Inikah Hukum Karma? (Bagian Akhir)

897 51 33
                                    

Aku telah tiba di rumah kontrakanku. Aku merebahkan tubuh dan memainkan handphone, serta membaca berita di internet. Tidak ada berita yang benar-benar menarik bagiku. Namun aku tetap saja membaca berita di situs internet itu.

Hingga akhirnya aku menemukan sebuah berita yang membuatku merasa sangat miris. Yaitu berita mengenai pemilihan kepala daerah alias pemilihan gubernur di Jakarta beberapa waktu lalu. Yaitu mengenai kemenangan rival ayahku.

Sebenarnya bukan beritanya yang membuatku merasa sangat miris. Namun komentar-komentar yang tertera di dalam berita itu. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari komentar-komentar itu berisi dengan hinaan yang di alamatkan kepada ayahku. Kebanyakan dari mereka bersyukur atas kemenangan rival ayahku dan mempermasalahkan mengenai agama ayahku. Mereka mengatakan hal itu dengan bahasa yang sangat kasar.

Aku merasa sakit hati membaca komentar-komentar itu. Aku jadi menyesal karena telah membaca berita dan komentar-komentar itu.
Aku tidak akan berkomentar apapun mengenai siapa yang pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Karena, Allah jauh lebih tahu siapa yang pantas untuk menduduki posisi itu terlepas dari masalah agama yang dianut. Karena hanya Allah yang mengetahui kualitas diri hamba-Nya.

Namun tidak bisakah kita tidak mencela orang lain? Aku rasa masalah ini bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa harus berkata kasar. Pasti masalah ini akan terselesaikan dengan baik tanpa harus ada yang tersakiti.

Mungkin inilah yang membuat ibu kurang menyetujui ketika ayah maju di kursi pemilihan itu. Aku rasa beliau menyadari boomerang yang akan terjadi jika ayah memenangkan pemilihan gubernur ini. Ayahku akan didemo besar-besaran karena agama yang telah dianut olehnya. Bahkan mungkin lebih parah daripada itu.

Aku merasa ini adalah akibat dari perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh ayah kepada Jannah. Namun sebagai seorang anak, tentu saja aku tidak bisa menyalahkan kejadian itu. Ayah terlalu terlena dengan dunia ini sehingga membuatnya menjadi sosok yang seperti ini. Ibu telah menyadari masalah ini. Namun, aku tidak menyadari masalah sebesar ini. Jangankan menyadarinya, memikirkannya saja tidak.

Dan, tentu aku tidak menyangka jika nasib ayah akan menjadi seperti ini. Seandainya aku bisa, aku pasti akan menggantikan posisi ayahku di dalam rumah sakit jiwa itu. Aku rela melakukan itu asalkan ayah bisa kembali mendapatkan akal sehatnya.

Namun itu adalah hal yang sangat mustahil. Aku tidak bisa melakukan itu. Aku hanya berharap kepada Allah agar ayah bisa kembali menjadi manusia yang normal. Bahkan menjadi pribadi yang lebih baik daripada dulu.

Jika memang ini satu-satunya cara untuk menebus dosa yang telah diperbuat oleh ayah, aku ikhlas. Meskipun hatiku sangat sakit melihat ayah yang seperti sekarang ini. Tapi aku ikhlas jika memang ini jalan yang harus kami tempuh untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah.

Aku pun meraih sebuah bingkai foto yang terletak di meja kamar. Di dalam bingkai itu, terdapat sebuah foto yang kala itu aku masih berusia satu tahun dengan seluruh anggota keluargaku yang tersenyum di dalam foto tersebut.

Sungguh... aku merindukan mereka semua. Aku sangat merindukan suasana seperti dalam foto itu. Namun itu semua hanyalah menjadi angan-angan. Ibu telah pergi ke alam yang abadi, sementara ayah telah kehilangan akal sehatnya. Rasanya mustahil jika itu bisa tercapai.

"Ayah... ibu... kak Meylanie... aku sangat merindukan kalian. Apakah kalian juga merindukanku?" air mataku mengalir cukup deras ketika melihat foto itu. Apakah kami tidak bisa lagi tersenyum bahagia seperti yang terdapat dalam foto ini? Aku berusaha untuk menghapus air mataku, namun air mata ini tidak mau berhenti mengalir. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa mengembalikan senyuman itu meskipun tanpa ibu?

Aku merasa sangat sedih atas semua yang telah terjadi kepada keluargaku. Namun aku yakin bahwa Allah akan selalu menuntunku dan memberiku kemudahan.

Jika memang ini adalah hukuman dari Allah, aku hanya bisa berharap agar kami sanggup melewatinya dan bisa segera mengatasi masalah ini.

Iya, aku merasa sangat yakin, bahwa setelah ujian ini, akan ada sesuatu yang sangat indah menghampiri kami. Maka dari itu, aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk merawat ayah dan menyembuhkan ayah meskipun itu sangat sulit.

*****

"Ricky... ini ibu nak..." ucap ibu yang saat ini ada di sampingku. Aku terkejut melihat ibu. Ia tampak sangat cantik dengan pakaian yang serba putih. Ibu terlihat sedang duduk di sampingku di dalam kamar ini. Ya Allah, apakah ini mimpi? Atau mungkin ibu memang benar-benar ada di sampingku? Atau, jangan-jangan aku telah mati? Apapun itu, aku merasa sangat bahagia melihat ibu. Aku mencoba untuk memeluknya. Namun tidak bisa karena ibu saat ini telah menjadi sebuah bayangan.

Aku menangis karena tidak bisa menggapai ibu. Ibu pun tersenyum padaku. Aku berkata kepada ibu.

"Aku sangat merindukanmu bu..." ucapku yang masih berlinang air mata. Ibu pun menjawab.

"Ibu juga nak. Ibu sangat merindukanmu..." sahut ibu. Raut wajah beliau pun berubah menjadi raut wajah yang begitu mengkhawatirkanku.

"Ricky. Kau jangan bersedih lagi nak..." ucap ibu. Ibu pun melanjutkan perkataannya.

"Ibu yakin bahwa kau bisa melalui semua ini nak. Kau adalah anak yang kuat,"

"Ibu tahu, bahwa ujian ini sangatlah berat bagimu. Tapi, kau jangan menyerah..." lanjut Ibu lagi.

"Karena ibu tahu, kau bukan tipe orang yang mudah menyerah. Bukan Ricky namanya jika mudah putus asa,"

"Kau bisa meminta petunjuk kepada Allah, karena Allah adalah maha pemberi petunjuk," lanjut ibu dengan senyum yang sangat menawan. Seumur hidupku, aku belum pernah melihat ibu tersenyum seperti itu. Senyum itu menggambarkan seolah-olah ia sangat bahagia.

"Ibu... apakah kau bahagia berada disana?" tanyaku. Senyum ibu terlihat semakin mengembang. Ibu pun menganggukkan kepalanya.

"Ibu sangat bahagia, nak," jawab ibu.

"Ibu telah mendapatkan tempat yang begitu indah. Ibu tidak menyangka jika ibu akan mendapatkan tempat yang sangat indah dari Allah,"

"Maka dari itu, kau tidak perlu mengkhawatirkan ibu lagi nak," lanjut ibu lagi dengan senyum yang begitu indah. Aku merasa sangat lega saat mendengar ibu telah bahagia di sana. Aku juga merasa bahagia jika ibu merasa bahagia dan tenang berada di sana.

Aku pun terbangun dari tidur. Ah... ternyata itu tadi hanyalah mimpi. Namun itu terasa sangatlah nyata. Atau mungkin ibu memang hadir di sini? Aku tidak tahu lagi. Yang jelas aku merasa sangat bahagia karena rasa rinduku terhadap ibu telah terobati.

Aku melihat ke arah jam dinding. Ya ampun, ini sudah hampir memasuki waktu shalat ashar. Aku pun segera mengganti pakaianku dengan baju koko dan sarung. Tak lupa, aku juga menggunakan peci. Setelah itu, aku langsung berangkat menuju masjid.

*****

Aku telah sampai di majid untuk melaksanakan shalat ashar berjama'ah. Ya Allah, aku jadi teringat akan semua kenangan manis yang pernah terjadi di masjid ini. Mulai dari awal pertemuanku dengan Jannah sampai pertemuan kami yang terakhir di masjid ini. Mengingat semua yang telah terjadi di masjid ini membuatku kembali teringat dengan Jannah. Kira-kira, apa yang sedang ia lakukan? Apa dia sudah makan? Apakah ia telah bahagia dengan pasangannya? Atau justru sebaliknya?

Tapi apapun itu, semua sudah bukan menjadi urusanku. Yang penting adalah ia sudah bahagia dengan pria pilihannya itu. Ya Allah, kenapa aku masih memikirkan wanita yang telah bersuami itu? Tidak seharusnya aku kembali memikirkan Jannah lagi. Ampuni aku Ya Allah...

***** TBC *****

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang