Keresahan Hati (Bagian Akhir)

1.5K 71 11
                                    

Sepertinya jalanku untuk menjadi seorang animator sangat dimudahkan. Bagaimana tidak? Kemarin aku sempat bingung dengan tempat tinggal, dan saat di Malaysia aku tak sempat untuk memikirkan masalah tempat tinggal karena sibuk dengan interview. Namun sekarang aku bisa mendapatkan kontrakan yang tidak jauh dari kantor. Aku bersyukur sekali dengan semua ini. Aku menaruh barang-barangku dan membereskannya. Aku keluarkan semua barang-barang itu, di dalam tasku terdapat salib, patung bunda maria, serta alkitab. Itu semua adalah pemberian ayahku. Tadinya aku berpikir untuk memasang salib itu di dinding dan meletakkan patung bunda maria diatas meja. Tapi akhirnya aku berubah pikiran.

"Sepertinya tidak perlu. Lagipula aku tak begitu fanatik dengan agamaku," pikirku. Memang benar, untuk apa aku menunjukkan identitas agamaku sedangkan aku sendiri ragu dengan keyakinanku?
Aku lalu memasukkan semuanya kembali kedalam tas dan melanjutkan beres-beres rumah.
Selesai beres-beres, tiba-tiba aku teringat dengan Dian.

"Bagaimana kabarnya ya? Apa dia diterima di perusahaan?" gumamku. Aku segera mengeluarkan handphone dari saku celanaku untuk menghubunginya.

"Ah aku lupa. Kenapa aku tak meminta nomor handphonenya? Huft... benar-benar payah," Aku lalu meletakkan handphone itu diatas meja dan tidur.

*****

*Dian Pov*

Namaku Dian Pratiwi. Panggil saja Dian. Umurku 23 tahun. Aku adalah anak tunggal dari keluargaku. Aku terlahir dari keluarga kaya. Mungkin orang-orang akan menganggap aku ini adalah anak yang beruntung karena terlahir dari keluarga kaya. Tapi itu adalah anggapan yang salah. Pada kenyataannya materi bukanlah sesuatu yang bisa membuatku bahagia. Kedua orang tuaku justru melupakanku karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Terlebih lagi, mereka sering bertengkar bila bertemu. Namun sekarang, aku sangat senang. Aku telah diterima bekerja di salah satu perusahaan animasi di Malaysia dimana aku pernah mengirimkan CV dan diinterview di perusahaan itu. Jadi aku tidak perlu lagi ada di Indonesia untuk melihat pertengkaran ayah dan ibuku.

Saat ini aku telah tiba di Malaysia. Suasana di Malaysia tak berbeda jauh dengan Indonesia. Bahasa pun tak menjadi kendala bagiku. Karena bahasa melayu hampir sama halnya dengan bahasa indonesia.
Di sela-sela santaiku, tiba-tiba aku teringat dengan Ricky. Pemuda tampan yang pernah bertemu denganku di pesawat. Entah kenapa sejak pertama aku bertemu dengannya, aku jadi sering memikirkannya. Bahkan terkadang aku tersenyum dengan sendirinya. Sayangnya aku tak meminta nomor handphonenya ataupun pin bbm. Karena meskipun aku tomboy, aku ini tetap seorang wanita yang terlalu malu untuk meminta nomor handphone atau pin seorang pria. Tapi jujur saja, aku jadi sedikit menyesal karena itu. Akhirnya aku pun mencoba untuk tidur sambil berharap untuk bertemu dengan Ricky di alam mimpi...

Hari ini adalah hari pertamaku kerja. Aku berjalan menuju lift. Suasana kantor terlihat sepi. Tapi, hey... sepertinya aku mengenal pria yang sedang menunggu lift itu.

"Ricky?" Aku menepuk bahu pria itu sambil menyapanya.

"Oh... hey Dian," ucapnya sambil tersenyum.

"Wah ternyata kau juga diterima bekerja disini?" tanyaku sambil tersenyum senang bukan kepalang.

"Hehe… iya. Aku senang sekali kalau kau juga bekerja disini. Sekarang kita bisa menjadi rekan kerja," sahut Ricky.

"Iya, aku juga senang sekali," jawabku yang masih dengan senyum yang mengembang seperti cacing kepanasan.

"Ayolah, mintalah nomorku cepat..." Batinku berteriak seperti itu. Ah sepertinya ini adalah harapan yang sangat konyol. Ini benar-benar memalukan. Namun apa daya? Aku tetap berharap agar Ricky meminta nomor handphoneku.

"Oh iya, boleh aku meminta nomor teleponmu?" tanya Ricky. Sepertinya dia bisa membaca pikiranku. Ah entahlah, diriku benar-benar tak karuan saat ini.

"Ah... em... tentu saja boleh," jawabku sambil salah tingkah. Entahlah seperti apa rupaku saat ini. Pasti wajahku merah karena malu. Hingga tanpa kusadari, Ricky melihat tingkahku.

"Kau kenapa? Kau sakit?" Tanya Ricky dengan polosnya. Pertanyaannya membuatku tersadar dari lamunanku.

"Oh tidak apa-apa kok," sahutku sambil tersipu malu. Hm... pasti benar-benar memalukan jika aku melihat diriku sendiri sekarang ini. Apa mungkin ini yang dinamakan cinta? Jujur saja, aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ini adalah untuk yang pertama kali. Aku tidak bisa mendeskripsikan seperti apa yang aku rasakan saat ini. Yang jelas disaat aku berada di dekat Ricky, jantungku berdebar tidak karuan.  Dan disaat dia jauh, aku pasti merindukannya. Aku sering tersenyum-senyum dengan sendirinya jika mengingat Ricky. Padahal aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu. Dan jujur, aku sudah merasakan hal ini sejak pertemuan pertamaku dengan Ricky di dalam pesawat. Apa mungkin cinta tidak mengenal yang namanya waktu? Cinta bisa datang kapanpun bahkan meskipun baru pertama kali melihatnya. Ah aku benar-benar bingung dengan yang aku rasakan saat ini.

***** BERSAMBUNG *****

Maaf kalau pendek. Besok aku bakalan kasih bab baru yang lebih panjang 😉

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang