Freddy menuruni tangga dengan perlahan. Hatinya diliputi rasa bersalah. Seharusnya dia tidak marah-marah seperti tadi. Keluarganya pasti berusaha keras untuk membuat pesta kejutan itu, tapi dirinya sama sekali tidak menghargai usaha mereka.
Benar kata papa dan mamanya, dia menjadi bukan dirinya sendiri karena kehilangan ketenangannya. Perasaannya lebih menguasai diri Freddy daripada logikanya hingga membuat insting tajam yang biasanya dia andalkan, jadi tidak berfungsi.
Freddy menatap orang-orang yang dicintainya dengan ragu. Mereka tampak sedang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
"Maafkan aku."
Semua orang dalam ruangan itu menoleh pada sumber suara yang masih berdiri di dekat tangga.
"Ah, kak. Kau menyebalkan. Kau suka sekali menjahili orang lain, tapi kau malah murka ketika dirimu yang dijahili." Gabriel mencoba kembali mencairkan suasana.
Freddy meringis. "Aku yakin kau juga pernah merasakan hal yang sama. Suka sekali memeriksa dan mengobati pasien, tapi aku yakin kau akan kesal jika dirimu yang menjadi pasien. Sama seperti Papa yang suka mengatur dan memerintah, pasti Papa juga akan merasa kesal ketika dirinya yang diatur dan diperintah."
"Jadi kakak merasa kelakuan kakak benar ya?" sindir Nindy.
Mendadak Freddy tertawa sombong. "Tentu saja. Kapan Freddy Keegan pernah salah?"
"Dasar makhluk satu ini!" Gabriel menghampiri kakaknya lalu merangkulkan salah satu lengan ke leher Freddy dengan posisi mencekik.
Freddy terkekeh sambil melawan lemah. Dia memilih membiarkan adiknya karena jika adu kekuatan, semua orang dalam ruangan itu tahu bahwa Gabriel tidak akan menang.
Suasana mulai mencair setelah pergulatan kakak dan adik itu. Mereka mulai melanjutkan acara yang terpotong.
Freddy sudah melarang semua orang untuk menyanyikan lagu "happy birthday". Kedengarannya sangat menggelikan ketika dinyanyikan untuk merayakan ulang tahun lelaki dewasa berusia tiga puluh satu tahun. Tapi semua orang bersikeras. Apalagi menurut Fransisca, Freddy sudah tidak pernah merayakan ulang tahun lagi sejak tinggal sendiri.
Akhirnya Freddy pasrah karena tidak mungkin dia bisa membekap mulut semua orang di ruangan itu.
"Buat permohonan!" pekik Nayla yang sudah berusia lima tahun.
Freddy menuruti keinginan keponakannya. Dia menyatukan kedua tangan di depan dada lalu memejamkan mata. Keinginannya sederhana. Dia hanya memohon agar dirinya bisa melindungi orang-orang yang dicintainya.
"Nayla mau meniup lilin bersama Om Freddy?" tanya Freddy pada gadis kecil itu.
Nayla melonjak-lonjak senang sambil mengulurkan kedua tangannya minta digendong. "Mau! Mau!"
Semua orang tertawa gemas melihat tingkah si gadis kecil. Freddy menggoda Nayla dengan meniup lilin lebih dulu hingga mati. Bibir Nayla mencebik siap menangis yang segera dihibur sang ibu dengan menyalakan lilin kembali.
Ratna tidak bisa menutupi betapa bahagia hatinya sekarang. Berada di tengah-tengah keluarga yang hangat. Diperlakukan layaknya salah satu putri di rumah itu.
"Waktunya potong kue." Ujar Fransisca sambil menyerahkan pisau ke tangan Freddy.
Freddy memotong kue persegi yang terkesan maskulin dengan lumuran dark chocolate. Potongan pertama dia serahkan kepada Fransisca lalu Jeremy.
"Potongan kue selanjutnya tentu untukku. Karena aku adalah adik kesayangan kakak." Ujar Gabriel percaya diri.
Freddy mencibir malas lalu mengabaikan Gabriel dan berjalan menuju Ratna. "Tentu saja untuk calon istriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Polisi Penggoda (TAMAT)
Storie d'amore[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Bertemu polisi berwajah tampan di pagi yang cerah, merupakan sebuah anugerah bagi semua wanita. Tapi tidak bagi Ratna. Pertemuan itu membuat harinya kacau hingga ia merasa seperti di neraka. Bahkan belum cukup denga...