Ujian Semakin Berat (Bagian Akhir)

815 53 37
                                    

Selama sekitar satu jam aku mengaji di samping ibu. Ibu tersenyum mendengar lantunan ayat-ayat itu.

Begitu aku selesai mengaji. Ibu berkata padaku.

"Nak, boleh ibu meminta satu lagi?" tanya ibu. Aku pun mengangguk.

"Ibu ingin menjadi bagian dari agamamu, nak..." pinta ibu. Aku diam sejenak.

"Cepatlah, nak... ibu tak memiliki banyak waktu..." lanjut ibu dengan lemah. Bagaimana ini? Aku tidak berpengalaman menjadikan orang lain sebagai mualaf. Apalagi yang meminta adalah ibuku sendiri. Tapi, ibu bilang bahwa ia tak memiliki banyak waktu. Apa yang harus kulakukan?

Akhirnya, aku nekad melakukannya sendiri. Aku menuntun ibu sesuai dengan yang dilakukan ustadz Maman ketika menjadikanku seorang muslim.

Proses berjalan lancar. Ibu tersenyum padaku. MasyaAllah, disaat sakit seperti ini, ibu justru tersenyum.

"Terima kasih, nak... ibu sekarang menjadi tenang," ujar ibu. Aku tersenyum dengan air mata yang tidak sanggup terbendung. Aku sangat terharu.

"Sudah sewajibnya aku melakukannya, bu..." sahutku.

Namun, ibu yang tadinya tersenyum, tiba-tiba menggenggam tanganku dengan sangat erat.

Matanya terbelalak sangat lebar. Sementara tubuhnya tak ada hentinya melakukan gerakan-gerakan dengan posisi terbaring seperti itu. Ya Allah... apa ini artinya ibu tak memiliki banyak waktu lagi? Apakah ibu akan meninggalkanku untuk selama-lamanya?

Aku membalas genggaman tangan ibu. Aku mendekatkan bibirku di telinga ibu. Aku harus segera menuntun ibu, sebelum terlambat.

"Ibu... aku mohon, ikutilah yang ku ucapkan. Laa ilaaha illa Allah..." aku mengucapkan kalimat itu untuk menuntun ibu. Ia lantas mengikutiku meskipun sangat kesulitan.

"laa Ilaaha Illa Allah... " ibu yang tengah sekarat begitu terbata-bata mengucapkannya. Namun, ibu berhasil mengucapkannya. Sejujurnya, aku tak rela melihat ibu yang seperti ini. Tapi... ini semua adalah takdir dari Allah. Aku tidak mungkin menyalahkan takdir.

Tak lama kemudian, genggaman yang semula sangat erat, kini melemah. Mata yang sebelumnya terbuka lebar, kini pelan-pelan tertutup.

Aku menangis menyesali segalanya. Aku tahu, saat ini ibu telah pergi meninggalkanku untuk menghadap sang Illahi. Namun yang membuatku menyesal, aku tak bisa membahagiakan beliau. Dan, aku juga tak bisa kembali menyatukan keluarga kami.

Tapi, aku juga senang. Karena ibu mati dalam keadaan sebagai seorang muslimah. Aku berdo'a, semoga ibu termasuk orang yang kematiannya husnul khatimah...

*****

Kak Meylanie telah datang di pemakaman ibu. Ia terlihat sangat bingung melihat jenazah ibu. Ia bertanya-tanya kepadaku.

"Kenapa tubuh ibu berbalut kain kafan? Bukannya seharusnya tubuh ibu dihiasi perhiasan? Seharusnya di sini ada peti. Tapi kenapa di sini malah ada keranda?" tanya kak Meylanie. Aku lantas menjawabnya.

"Kak, sekarang semuanya telah berubah. Ibu telah memilih untuk mengikutiku. Jadi, kau jangan mencoba untuk menghalangi semua ini. Biarkan ibu pergi dengan tenang bersama keyakinannya yang baru, kak..." sahutku.

Aku menutup mata, aku menghapus air mataku. Aku melihat tubuh ibu yang sudah terbalut kain kafan dengan rapi.

Wajahnya terlihat sangat bersih. Ibu terlihat cantik dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Aku tersenyum, apakah ibu tengah bahagia saat ini? Aku tak tahu, namun aku berharap bahwa ibu telah bahagia di alam yang abadi itu.

Semua orang berangkat untuk mengantarkan ibu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sampai di pemakaman, aku pun masuk ke liang lahat untuk membantu proses pemakaman.

Setelah semua selesai, semua orang berdo'a, termasuk kak Meylanie yang berdo'a dengan cara yang diajarkan oleh agamanya.

Disaat kami hampir pulang dari pemakaman, aku melihat dari kejauhan. Ayah tengah melihat kami berdua. Beliau terlihat menggunakan pakaian rumah sakit jiwa serta didampingi dua orang petugas rumah sakit jiwa itu. Memang benar, aku menghubungi pihak rumah sakit jiwa agar ayah bisa bertemu dengan ibu untuk yang terakhir kali.

Ayah menghampiri kami. Oh, tidak, lebih tepatnya, ayah menghampiri makam ibu. Aku melihatnya. Aku sedih melihat keadaan ini.

Ayah menangis di makam ibu. Ayah tak mengeluarkan sepatah katapun, namun beliau menangis dengan sangat kencang. Sungguh, tangisan ayah membuat hatiku teriris.

Beliau mencoba untuk mengeruk makam ibu. Aku menahan ayah agar ia tak mengeruk tanah itu lebih dalam lagi. Ayah berteriak sambil meronta-ronta, namun ayah tak kuasa karena petugas-petugas itu mencegahnya dan menariknya masuk ke dalam mobil ambulance.

Sungguh, aku miris sekali melihat ayah yang seperti itu. Aku ingin sekali mengurus ayah dengan baik. Karena bagaimanapun juga, ia tetaplah ayahku...

***** TBC *****

Maaf ya malam ini pendek. Besok, insyaAllah lebih panjang 😉

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang