Ujian Semakin Berat (Bagian 1)

889 52 62
                                    

Sudah satu minggu aku kembali ke Malaysia. Rasanya tidak ada yang berarti. Kegiatanku hanya bekerja, beribadah, dan memenuhi kebutuhan jasmani serta rohaniku. Kegiatan yang selalu berulang-ulang hingga aku merasa bosan.

Sudah satu minggu pula aku tak menghubungi satupun dari keluargaku. Dan aku juga tak pernah menghubungi Jannah. Mungkin ia juga ke Malaysia. Tapi entahlah, aku tak lagi mendengar kabar tentang Jannah sejak pertemuanku yang terakhir di hari itu. Aku sangat ingin menghubunginya, namun aku rasa ia sangat membenci diriku karena kejadian itu.

Tepat pukul satu malam, aku terbangun karena handphoneku berbunyi. Aku mencari-carinya di sekitar ranjang, dan akhirnya aku menemukannya. Ternyata ibu yang telah membangunkanku melalui telepon.

"Assalamu'alaikum, ibu. Ada apa ibu meneleponku di tengah malam begini?" tanyaku. Aku sengaja mengucapkan salam karena aku sudah tidak perlu lagi menyembunyikan agamaku.

"Maaf nak, apa ibu mengganggumu?” Aku pun tersenyum dan berkata.

"Tidak, bu," sahutku. Jujur saja, aku sangat merindukan ibu. Aku rindu dengan omelan ibu, aku rindu dengan nasehat ibu. Aku merindukan segalanya dari ibu.

"Ibu hanya ingin mengucapkan, Selamat ulang tahun yang ke dua puluh empat, sayang..." uja ibu.

Suasana di seberang sunyi sekali. Di Indonesia saat ini pasti sekitar pukul dua belas malam. Aku rasa ibu dengan sengaja menghubungiku di tengah malam agar tak seorang pun tahu bahwa beliau tengah menghubungiku.

Aku sangat tahu bahwa ibu tidak pernah terjaga hingga selarut ini. Namun ibu rela untuk terjaga hanya untuk mengatakan ini. Beliau ingat dengan ulang tahunku yang bahkan aku sendiri pun lupa. Semua orang menjauhiku, namun ibu tidak.

Aku sangat terharu. Aku terdiam. Aku tak tahu harus mengatakan apa saat ini. Aku sangat ingin memeluk beliau, namun aku tahu, itu tidak mungkin.

"Ibu tak berharap banyak. Ibu hanya ingin dimanapun engkau berada, kau bisa bahagia. Dan Tuhan selalu melindungimu, nak..." ujar ibu dengan suaranya yang terisak. Aku bisa mendengar kalau ibu tengah menangis. Aku berusaha untuk menahan tangis. Aku tahu, ibu sangat sedih. Aku hanya bisa mengucapkan sebuah kalimat.

"Terima kasih, bu... terima kasih...." aku mendengar suara tangis ibu meskipun tak terdengar begitu jelas. Ibu pun langsung menutup teleponnya. Air mataku tengah memenuhi mataku, aku berusaha untuk tegar. Aku mencoba untuk menghapus air mata ini. Namun apa daya? Pertahananku akhirnya runtuh juga. Aku menangis malam itu.

Aku tidak kuat jika mendengar ataupun melihat ibu menangis. Tapi hari ini ibu menangis karena merindukanku. Ingin sekali aku menemui beliau dan menghapus air matanya. Tapi apa yang bisa ku lakukan? Aku hanya bisa menangis dan meminta maaf kepada ibu di dalam hatiku.

Mungkin aku memang cengeng. Namun aku berusaha untuk tak meratapi nasib. Aku hanya bisa pasrah, menyerahkan diri, serta berdo'a kepada Allah. Seandainya kalian berada di posisiku, apa yang akan kalian lakukan?

*****

Sepulang dari bekerja, aku menyalakan televisi. Malam ini aku tengah menonton berita. Ah, rupanya pemilihan gubernur di Jakarta untuk putaran kedua sudah selesai berlangsung. Itu artinya nasib ayahku tengah ditentukan saat ini.

Quick count sudah terpampang di televisi. Aku mengamati hasil quick count. Rupanya hasil penghitungan suara cukup ketat. Terkadang ayah yang berada di posisi pertama, tapi terkadang ayah berada di posisi kedua.

Aku tak mengharapkan apa-apa dari ini. Sebagai seorang anak, aku selalu mendo'akan beliau. Entah menang ataupun kalah, aku hanya menginginkan yang terbaik untuk ayah serta seluruh keluargaku. Aku memang berharap bahwa ayah bisa memenangkan pilkada. Namun menang atau kalah, hanya Allah yang tahu, dan hanya Allah yang bisa menentukannya. Karena Allah sangat tahu dengan kualitas dari diri seorang manusia.

*****

Sudah beberapa hari ini aku lembur. Semakin hari aku semakin sibuk sehingga aku tak bisa mengikuti perkembangan berita di televisi. Bahkan aku juga tak sempat untuk menghubungi ibu di tengah malam karena aku sangat lelah dengan aktivitas kerja. Dan tentu saja, aku juga tidak sempat mengikuti perkembangan pemilihan kepala daerah di Jakarta yang digelar beberapa hari lalu.

Pada siang hari ini, disaat aku tengah sibuk bekerja. Kak Meylanie meneleponku.

"Assalamu'alaikum kak, ada apa?" Aku mengangkat telepon sambil melanjutkan pekerjaan.

"Em... Ricky, apa kau bisa pulang ke Indonesia hari ini? Atau mungkin besok? Atau lusa?" tanya kak Meylanie yang terdengar kebingungan. Aku pun menjawab.

"Kak, saat ini aku sedang sibuk. Aku tidak bisa pulang. Memangnya ada apa?" tanyaku. Kak Meylanie menjawabnya dengan suara yang bergetar hebat. Aku sangat kaget mendengarnya.

"Ibu sedang dirawat di rumah sakit, Ricky..." ucap kak Meylanie dengan penuh kesedihan.

"Apa? Bagaimana bisa, kak? Ayah dimana?" tanyaku dengan sedikit berteriak.

"Aku akan menceritakan semuanya kalau kau sudah sampai disini. Maka dari itu, sebaiknya kau cepatlah pulang," sahut kak Meylanie.

"Baiklah kak, aku akan segera pulang. Terima kasih sudah memberitahuku. Assalamu'alaikum," Aku segera meminta izin kepada pimpinanku untuk pulang lebih dahulu, setelah itu aku memesan tiket pesawat. Jujur, saat ini aku sangat khawatir dengan keadaan ibu. Apa yang telah terjadi? Ya Allah hamba sangat ingin bertemu dengan ibu...

*****

Aku telah tiba di Indonesia. Kak Meylanie telah menjemputku, dan ia langsung membawaku ke rumah sakit. Banyak sekali pertanyaan yang menghampiriku hari ini. Bagaimanakah keadaan ibu? Apakah ibu sakit parah? Lalu dimana keberadaan ayah? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menghampiri diriku.

Ketika sampai di kamar ibu, aku sangat sedih melihat ibu terbaring di rumah sakit seperti ini. Ibu tak sadarkan diri. Ibu berada pada masa kritis.

Kak Meylanie bercerita kalau ibu terkena serangan jantung. Seingatku ibu memang memiliki riwayat penyakit jantung. Namun sejauh ini penyakit itu tak pernah kambuh.

"Kenapa tiba-tiba ibu bisa terserang penyakit jantung kak? Tolong ceritakanlah semuanya kepadaku..." pintaku. Awalnya kak Meylanie enggan untuk memberitahu, namun setelah aku membujuknya, ia pun berkata.

"Baiklah. Kalau begitu, ikutlah aku. Biar suamiku saja yang menjaga ibu." kata kak Meylanie. Aku pun menurutinya. Kami pergi meninggalkan rumah sakit.

*****

Aku tidak tahu kemana kak Meylanie akan membawaku, tapi perasaanku sangatlah tidak enak saat ini.

Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di tempat tujuan. Tempat yang menurutku cukup menakutkan dan tak pernah aku sukai, dan banyak sekali orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Benar, rumah sakit jiwa! Aku semakin tak mengerti apa maksud kak Meylanie membawaku kesini. Perasaanku semakin tidak enak.

"Kak, kenapa kau membawaku kesini?" tanyaku. Kak Meylanie tak menjawab pertanyaanku. Ia terus berjalan. Aku mengikuti kak Meylanie sambil melihat di sekitarku yang penuh dengan orang gila. Sungguh pemandangan yang menyedihkan.

***** TBC *****

The Most Beautiful MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang