Pertemuan (Bagian Akhir)

1.1K 58 42
                                    

"Em... memangnya ibunya Firman ada dimana, Ricky?" tanyaku dengan sedikit ragu-ragu. Ricky pun menjawab.

"Oh maaf, sebenarnya ia adalah anak angkatku. Setiap aku pulang dari rumah sakit, aku bertemu dengan Firman disaat ia dan neneknya tengah mengemis. Itulah sebabnya aku mengangkatnya sebagai anak. Ibunya bekerja sebagai TKI di Arab Saudi dan telah meninggal sejak lama karena sakit di sana. Sementara ayahnya juga telah meninggal karena kecelakaan. Dan sekarang, ia dan neneknya telah tinggal di rumahku. Sekarang usia Firman sudah menginjak dua belas tahun," sahut Ricky. Aku mendengarkannya dengan seksama.

"Rumah sakit? Memangnya siapa yang sakit saat itu?" tanyaku. Ricky lantas menjawab sambil tersenyum.

"Oh, rupanya kau tidak tahu. Syukurlah. Itu artinya Dian benar-benar menyimpan rapat rahasia itu," ucapnya. Aku benar-benar tak mengerti maksudnya.

"Katakan saja Ricky. Aku tak ingin ada rahasia di antara kita," ujarku. Ricky menghela nafas panjang dan menceritakannya.

"Hm... Baiklah. Aku akan menceritakannya. Sebenarnya, setiap hari aku berada di rumah sakit jiwa untuk mengurus ayahku yang jiwanya terganggu selama beberapa tahun ini," jawab Ricky. Ia terlihat tersenyum namun aku rasa itu adalah senyuman pahit yang ia sunggingkan di bibirnya.

"Maafkan aku... katakan padaku, apa yang terjadi dengan ayahmu Ricky?" aku kembali bertanya. Aku merasa sangat kaget mendengarnya.

"Kau tahu kan jika ayah pernah mencalonkan dirinya menjadi gubernur?" Aku mengangguk. Lantas ia pun melanjutkan ceritanya.

"Pemilihan gubernur saat itu telah usai. Saat hasil dari pemilihan gubernur itu diumumkan, ayah terlihat shock. Beliau sangat marah dan kecewa. Sejak saat itulah beliau kehilangan akal sehatnya..." Ricky menceritakan masalahnya. Aku jadi teringat dengan berita yang pernah aku dengar di Malaysia bahwa ada seorang calon gubernur yang mengalami gangguan jiwa. Jadi seseorang yang di dalam berita itu adalah ayah Ricky? Ah, bodoh, kenapa aku tak mendengarkannya saat itu?

Ricky pun kembali melanjutkan ceritanya.

"Sementara ibu, ia telah meninggal karena serangan jantung. Beliau tak tahan melihat ayah seperti itu..." lanjut Ricky dengan senyuman tipisnya.

"Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku di Malaysia dan kembali ke Jakarta untuk mengurus ayah, dan mencoba mengembalikan akal sehatnya. Aku menjual mobilku karena aku tak punya uang untuk mengurus ayah. Dan, setiap hari aku pulang pergi dengan menaiki busway,"

"Tapi, semua itu tidak sia-sia. Selama kurang lebih sepuluh tahun aku mengurus ayah, akhirnya ayah kembali menjadi manusia normal, bahkan lebih baik daripada ayahku yang dulu,"

"Sekarang, ayah juga menjadi seorang mualaf. Aku sangat senang melihat perubahan drastis dari ayah. Dan sekarang, kepercayaan dirinya pun kembali pulih, beliau kembali mencalonkan diri menjadi seorang gubernur," lanjutnya sambil tersenyum manis.

"Maafkan aku karena aku tak bisa hadir di pernikahanmu Jannah," ujar Ricky yang masih dengan senyuman khasnya. Oh, aku seolah-olah kembali dibuat terpesona olehnya.

"Tak masalah, Ricky," sahutku sambil tersenyum.

"Lalu, apa kau sudah menikah?" tanyaku sekali lagi dengan penuh keraguan. Karena aku takut jika harapanku ini salah.

"A... apa? Menikah?" Ricky terlihat terkejut mendengar pertanyaanku. Ia menggaruk tengkuknya.

"Oh, tidak... aku belum menikah. Bahkan calon istri pun aku masih tak punya," sahut Ricky sambil menggaruk kepalanya serta tersenyum kepadaku.

"Lalu bagaimana kabar pernikahanmu? Kau sekarang pasti punya anak. Benar kan?" tanya Ricky.

"A... apa? Oh, tidak, itu salah besar," sahutku sambil tersenyum.

"Lalu? Apa yang terjadi, Jannah?" Ricky terlihat bingung.

"Aku tak pernah menikah, Ricky. Yah, memang benar tanggal pernikahanku telah ditetapkan. Tapi, aku membatalkan pernikahan itu," jawabku sambil tersenyum.

"Kenapa kau membatalkannya, Jannah?" tanya Ricky yang semakin terlihat bingung. Aku pun menceritakan semuanya.

"Aku membatalkannya karena aku sama sekali tak mencintai Rudi. Awalnya aku mengira bahwa Rudi adalah jodohku,"

"Tapi disaat hari pernikahan, aku sangat ragu-ragu untuk melanjutkannya. Aku sadar jika aku tak pernah mencintai Rudi. Daripada aku harus menikah dengan orang yang tidak aku cintai, maka lebih baik aku membatalkannya," sambungku. Ricky pun kembali bertanya.

"Atau, jangan-jangan karena surat dariku kau membatalkan pernikahanmu?" tanya Ricky. Aku pun tersenyum.

"Sama sekali tidak, Ricky. Aku memang benar-benar tidak mencintai Rudi sedikitpun. Awalnya ayah sangat marah padaku hingga beliau tak berbicara kepadaku selama beberapa waktu. Hingga akhirnya ayah tahu siapa Rudi yang sebenarnya,"

"Rudi bukanlah pria yang baik untukku. Ayah pernah melihat Rudi sedang mabuk-mabukan dengan teman wanitanya. Ayah sangat marah dengan Rudi hingga penyakit jantung ayah kambuh. Saat kami telah tiba dirumah sakit, ayah tak tertolong lagi. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya..." ceritaku sambil tersenyum  dengan tegar mengingat ayah.

"Innalillahi wa'inna illaihi Roji'un..." ucap Ricky. Ia pun melanjutkan kata-katanya.

"Kalau begitu aku minta maaf, karena aku telah membuatmu teringat kembali dengan ayahmu. Dan aku juga minta maaf karena telah menghindarimu,"

"Karena aku pikir kau telah bahagia dengan Rudi," lanjut Ricky dengan raut wajah yang penuh dengan rasa bersalah. Aku pun tersenyum.

"Tak apa-apa, Ricky,"" sahutku.

"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang Ricky?" tanyaku. Ricky pun tersenyum dan menjawab.

"Aku telah tertarik dengan dunia dakwah. Namun karena aku bukan pendakwah yang baik, maka aku hanya bisa menyampaikan dakwah melalui animasi," jawabnya.

"Oh, jadi animasi islam yang setiap hari tayang di televisi itu adalah animasi buatanmu?" tanyaku. Ia mengangguk. Tentu saja aku kaget mendengarnya. Setiap hari aku menonton animasi itu tapi aku tak tahu siapa orang yang berada di balik pembuatan animasi itu.

Lalu ia kembali bertanya kepadaku.

"Em... lalu, apa kau punya calon untuk menggantikan Rudi di pelaminan nanti?" tanya Ricky sambil tersenyum. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepalaku dengan penuh rasa malu. Ia lantas mengucapkan kata-kata yang membuatku makin tersipu malu.

"Mungkin, Allah telah menakdirkan kita untuk bertemu di sini dan menjadi jodoh yang sejat," ujar Ricky dengan senyumannya yang bisa mematikan semua wanita.

Hm... mungkin, wajahku sudah sangat merah hingga aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
Tak terasa kami telah mengobrol panjang. Dian pun menghampiri meja kami.

"Hehe... Maaf ya, aku mengganggu kalian. Ayo kita pulang sekarang. Ini sudah hampir pukul Sembilan malam. Sebentar lagi restorannya tutup," ujar Dian sambil mengularkan cengirannya. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Iya-iya, baiklah. Ayo kita pulang," ajak Ricky. Kami pun pulang saat itu juga.

Aku sangat senang dengan pertemuan ini. Aku seperti kembali jatuh cinta kepada Ricky. Aku masih tak menyangka jika hari ini aku telah bertemu kembali dengannya.

"Ya Allah... apakah ini adalah jawaban dari do'a hamba selama ini? Apakah benar Ricky lah jodoh hamba?"

***** TBC *****

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Aku ingin mengucapkan, selamat hari raya idul fitri untuk semua muslim yang mengucapkan.

Aku tidak pandai mengucapkan kata-kata manis. Tapi, insyaAllah aku tulus ingin meminta maaf kepada semuanya.

Barangkali ada salah kata, mohon dimaafkan. Karena pada dasarnya, manusia adalah gudangnya berbuat salah dan dosa.

From me.

@SekarAdindaaa

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang