku melihat kak Meylanie meneteskan air matanya. Ia terisak, namun segera ia menghapus air matanya. Ia berusaha untuk tak menangis di hadapanku. Ia berusaha untuk bercerita kepadaku.

"Sejak pemilihan gubernur itu digelar, ayah tak henti-hentinya untuk membanggakan dirinya sebagai seorang gubernur. Padahal di hari itu perhitungan suara masih belum selesai, dan saat itu masih belum diketahui hasilnya,"

"Namun saat hasil quick count diumumkan, senyum percaya diri ayah dan kesombongannya itu perlahan-lahan hilang. Dan saat pengumuman pemilihan gubernur itu dinyatakan telah dimenangkan oleh rivalnya, ayah hilang kendali. Ayah sangat tak terima, beliau marah-marah dan berbuat kerusuhan. Sejak itulah, semuanya berubah. Ayah sangat terpukul dengan semua itu,"

"Ayah tersenyum-senyum dan tertawa dengan sendirinya. Dan, ayah sering mengatakan bahwa beliau adalah seorang pemimpin kota Jakarta. Namun, terkadang ayah juga menangis tersedu-sedu menyesali kekalahannya. Itulah sebabnya kenapa ibu terbaring di rumah sakit seperti saat ini. Ibu sangat shock melihat keadaan ayah yang seperti ini sehingga penyakit jantung itu menyerang ibu..." kak Meylanie bercerita masih sambil menahan tangisnya. Namun, seberapa kerasnya kak meylanie menahan tangis, akhirnya air mata itu pun tumpah juga. Ia menangis di pundakku.

Aku masih tak percaya dengan semua ini. Kenapa nasib keluargaku harus menjadi seperti ini? Sungguh, aku kecewa dengan apa yang telah terjadi.

Aku tahu, ayah adalah orang yang sangat sombong dan juga keras. Tapi, aku tak menyangka jika nasib ayah harus seperti ini. Bahkan penyakit jantung ibu yang sebelumnya aku pikir sudah sembuh karena sudah tidak pernah kambuh lagi, ternyata bisa fatal seperti ini.

Sungguh, ini membuat hatiku sangat pedih.
Aku tidak tahu apakah ini hukuman dari Allah untuk kami semua atau bukan. Namun aku yakin, Allah menguji keluargaku seperti ini agar kita tak terlena dengan semua yang Allah berikan kepada kami...

***

Kak Meylanie serta suaminya sudah pulang. Aku yang menyuruh mereka untuk pulang karena aku kasihan dengan mereka yang terlihat sangat lelah. aku menjalankan ibadah shalat maghrib di samping ibu yang masih terbaring tak sadarkan diri. Aku menadahkan tanganku. Aku berdo'a serta memohon pengampunan kepada Allah.

"Ya Allah, ampunilah dosa hamba. Serta dosa kedua orang tua hamba, dosa saudara hamba, dosa orang-orang yang hamba sayangi serta dosa orang yang pergi mendahului hamba, Ya Allah..."

"Berikanlah jalan terbaik bagi kami dalam menghadapi ujian ini, Ya Allah. Jika Engkau mengizinkan kesembuhan untuk ibu hamba, maka berikanlah mukjizat-Mu, Ya Allah,"

"Namun, jika engkau memberikan jalan yang lain, hamba ikhlas Ya Allah. Hamba hanya tak ingin melihat ibu hamba merasa kesakitan yang teramat sangat seperti saat ini, Ya Allah..." tanpa terasa air mataku telah jatuh setetes demi setetes.

"Dan, hamba juga memohon Ya Allah. Berikanlah kemudahan agar hamba bisa mengembalikan ayah hamba menjadi manusia yang normal. Hamba ingin agar ayah hamba kembali menjadi seorang ayah yang baik, seorang ayah yang bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya. Dan, hamba juga ingin tak ada lagi perbedaan pandangan di antara kami, Ya Allah. Amin ya robbal'alamin..." Aku mengusap wajahku. Aku merasa hati ini sangat tentram setelah berdo’a. Lantas, aku merapikan sajadah dan menaruhnya kembali di tas.

Aku duduk di samping ibu dan berdzikir sambil memegang tangan beliau. Selesai berdzikir, aku pun mengambil Al-Qur'an dan mengaji di samping ibu.

Disaat aku tengah mengaji, aku merasakan suatu gerakan dari tangan ibu. Aku kaget. Aku mencoba untuk memperhatikannya. Ternyata benar, tangan ibu bergerak. Meskipun itu gerakan kecil, namun itu membuatku sangat senang.

Sekali lagi aku mencoba melihat seluruh tubuh ibu. Tangan ibu semakin menunjukkan gerakannya. Aku terburu-buru memanggil dokter dan suster. Aku berharap, semoga ibu baik-baik saja dan bisa kembali pulih seperti sedia kala.

*****

Dokter telah selesai memeriksa ibu. Dokter mengatakan bahwa ibu telah sadar, namun kondisi kesehatan ibu masih belum stabil.

"Apa mungkin ibu saya bisa sembuh dok?" tanyaku. Namun dokter menggelengkan kepalanya sambil mengatakan.

"Berdo'a saja pak, semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk ibu anda," begitulah kata dokter. Dokter berkata seperti itu seolah-olah ibu tak ada harapan lagi untuk sembuh. Aku senang mendengar ibu telah sadar, namun aku juga sedih jika melihat kondisi ibu yang seperti ini.

Aku lantas masuk ke kamar ibu. Ternyata benar, ibu telah sadar. Ibu melihatku dan tersenyum ke arahku.

"Kau sudah pulang nak?" tanya ibu kepadaku. Aku pun tersenyum dan mengangguk. Aku tak boleh menunjukkan kesedihanku.

"Ibu… ibu ingin sekali meminta maaf padamu nak…" ucap ibu. Aku melihat bahwa mata ibu telah berkaca-kaca.

"Ibu sangat buruk… seandainya ibu saat itu bisa membujuk ayahmu agar bisa menyelesaikan semuanya dengan baik-baik, mungkin kau tidak akan pergi dari rumah," lanjut ibu.

"Dan, seandainya ibu bisa melarang ayahmu untuk tak mencalonkan diri menjadi gubernur, mungkin ayahmu tidak akan menjadi orang yang keras dan angkuh hingga membuatnya menjadi seperti sekarang…" ibu berkata sambil menangis tersedu-sedu di hadapanku. Sungguh, hatiku benar-benar lemah jika melihat ibu menangis seperti ini.

"Tidak bu. Ibu salah…" sahutku sambil memegang kedua tangan ibu.

"Bagiku, ibu adalah yang terbaik dari seluruh ibu yang ada di dunia ini," lanjutku sambil mencoba untuk tersenyum. Padahal, sebenarnya saat ini aku ingin sekali menangis.

"Ibu tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Karena ini bukanlah salah ibu,"

"Ini semua adalah coba’an dari Allah, bu. Keluarga kita sedang diuji. Jadi, ibu tidak perlu menyalahkan diri sendiri," lanjutku sambil menahan tangisku. Ibu menatapku untuk beberapa saat. Lalu beliau berkata padaku.

"Ibu sangat menyayangimu nak… ibu sangat meindukanmu…" ujar ibu sambil tersenyum dengan bola mata yang masih dipenuhi air mata.

"Ibu bahagia… karena kau ada disini untuk menemani ibu," lanjut ibu. Aku memeluk ibu dengan erat. Air mataku mengalir saat itu juga.

"Aku juga, bu. Aku sangat menyayangimu… dan, aku juga sangat merindukanmu, bu…" sahutku. Aku segera menghapus air mata dan melepaskan pelukan itu. Dan, aku segera mengalihkan pembicaraan.

"Oh, ibu belum makan. Izinkan aku menyuapimu, bu," ujarku sambil memegang tangan ibu.

"Tak perlu, nak... tadi apa kau tengah mengaji untuk ibu?" tanya ibu kepadaku. Aku pun mengangguk. Ibu lalu mengatakan.

"Ibu senang sekali mendengarnya... jiwa ibu terasa tentram... bolehkah ibu meminta sesuatu padamu...?" tanya ibu lagi.

"Dengan senang hati, bu. Aku akan menurutinya," jawabku sambil tersenyum agar ibu tak tahu jika saat ini aku tengah bersedih.

"Ibu ingin mendengarmu mengaji sekali lagi nak..." pinta ibu dengan lirih sehingga hampir saja tak terdengar olehku.

"Baiklah bu, aku akan mengaji untuk ibu," sahutku.

Lantas, aku kembali mengambil Al-Qur'an, dan membacanya. Sementara ibu terus mendengarkanku dengan senyum yang menghiasi wajahnya yang sangat pucat.

***** TBC *****

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang