Strike Number One

32 7 0
                                    


"Kita yang menjalani kenapa harus peduli perkataan orang lain?" 

-Aline



"Save. Okay!" ucapku pada diriku sendiri, aku meregangkan otot-ototku setelah beberapa jam berada didepan laptop kemudian mematikan laptopku dan memasukkannya kedalam tas. Aku memandang kebawah dimana lapangan basket berada, para pemain basket tampaknya sudah selesai bermain dan tidak jauh dari lapangan basket tampat orang-orang bermain skateboard. Ah, aku suka tempat ini dimana aku bisa memperhatikan orang-orang yang sedang fokus pada kegiatan masing-masing.

Aku mengambil handphoneku yang diatur dalam mode diam agar tidak mengganggu ketika aku berusaha fokus pada laptopku tadinya. Banyak chat yang masuk, 3 panggilan tak terjawab dari mama dan 10 panggilan tak terjawab dari Allan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Ratu dan Key. Aku membuka pesan dari mama terlebih dahulu yang memberitahukan bahwa malam ini tidak pulang jadi mama memberi kebijakan padaku untuk makan di luar saja dengan papa malam ini.

"Iya, sayang." Ucap papa ketika mengangkat telepon dariku.

"Mau makan dirumah atau Aline yang masak?" tanyaku.

"Mama gak pulang?"

"Papa gak dikasih tau?"

"Ah iya ada tadi. Diluar aja tempat biasa, kamu dimana? Nanti papa jemput."

"Setengah 6 ya pa, nanti Aline aja yang kesana."

Setelah mematikan telepon dari papa aku langsung menghubungi Allan.

"Where are you?" tanyanya ketika telepon terhubung.

"Dekat lapangan basket." Jawabku

"Gue gak liat lo di sekolah."

"Emang bukan di sekolah, duh."

"Naik apa ke sana?"

"Grab."

"Shareloc, gue jemput."

"Yash! Oke bos." Ucapku tersenyum, memang enak punya pacar yang pengertiaan tanpa disuruh tapi inisiatif sendiri. Sebenarnya aku merasa sedikit bersalah, kemarin aku yang mengajaknya pacaran tapi malah dia yang lebih banyak berperan sebagai pacar walaupun sebenarnya ketika aku ingin mulai berperan sebagai pacarnya, malah dia yang susah dihubungi.

Aku membuka Line membaca satu persatu chat dari Key, Resa dan Ratu yang isinya hanya sumpah serapah dasar gadis-gadis kasar. Ketika aku baru saja membalas chat mereka, Ratu langsung menelponku.

"Tolong ya, fungsikan dengan baik handphone  lo itu." Ucap Ratu

"Sok sibuk banget, padahal lo bukan artis." Itu suara Key

"Bacot ah lu berdua. Heh bitch! Kenapa lo gak turun latihan cheers?" aku langsung tertawa mendengar sumpah serapahnya.

"Kan gue udah keluar, ngapain ikut latihan. Bego." Balasku

"Jadi bener ya? Okay, pokoknya ketika bertiga ngambek sama lo." Ucap Key yang langsung mematikan telepon, aku menarik napas pelan. Aku ikut Cheers hanya ingin mengisi waktu luangku, kelas tiga ini aku sudah memutuskan untuk tidak ikut apa-apa.

"Ngambek aja sono lu bertiga." Ucapku sendiri.

"Hai." Aku langsung menoleh kesumber suara, dimana ada seorang lelaki memakai baju basket dan rambutnya basah oleh keringat. Tidak munafik aku mengakui dia tampan.

"Ngomong sama gue?" tanyaku memastikan.

"Disini cuman ada lo kan?" ucapnya mengulum senyum, kurang ajar.

"Oh." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Gue sering liat lo di sini." Ucapnya langsung duduk disampingku,

"Iya, gue emang suka kesini." Balasku

"Kenalin gue Rangga, dan lo?" dia mengulurkan tangan padaku dan aku menyambutnya. "Mora." Beritahuku, aku memang menggunakan nama Mora ketika diluar, hanya teman sekolah yang memanggilku Aline itu aku lakukan hanya untuk membedakan orang-orangnya saja, karena aku perlu waspada.

"Sebenarnya gue mau memastikan sesuatu." Ucapnya tiba-tiba, aku menatapnya dan menaikkan kedua alisku.

"Lo Mora yang kemaren berantem di Club sama Lian itu kan?" Anjir, orang ini punya ingatan yang baik kayanya padahal itu kejadian bulan lalu.

"Haha, lo liat gue." Aku tertawa tidak jelas mencoba tenang.

"Gue penasaran..."

"Aline!" Oh my savior, thank you. Aku melihat Allan berdiri di lapangan basket sambil melambaikan tangan.

"Siapa?" tanyanya.

"Pacar gue."

"Memang gak mungkin cewek secantik lo gak punya pacar ya." Dia berbicara tidak jelas.

"Gak ada yang gak mungkin, duluan ya." Ucapku kemudian berjalan cepat menuju Allan.

Sesampai di lapangan Allan langsung meambil tas yag memang belum sempat ku sampirkan dipunggungku, dia langsung menyampirkan dipunggungnya sebenarnya itu tas Jack Frost yang ku pinjam jadi ketika Allan memakainya tetap terlihat pantas .

"Apaan nih berat?" tanyanya sambil berjalan.

"Laptop." Jawabku, "Mobil Leo?" tanyaku ketika sampai di parkiran.

"Gak bawa helm buat lo kalau naik motor." Jawabnya kemudian membukakan pintu untukku.

"Mau kemana?"

"Terserah deh, gue mau ketemu papa nanti jam 6." Ucapku padanya

"Mau makan gak? Gue laper."

"Gue haus." Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala mengerti.

"Oh ya, kenapa tadi temen-temen lo pada nyariin lo. Ratu aja sampe nyamperin gue."

"Terus lo jawab apa." Tanyaku

"Gue bilang gue gak tau, terus Ratu bilang gue gak becus jadi pacar. Dia tau kita pacaran?"

"Dasar cewek sinting. Iya, kemaren gue bilang."

"Gak masalah kalau temen-temen gue tau kita pacaran?" aku menatapnya bingung, pertanyaan apaan itu?

"Apa kita pernah membahas kalau kita harus backstreet?" Tanyaku padanya

"Gak sih, cuman.." dia berpikir sejenak, aku menaikkan kedua alisku. "Gue ngerasa cuman kita berdua yang tau." Aku langsung tertawa dengan ucapan konyolnya itu.

"Dengar ya, apa harus gue bilang kesemua kita pacaran?" dia menggeleng pelan.

"Nah, kalau ada yang nanya ya jawab aja." Ucapku padanya

"Oh, gitu ya."

"Astaga." Aku kembali tertawa lagi.

"Tumben lo pinter."

"Kurang ajar." Aku langsung mencubit lengannya, dia mengaduh kesakitan.

Wanna Be YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang