" Tak apa aku menangis menahan rasa sakit dan sesal,
Asal bukan kamu yang terluka."
-Aline***
Mama mengusapan pelan rambutku. Penuh kasih sayang dan aku semakin menenggelamkan wajahku dibatal.
"Kamu ngapain sih ikut taruhan segala?'' tanya mama masih mengusap pelan rambutku. Aku hanya diam tidak berani menjawab, tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku ikut taruhan karena harga diri. Aku hanya mengatakan bahwa aku kalah taruhan jadi harus ikut balapan.
"Kenapa nangis" tanya mama ketika mengengar isak tangisku "papa marahin kamu kebangetan ya? Ngebentak?'' aku menggeleng pelan
"Terus kenapa nangis? Gak biasanya kamu nangis?"
Mama memang jarang melihatku menangis, entah saat aku dimarahi atau hal lainnya. Aku tidak akan menangis terkecuali benar-benar menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam, atau sedang menonton drama korea yang memang menyedihkan.
"Apa karena SIM kamu disita?" mama menepuk pundakku ketika mendengar isak tangisku semakin keras.
"Asal jangan mobil yang disita" ucap mama lagi.
"Mama lupa ya?" aku menarik nafas pelan. " Bawa mobil tanpa SIM sama aja bohong." Ucapku cepat , sangat susah berbicara saat hidung tersumbat dan tenggorokan sakit akibat menahan tangis.Papa menyita SIMku, karena papa tau sulit membawa kendaraan tanpa SIM sekarang. Namun aku menangis bukan karena hal itu, ucapan papa waktu itu benar-benar tepat mengenai hatiku, papa tidak marah besar karena tau aku sering keluyuran malam-malam. Papa hanya mengatakan kekecewaannya terhadapku dan aku merasa aku menjadi anak yang sangat bodoh mementingkan harga diri, aku menyesal dan aku akan terima apa saja hukuman yang papa berikan.
"Kamu tau kenapa papa memberi kebebasan? Padahal papa tau pergaulan anak jaman sekarang sudah keteterlaluan. Karena papa percaya sama kamu, papa percaya kamu tidak akan melalukan hal buruk. Kamu putri papa satu-satunya, papa yang merawat kamu dari kecil, apapun yang kamu lakukan papa tidak marah atau memukulmu, papa tidak ingin kamu terluka sedikit pun. Tapi apa yang kamu lakukan? Balapan, bahaya bisa datang kapan saja, papa menjaga kamu tetapi kamu tidak menjaga dirimu sendiri."
Papa tidak pernah memarahiku, papa hanya akan menasehatiku. Tidak peduli apapun yang aku lakukan selama ini, tidak seperti mama yang akan langsung memarahiku habis-habisan, dan pasti akan menghukumku atas kesalahanku.
"Ma, kapan Ande pulang? Aku kangen." Ucapku langsun g memeluk mama, menghentikan tangisan kekanak-kanakanku ini.
"Ande lagi sibuk kuliah, kamu kapan libur? biar bisa jenguk Ande." Ucap mama membalas pelukanku.
***
Setelah menekan bel beberapa kali, namun orangnya tidak keluar juga akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya saja. Mungkin dia belum bangun atau sedang mandi.
"Hallo" jawabnya dari dalam sana.
"Kamu udah bangun?" tanyaku.
"Udah, ini baru selesai mandi."
"Aku didepan pintu, udah mencet bel berapa kali."
"Gak kedengeran, bentar." Ucapnya langsung memutuskan sambungan telepon, aku menyimpan kembali handphone kedalam slingbagku.
"Maaf lama." Ucapnya setelah membukakan pintu. Aku memperhatikannya dari atas hingga bawah, benar-benar baru selesai mandi, dengan rambut basah dan masih menetes dan handuk yang masih melilit dipinggangnya.
"Buruan pake baju, aku nyiapin makan dulu." Perintahku padanya sambil menunjukkan kotak makanan yang kubawa dari rumah. Danish datang ke Indonesia tadi malam, dia sedang mengurus beberapa hal untuk perlombaannya yang akan dilaksanakan minggu depan.
Danish dulunya tinggal di Indonesia, hanya saja karena bisnis orang tuanya dia harus ikut serta pindah kewarganegraan Malaysia. Namun dia masih sering ke Indonesia karena keluarganya masih disini. Orang tuaku mengenal orang tua Danish, bahkan aku kenal Danish dari tante Risa mamanya Danish saat acara malam itu.
Kecupan dipipiku membuat lamunanku tentang pertama kali bertemu dengannya hilang.
"Kangen masakan kamu." Ucapnya langsung duduk dihadapanku.
"Masakannya doang nih?" selidikku.
"Sama yang bikin juga." aku hanya tertawa pelan mendengar ucapannya. Kemudian kami berdua menikmati makanan yang ku buat tadi pagi di rumah. Dia bilang ingin sarapan denganku, jadi aku berniat membuatnya makanan karena dia sering mengatakan ingin makan masakanku ketika ditelepon.
"Kamu ada niat nikah muda gak?
"Hah?" tanyaku bingung. "Udah cocok jadi istri nih." Jawabnya menatapku.
"Ngaco." Ucapku pelan.
Aku mengunyah pelan makananku, mataku terus memperhatikan gerak-gerik Danish yang makan dengan lahap masakanku.
"Kenapa?" tanyanya menatapku.
"Hah?"
"Kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu?" selidiknya.
"Gak." Jawabku pelan.
"Ada yang mau kamu katakan?" tanyanya lagi, aku menunduk menatap kakiku. Sejujurnya aku benci situasi ini, aku benci menyakiti orang lain, namun jika terus-terusan begini aku malah akan menyakitinya lebih banyak lagi.
Aku menautkan kedua tanganku diatas paha. "Aku mau putus." Ada rasa lega ketika aku berhasil mengucapkan tiga kata tersebut, jika air mataku tidak jatuh ketangan maka aku tidak sadar bahwa aku menangis. Aku mengangkat kepala mencoba menatapnya, tubuhnya menegang, dia meminum segelas air, mengakhiri makannya kemudian dia menatapku sendu.
Aku tau arti dari tatapan tersebut, terluka.
"Kamu yang minta putus, tapi kenapa malah kamu yang nangis?" iya, kenapa malah aku yang menangis? Mungkin karena dia selalu bersikap baik padaku dan aku malah menyakitinya.
"Kamu cinta aku?" aku tertegun dengan pertanyaannya.
"Gak, kan?" dia berdiri dari duduknya dan berlutut didepanku, menarik kedua tanganku.
"Jadi jangan nangis, seolah aku cowok brengsek yang mutusi cewek baik dan cantik kaya kamu." Dia menghapus air mataku.
"Maaf aku nyakitin kamu." Ucapku pelan,
"Kamu gak pernah nyakitin aku, jadi jangan pernah berpikir begitu."
Aku menarik nafas dalam. "Aku merusak sarapan paginya."
"Kita putus, tapi ini bukan terakhir kalinya kau makan masakan kamu ya." Dia tersenyum, aku memeluknya. "Sorry."
"Hm." Jawabnya. " you know, i love you even more right?"
"I know you're the best man"
"Lelaki baik yang kamu putusin." Aku tertawa sambil menangis.
Sorry i can't say i love you,Dan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be Yours
Teen FictionGadis yang mencoba mencari cinta senjati bertemu dengan pria yang menunggu cinta sejati datang. Tanpa diatur semua berjalan seperti air yang mengalir mereka berdua bertemu dan terlibat dalam suatu hubungan yang tiada akhir.