14

471 40 33
                                    

Perancis, 18 Desember xxxx

"Selamat pagi." Kuchel tersenyum, mendekat ke sisi tempat tidur.
"Sudah siap untuk hari ini?" Ia bertanya lembut pada sang putra yang berbaring memandang datar padanya.

"Siap atau tidak aku tetap akan dipaksa oleh pak tua itu dan kau tidak kuasa mencegahnya." Ujarnya sedikit sarkas. Kuchel menarik pelan tempat duduk di belakangnya mendekat ke tempat tidur. Wanita itu melipat kedua tangan di pinggir ranjang, meletakkan dagu di atasnya sembari memandangi Levi. Ia tersenyum geli, bahkan anaknya yang keras kepala ini tunduk begitu saja kepada sang paman. Apalagi ia yang hanya seorang wanita sekaligus adik bungsu.

"Kau marah padaku?"

Levi mendengus kesal.
"Pertanyaan yang sama sejak lusa." Pikirnya. Ia memilih untuk tidak menjawab. Lebih tepatnya tidak tahu mau jawab apa. Yang dipikirkan saat ini adalah benda pada genggaman tangan kiri. Yang disembunyikannya sejak menginjakkan kaki di Perancis. Beberapa kali benda itu diremas lembut sebelum ia mengangkat tangan yang sebelumnya tersembunyi di balik selimut. Levi mengarahkan tangan kiri ke atas wajah, membuka perlahan genggamannya disana. Cincin perak dengan ukiran nama Eren di dalamnya. Mengenang nama itu sehari dua puluh kali, lebih sering membuat jantungnya berdegup ngilu. Dan jika Eren adalah obat, sudah pasti Levi mengalami overdosis karena sering melamunkannya.

Kuchel melirik benda pada tangan Levi dengan tatapan heran. Ia mengangkat wajah.

"Bukankah dokter sudah memperingatkan untuk melepas semua benda logam yang kau pakai sebelum masuk ruang operasi?" Tanya Kuchel.

"Tapi aku tidak memakai. Hanya memegangnya." Jawab Levi kalem.

Sebelum sempat berbicara lagi, pintu diketuk lembut disusul tiga orang berpakaian putih memasuki ruangan.

"Sudah waktunya nyonya." Ujar salah seorang sambil tersenyum. Kuchel mengangguk. Ia mempersilahkan mereka untuk mendorong tempat tidur Levi menuju ruang operasi.

"Ini terakhir kali aku minta tolong padamu." Ujar Levi meraih pergelangan tangan sang ibu sebelum didorong keluar ruangan.

Kuchel meremas buku-buku jari putranya.
"Katakan."

"Simpan ini untukku." Levi memindahkan benda di telapak tangannya ke tangan sang ibu. Kuchel menatap benda yang ada di telapak tangan kemudian beralih pada Levi yang masih memandanginya.

"Berjanjilah untuk segera mengambilnya, mengerti?"

"......aku tahu." Jawab Levi pendek.

"Kau harus berjanji padaku." Kuchel menunjukkan kelingking kanannya namun hanya dibalas senyuman tipis.
"Kau tidak mau berjanji?"

Levi memandang ibunya menerawang. Bibirnya terangkat meluncurkan kata pelan dan lirih.
"Aku ragu melakukan janji yang tidak akan bisa kutepati."

Fall
Part 14
Found you
.
.
.
.
.
.
.


Maria, 25 Desember xxxx

Pagi yang dingin. Suhu dibawah nol derajat celcius. Salju yang jatuh semalam rupanya mulai menumpuk membentuk gundukan. Lagu natal mengalun lembut dari tape deck tua di lantai bawah. Suasana hangat rumah berbanding terbalik dengan hati pemiliknya yang meranggas. Eren menatap kosong jendela kamar yang langsung mengarah ke balkon. Terlelap hanya dua jam sejak semalam tidak membuat matanya tergoda untuk kembali mengatup. Apalagi dengan kondisi kepala berdenyut dan badan penuh luka. Pada dahi tertempel plester kompres demam, pergelangan kaki kiri terkilir dan bengkak akibat jatuh semalam terpaksa dibebat.

FALL [RIREN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang