Aku Pulang (Bagian 4)

898 57 2
                                    

Sampai di rumah sakit, aku langsung mencari-cari kamar Dian. Tak berapa lama kemudian aku pun menemukan kamar Dian.

Disana terlihat ada sang pembantu serta kedua orang tua Dian yang saling menyalahkan. Aku pun masuk ke dalam ruangan. Aku sedikit tak mengerti, Dian tak mengenakan kerudungnya seperti biasanya. Namun aku tak terlalu memikirkan itu.

Aku lantas bertanya kepada pembantunya.

"Bagaimana keadaan Dian bi?" tanyaku. Pembantu itu menjawab.

"Kata dokter, non Dian sedang kritis den. Tusukan pisau itu mengenai bagian ginjalnya, hingga ginjalnya non Dian mengalami kerusakan dan harus dioperasi," kata pembantu itu.

Aku sangat shock mendengarnya. Aku lantas mencoba bertanya lagi.

"Em... apa bibi tahu kenapa Dian bunuh diri?" Tanyaku. Jujur, saat ini aku sangat mengkhawatirkan Dian. Apa mungkin Dian bunuh diri karena mendengar penolakanku? Tapi... sepertinya Dian bukan tipe orang yang seperti itu.

"Saya kurang tahu pasti, den. Tapi menurut saya, mungkin itu karena masalah kedua orang tuanya yang setiap hari bertengkar. Mungkin non Dian merasa tertekan," sahut pembantu itu. Aku rasa pembantu itu benar. Aku ingat, Dian memang pernah menceritakan kondisi keluarganya padaku. Kedua orang tua Dian pun mulai tenang dan duduk di ruang tunggu. Aku pun duduk di tengah-tengah mereka.

"Om dan tante. Apa pernah terpikir di benak kalian tentang akibat dari pertengkaran kalian yang tiap hari selalu kalian lakukan?" tanyaku dengan menatap mereka secara bergiliran. Mereka menunduk dan menggelengkan kepala.

"Jujur saja, kami tak ingin mementingkan ego kami berdua dan menyelesaikan semua dengan emosi. " Jawab sang ayah. Dan ibunya Dian melanjutkan.

"Kami tak pernah menyangka jika Dian akan melakukan ini. Kami tak ingin kehilangan Dian..." lanjut ibunya Dian sambil menangis. Aku terharu. Aku melihat seolah-olah masih ada cinta di hati mereka namun tertutupi dengan ego yang sangat besar.

Aku pun mencoba untuk menyatukan tangan sang ibu dan tangan sang ayah.

"Om, tante, orang tua mana pun pasti tak ingin melihat anaknya menderita. janganlah kalian mengutamakan ego kalian sehingga jadi saling menyalahkan. Kita harus bisa meredakan ego kita masing-masing agar kejadian ini tak terulang lagi,"

"Cobalah untuk saling mengalah. Kalaupun kalian tak lagi saling cinta, setidaknya kalian melakukan ini demi Dian..." lanjutku sambil mencoba untuk tersenyum. Mereka hanya bisa diam, namun aku yakin jika mereka akan merenungkan perkataanku...

*****

Aku keluar dari ruangan dokter. Aku mencoba menemui dokter untuk mengetahui apakah ginjalku layak untuk di donorkan kepada Dian. Terpikir olehku untuk mendonorkan ginjalku. Namun ternyata harapan untuk mendonorkan ginjal kepada Dian sirna, karena ginjalku kurang cocok untuk Dian.

Aku lemas sekali. Ini sudah menjelang adzan subuh namun aku belum bisa tidur karena aku memikirkan nasib Dian.

Beberapa saat kemudian, handphoneku berbunyi. Ternyata Jannah yang menelepon. Yah, dia memang selalu membangunkanku jika adzan  subuh tiba karena aku yang memintanya. Aku pun mengangkat teleponnya.

"Assalamu'alaikum," aku mengucap salam. Jannah menjawab.

"Wa'alaikumsalam. Wah kau sudah bangun rupanya," kata Jannah. Aku pun tersenyum.

"Lebih tepatnya aku belum tidur, Jannah," sahutku. Jannah pun bertanya.

"Kenapa belum tidur? Ada masalah?" tanya Jannah.

"Tidak. Em... aku hanya menjenguk temanku di rumah sakit," jawabku.

"Memang siapa yang sakit?" tanya Jannah.

"Dian. Kau ingat Dian?" aku bertanya padanya.

"Iya, aku ingat kok. Memangnya ada apa dengannya?" tanya Jannah. Aku pun menceritakan semuanya. Dan, Jannah mendengarkanku dengan seksama.

"Astaghfirullah... apa aku boleh kesana untuk menjenguknya?" tanya Jannah. Aku pun mengizinkannya.

"Tentu saja boleh," sahutku sambil tersenyum.

"Kalau begitu nanti jika aku ada waktu senggang, aku akan mampir kesana," ujar Jannah.

"Baiklah Jannah, terima kasih banyak. Maaf jika itu merepotkanmu," ucapku. Jannah lantas menjawab.

"Tidak masalah. Memang sudah kewajiban kita untuk menjenguk saudara sesama muslim yang sedang sakit. Apalagi orang itu adalah orang yang kita kenal," sahut Jannah.

Hatiku sedikit tenang ketika mendengar suara Jannah. Suara Jannah itu ibarat AC yang bisa menyejukkan hatiku.

Tak lama kemudian, Jannah mengakhiri teleponnya. Aku mencoba untuk membangunkan orang tua Dian serta pembantunya untuk melaksanakan shalat subuh.

"Tapi Ricky, saya dan juga ibunya Dian sudah lupa caranya shalat," ujar Ayah Dian. Aku tersenyum.

"Om, tante, yang penting niat untuk shalat sudah tertanam di hati kita. Biar saya saja yang jadi imam. Agar kita bisa mendo'akan Dian bersama-sama," sahutku.

Kami berjalan menuju musholla rumah sakit dan menunaikan ibadah shalat subuh, serta mendo'akan untuk kesembuhan Dian.

"Ya Allah, ampunilah dosa hamba, Ya Allah. Hambamu ini telah lalai sebagai orang tua. Dan ampunilah dosa suamiku. Serta Dosa anakku, Dian. Berikanlah kesembuhan untuk Dian, Ya Allah. Hamba mohon Ya Allah..." begitulah do'a yang aku dengar dari bibir ibu Dian. Ia lalu mengakhiri do'anya serta mengusap air matanya. Tak lama, ayah Dian menghampiri istrinya.

"Ma... maafkan aku, ma. Aku banyak sekali salah terhadapmu dan juga anak kita. Maafkan aku, ma," Ayah Dian berlutut dan memeluk kaki istrinya sambil menangis. Sungguh ini pemandangan yang sangat mengharukan hingga aku tak kuasa meneteskan air mata.

"Aku juga, pa. Maafkan aku... aku memang sangat buruk sebagai istri serta seorang ibu..."  sahut ibu Dian yang juga menangis.  Aku tersenyum penuh haru melihat mereka yang sekarang. Pelan-pelan aku berjalan mundur untuk meninggalkan mereka. 

Aku tak mau kehadiranku merusak momen yang sangat indah ini. Andai saja Dian melihat ini, pasti ia akan sangat bahagia...

***** TBC *****

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang