Selamat Tinggal Sanny

52 6 28
                                    


"Hai, Dira," ucap seseorang yang dulu pernah ia sebut sahabat. Rambut panjangnya tergerai dipadukan dress merah marun selutut, Sanny tampak begitu cantik.

"Selamat ya, kamu sudah di wisuda lho sekarang." Sanny tersenyum memperlihatkan senyum andalan yang bisa membuat para lelaki bertekuk lutut.

"Dira, sekarang kamu cantik berbeda saat masih SMP," kata Sanny dengan takjub. "Apa kamu masih ingat awal persahabatan kita?"

Dira hanya diam saja mendengar Sanny berbicara. Ia tidak menyangka Sanny hadir di acara wisudanya.

"Kamu masih marah hingga tidak mau berbicara kepadaku? Bukankah kita adalah sahabat?" tanyanya dengan muka memelas.

Ingatan Dira melayang saat masih bersahabat dengan Sanny di SMP.

Dulu Dira begitu kesepian. Di rumah, kedua orang tuanya hanya sibuk bertengkar karena orang ketiga. Di sekolah, ia selalu sendirian saat makan siang karena tidak ada teman yang mau bermain dengan dirinya yang gendut. Hingga suatu hari seorang murid baru pindah ke sekolahnya. Murid baru itu Sanny. Sejak hari itu, mereka resmi bersahabat.

"Sanny, kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu harus datang di pesta ulang tahunku yang dirayakan besok malam di kafe dekat rumahku," kata Dira dengan semangat.

"Aku pasti datang!" kata Sanny dengan nada riang.

Keesokan harinya, saat pesta ulang tahun Dira.

"Potongan kue pertama dan kedua akan ku berikan untuk Ibu dan Ayah." Ibu tersenyum bahagia saat Dira memberikan kuenya. Ayah juga memakan kue dengan lahap.

"Potongan ketiga akan kuberikan untuk Sanny, sahabat terbaikku," ucap Dira dengan antusias. "Sanny, ayo maju jangan malu-malu!"

"Siapa Sanny?" tanya salah satu teman sekolahku, Maya

"Teman semejaku. Bukankah kamu selalu melihatku bicara dengannya?" tanya Dira heran.

"Tidak pernah ada teman semejamu, Dira. Selama ini kamu selalu duduk sendiri." Maya berkata dengan pelan.

Seketika semua teman Dira berbicara di belakang. Masih sempat Dira mendengar kata gila disebut untuknya. Senyum Ayah dan Ibu menghilang dalam sekejap. Hari itu menjadi pesta ulang tahun terburuk bagi Dira. Malamnya Sanny berkunjung ke rumahnya.

"Pergi kamu. Pergi!" teriak Dira dengan suara tinggi. Ekspresi wajahnya mengeras dan memerah karena emosi. Pembuluh darah tampak tegang di leher. Tangannya mengepal erat. "Jangan pernah kembali lagi! Kita bukan sahabat lagi karena kamu hidupku menjadi sulit."

"Tenang Dira. Ini sudah malam." Ibu dengan mata berkaca memeluk erat Dira. Dia tidak mampu melihat Dira terus berbicara dengan Sanny. "Kita akan bersama hadapi ini."

Setelah itu ada banyak pertemuan dengan psikolog yang dijadwalkan oleh Ayah. Dira perlahan membuka diri untuk berteman. Ketakutannya untuk menjalani hubungan dengan orang lain, perlahan memudar.

Pikiran Dira kembali ke saat ini.

"Kamu tidak pernah nyata, Sanny! Lihat saja wajah dan tinggimu tetap sama seperti saat aku SMP." Dira akhirnya berbicara dengan Sanny. "Sanny, terima kasih, kamu pernah hadir menemani saat kesepianku dulu. Tapi maaf, aku tidak akan pernah bersahabat lagi denganmu. Selamat tinggal, Sanny."

"Dira, jangan tinggalkan aku lagi," teriak Sanny dalam tangis.

Dira meninggalkan Sanny tanpa pernah menengok lagi. Hatinya memang sedih saat berpisah dengan Sanny tapi akan jauh lebih menyakitkan saat mendengar tangisan Ibu setelah Sanny berkunjung.

"Dira, apa yang kamu lakukan di pojok sana tadi? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Maya dengan nada khawatir.

"Hanya menyelesaikan kisah lama. Tidak ada yang perlu dicemaskan," jawabnya tenang.

"Kalau begitu kita harus wefie," ucap Maya sambil mengarahkan ponselnya untuk berfoto bersama dengan baju toga.

Dira akhirnya berfoto dengan sahabatnya. Baginya saat ini, sahabat bukanlah seorang yang selalu memuji namun seorang yang mampu mengkritik agar dirinya menjadi lebih baik.



Snack StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang