Budayakan klik tombol bintang sebelum membaca dan beri komentar setelah membaca part ini.
Happy reading.You can take this heart, heal it or break it all apart?
No, this isn't fair, love me or leave me here?Sorry for typos.
•••
Setelah semalaman Anin bergelut dengan dasi yang mengikat kedua tangannya, akhirnya ia bisa membuka ikatan itu. Setelah ikatan di kedua tangannya terbuka, Anin lanjut membuka ikatan di kakinya.
Anin meringis saat berjalan menuju kamar mandi, tetapi ia paksakan. Lagipula, Rafa tidak akan membantunya saat ia kesakitan seperti ini.
Anin masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur dirinya dengan shower. Menikmati rasa sakitnya. Ia sakit, sangat sakit. Sakit di fisiknya tidak setara dengan sakit di hatinya. Apalagi saat membayangkan kedua orang tuanya menangis saat mengetahui anaknya menjadi seperti ini. Menjadi anak yang kotor. Padahal, kedua orang tuanya tidak pernah mengajarkan Anin seperti ini. Anin merasa sangat bersalah kepada orang tuanya.
Setelah merasa dirinya cukup bersih, Anin keluar kamar mandi dengan tubuh yang dibalut oleh kimono.
Anin mengabaikan rasa sakit yang terus berasal dari selangkangannya, ia memakai pakaian yang dirasa cocok untuk pergi saat ini.
Anin memakai skinny jeans berwarna hitam, yang dipadukan dengan sweater turtle neck berwarna hitam juga. Alasan Anin memakai sweater turtle neck hanya satu, yaitu untuk menutupi kissmark yang diberikan oleh Rafa pada lehernya semalam. Mengingatnya membuat Anin ingin kembali menangis, tetapi Anin tahan.
Sungguh, Anin tidak ingin bertemu dengan Rafa. Sangat tidak ingin. Anin takut, sangat takut jika kejadian semalam terjadi kembali.
Setelah Anin merasa tampilannya sudah rapi, tidak terlihat menyeramkan seperti zombie sebelumnya, Anin memutuskan untuk mencoba membuka pintu apartemen. Siapa tau tidak Rafa kunci. Dan tepat, pintunya tidak Rafa kunci. Setelah menuliskan post it, Anin langsung pergi dan memesan taksi.
Tak lama, taksinya datang di depan gedung apartemen. Anin masuk ke dalam taksi, menyebutkan alamat yang ia tuju. Taksi pun berjalan menembus kabut tipis di pagi kota Bandung.
Setelah sampai di alamat yang Anin tuju, Anin turun dari taksi setelah sebelumnya membayar taksi tersebut.
Ia tersenyum seperti tanpa beban kepada Pak Iwan, penjaga makam kedua orang tuanya. Memberikan bingkisan yang sudah ia beli tadi, lalu pamit untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya yang memang berdampingan.
Ia tersenyum, lalu berjongkok di depan makam orang tuanya. Menyimpan sebucket bunga mawar putih di atas kuburan Bundanya, lalu menyimpan sebucket bunga mawar merah di atas kuburan sang Ayah.
"Yah, Bun, maaf Anin baru kesini lagi. Anin kan udah punya suami, susah buat izin," bibir Anin mengerucut sebal, padahal apa yang ia katakan sama sekali tidak sesuai fakta.
"Anin kangen banget sama kalian," Anin kembali bermonolog. Angin berhembus membuat rambut Anin berantakan.
Anin menghela nafas, lalu menghadap ke pusara milik Bundanya. Ia akan mengeluarkan curahan hatinya, karena sejak dulu Bundanya lah yang sangat pengertian terhadap Anin.
"Bun, Anin minta maaf. Anin gak maksud jadi anak yang nakal, jadi anak yang kotor. Anin juga minta maaf bikin kalian sedih di sana, Anin tau kalian udah tau tanpa Anin ceritain," setetes air mata turun begitu saja tanpa Anin izinkan. Anin membiarkannya, tidak berniat menghapusnya.
"Tapi sumpah Bun, Anin gak mau diperlakuin kaya malem. Anin ngerasa Anin kotor, nggak suci, Anin ngerasa Anin jijik sama tubuh Anin. Tapi Anin bisa apa Bun? Anin gak bisa ngebantah suami. Itu kan yang Bunda ajarin sama Anin, Bunda selalu ngajarin ke Anin kalau Anin udah nikah, Anin gak boleh bantah suami. Anin nurutin itu, apalagi ini suami Anin itu lelaki pilihan Bunda."
Anin menghela nafas memberi jeda. "Anin cuma gak nyangka kenapa lelaki pilihan Bunda sekasar ini sama Anin. Anin gak ngerti apa salah Anin, kalau misalnya Anin manja terus dia gak suka sama sikap manja Anin, Anin kan bisa berubah Bun." ujarnya sangat lirih.
Anin kembali menangis terisak. Anin tak dapat menahan isakannya. Sudah cukup. Anin tidak bisa lagi berpura-pura bahwa ia sedang baik-baik saja.
Anin kembali menghadapkan badannya untuk menghadap makam keduanya, "Maafin Anin, Yah, Bun. Kalian jangan marah sama Anin, Anin janji gak akan bikin kalian sedih lagi di sana. Anin bakal rubah sikap Anin, Anin bakal jadi istri yang baik, jadi istri yang Rafa mau." Anin bermonolog.
Anin tersenyum getir, "Tapi ya kalau kalian mau marah, marah aja sama Anin. Anin salah kan gak bisa jaga diri? Asal jangan marahin Rafa ya, Yah. Kasian dia kemarin udah dijewer sama Mami Tiara. Anin gak tega liat nya." Anin terkekeh sedikit saat mengingat kejadian Rafa dijewer oleh Mami Tiara.
"Iya udah segitu aja Anin curhat nya, nanti telinga kalian sakit lagi lama-lama. Hehe. Anin pulang ya? Anin sayang banget sama kalian, baik-baik di sana, Anin baik-baik aja kok di sini. Love you both," Anin memeluk nisan kedua orang tuanya bergantian.
Setelah puas mencurahkan isi hati nya kepada kedua orang tuanya. Anin berniat untuk mengisi perutnya di salah satu kafe favorit Anin saat dulu. Letak kafe itu tidak begitu jauh dari pemakaman orang tuanya. Oleh karena itu, Anin memutuskan untuk jalan kaki saja. Lagipula Anin sudah berniat untuk merubah sikap manja diri nya bukan?
Sedangkan di balik pohon beringin, ada seorang lelaki yang sejak tadi mengikuti Anin sampai mendengarkan curahan hati Anin kepada orang tuanya. Lelaki itu tidak lain adalah suami Anin, Rafa Avarel.
Ada sedikit rasa bersalah dalam diri nya, namun ia tetap tidak peduli. Prinsipnya ia harus tetap mengikuti egonya, tidak mengikuti hatinya karena ia yakin hatinya hanya milik Abelia Effrita seorang. Tidak akan terganti.
•••
Maybe last update today, 00.00 hohoy. #poorAnin
Btw dapet gak sih feel nya? Enggak ya? Gabisa sih:(Vote n comment ya, biar cepet update biar smgt juga:(
Kecup basah dr om Rafa, 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafnindita
ChickLitWhy the dream feels like real? Highest Rank : #174 in Chicklit, 28th of December 2017 ⚫⚫⚫ Copyright © by Deane Almira