6

558 46 12
                                    

Levi membuka mata perlahan. Ruang perawatan tampak sepi. Ia berbaring sendirian di atas tempat tidur. Alat bantu pernafasan serta EKG yang memantau jantung nya sejak semalam juga sudah di lepas. Mungkin untuk sementara saja.

Ya, sementara juga tidak buruk, karena alat - alat yang menempel di dada membuat risi.
Tinggal jarum abbocath yang masih bertengger, menembus vena kanan, mengalirkan cairan infus dari flabottle ke tubuhnya.

Pria raven itu mendesah pelan, menutup mata dengan sebelah tangan yang masih bebas. Rasa sakit yang semalam membuat nya tidak berdaya sekarang sudah lenyap. Bisa disebut tidak lenyap sama sekali. Rasa sakit itu hanya tidur sementara, bagai tipu muslihat menenangkan orang - orang yang mengkhawatirkan nya.

Kecuali diri nya sendiri.

Jika ia terlalu kelelahan, rasa sakit yang menebah akan datang sekonyong - konyong, siap membawa nyawa nya kapan saja.

Hal itu membuat Levi lumayan tertekan. Lebih lagi ia sering merepotkan sang ibu.

Napas nya tertahan. Ia membuka kembali kelopak mata, mengintip dari celah jari yang masih melindungi penglihatan. Pikiran nya melayang.

Dulu, ia juga pernah berada di posisi yang sama seperti sekarang. Bukan berarti akhir-akhir ini ia tidak pernah ada dalam kondisi seperti ini.

Tidak.

Hanya saja, untuk pertamakali nya saat itu, seorang Levi mengenal rumah sakit.

Saat SMP menginjak tahun kedua.

Ego dan kelabilan masa remaja membawa nya menjadi pria berhati dingin, cenderung sadis. Hidup berdua dengan ibu karena di tinggalkan oleh ayah sejak ber umur satu tahun.
Anak satu tahun, tentu saja tidak mengerti kenapa ibu dan ayah tidak lagi tinggal serumah. Paman nya yang saat itu rajin menemani di apartemen hanya mengatakan bahwa ayah nya telah mati. Levi kecil hanya bisa mengedip lugu memandang sang paman. Belum mengerti arti kata mati.

Setelah sedikit lebih besar, ia hanya tahu bahwa pilihannya untuk tinggal dengan ibu yang berasal dari keluarga kaya raya adalah hal tepat. Setidaknya ia tidak perlu memikirkan soal kesejahteraan. Dan dari seorang paman yang angkuh sekaligus sedikit keras, ia belajar menggunakan senjata dan bertarung sejak umur 5 tahun, meski sekarang pak tua yang dipanggilnya paman itu tidak pernah berkunjung lagi selama belasan tahun.

Ayah nya? Entahlah. Ia tidak pernah bertanya lagi. Yang pasti, hidup berdua saja dengan ibu yang sibuk bekerja membuat Levi tumbuh menjadi remaja yang tangguh.

Tidak suka diperintah dan suka memerintah. Tidak suka ditindas tapi suka menindas. Hah, lucu sekali.
Tapi itu ia lakukan jika ada yang coba mencari gara - gara.

Suatu hari, ia dijebak oleh sepuluh orang senpai di atap sekolah. Levi sebenar nya tidak ada urusan dengan mereka. Hanya saja itu karena kecerobohannya menolong seorang teman yang hampir pingsan dihajar salah seorang senpai nya.

Seharusnya ia cuek bebek dan langsung melenggang ke kelas. Tapi tendangan maut malah mendarat pada punggung senpai malang tersebut. Siapa bilang Levi tidak pernah ceroboh? Ia hanya tidak ingin orang lain meniru prinsip nya. Sementara kecerobohan demi kecerobohan tetap berjalan.

Dan seperti biasa, dengan tenang ia meladeni ke sepuluh senpai tersebut. Sampai di akhir pertarungan, ia merasa ada yang tidak beres. Salah seorang senpai tadi sempat mencengkeram pundaknya. Dan rasa sakit itu masih tetap bertengger, bahkan menjalar sepanjang lengan kiri hingga ke dada. Ia mengernyit, menerka - nerka apa punggung nya tertusuk sesuatu?

Tidak.

Para senpai bodoh itu bertarung dengan tangan kosong. Tidak ada yang membawa senjata. Tapi kenapa, ia merasa tercekik dan kehabisan tenaga?

FALL [RIREN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang