Kedua bocah lelaki itu tampak berlari sambil tertawa. Mereka baru saja mengganggu anjing sejenis Labrador hingga membuat si anjing menggonggong marah dari balik pagar besi sebuah rumah mewah.
Setelah berlari sejauh seratus meter, kedua bocah tujuh tahun itu berhenti dengan nafas terengah. Tawa keras masih terdengar dari bibir mungil keduanya.
"Eh, Matt. Kau lihat mata anjing itu? Kelihatan lebih besar dari bola pimpong. Dia pasti sangat marah." Ujar salah satu bocah dengan berapi-api.
Yang diajak bicara hanya tergelak sambil mengangguk membenarkan.
"Untung saja Mr. Morton sedang pergi. Kalau tidak, habislah kita. Dia pasti akan mengamuk seperti banteng kalau tahu anjingnya diganggu." Kembali bocah itu berujar.
Lagi-lagi bocah yang dipanggil Matt hanya menanggapi dengan anggukan dan tawa.
"Sekarang kita mau main dimana?"
Matt terdiam lalu memegang perutnya. "Max, aku lapar. Kita pulang saja."
Bocah yang dipanggil Max merengut. "Kenapa kau sudah lapar? Kita bahkan belum puas bermain."
"Max, aku sungguh sudah lapar. Kita masih bisa bermain lagi setelah makan."
Max belum ingin pulang. Tidak ada yang menyenangkan di rumah kecil mereka. Orang tua mereka sering bertengkar karena tidak punya uang. Max sungguh tidak sanggup hidup di rumah itu. Untung saja ada Matt yang selalu menemaninya.
"Baiklah, ayo pulang." Sahut Max akhirnya dengan malas. "Tapi setelah itu kita akan main sampai gelap." Lanjut Max dengan bersemangat. Salah satu hal yang disukainya, orang tua mereka tidak akan pernah mencari mereka walau hari sudah malam. Tidak seperti orang tua anak-anak yang lain.
"Tentu." Matt menyeringai senang.
Merekapun berjalan pulang sambil sesekali melompat-lompat dan saling menganggu.
Beberapa meter dari sebuah rumah kecil di perkampungan kumuh, mereka terdiam memperhatikan mobil mewah yang terlihat salah tempat diparkir di depan rumah itu.
Kedua bocah itu saling pandang dengan bingung. Akhirnya Max mengangkat bahu sambil lalu menggandeng lengan Matt menuju rumah itu.
Suara tawa sang ibu terdengar begitu mereka masuk melalui pintu depan. Suara ibu mereka memang cukup nyaring, apa lagi kalau sedang marah.
"Eh, Matt. Kenapa aku malah takut mendengar tawa ibu?" bisik Max.
Matt tersenyum geli. "Seharusnya kau senang karena ibu tidak marah-marah seperti biasa."
Entah mengapa Max jadi begitu gelisah ketika mereka semakin dalam masuk ke rumah menuju ruang tengah dimana suara itu berasal. Rasanya Max ingin menarik Matt untuk kembali pergi keluar rumah.
"Ah, lihat. Itu mereka sudah pulang." Ucap ayah mereka dengan senyum lebar. "Kemarilah!" tegasnya dengan nada lembut.
Kedua bocah itu berjalan menuju ketiga orang yang sedang duduk lesehan di ruang tengah. Matt tampak semangat menghampiri ayah mereka sedang Max terlihat jelas merasa enggan.
"Matt sayang, duduklah di samping ayah." Ibu mereka memerintah.
Keheranan Max semakin dalam karena panggilan 'sayang' dan sikap kedua orang tuanya pada Matt. Padahal dia sendiri tahu bahwa kedua orang tuanya sangat membenci Matt entah kenapa.
Max masih terdiam memperhatikan ayahnya yang merangkul Matt ketika bocah itu duduk di samping sang ayah. Mendadak tangan sang ibu menarik lengan Max agar ia duduk di sebelahnya.
"Ini yang bernama Matthew." Jelas sang ayah pada lelaki asing itu.
"Hallo, Matthew." Sapa lelaki yang menurut Max lebih terlihat cantik daripada tampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Polisi Penggoda (TAMAT)
Romans[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Bertemu polisi berwajah tampan di pagi yang cerah, merupakan sebuah anugerah bagi semua wanita. Tapi tidak bagi Ratna. Pertemuan itu membuat harinya kacau hingga ia merasa seperti di neraka. Bahkan belum cukup denga...