1 | Awal

6.3K 506 43
                                    

Daguku bertumpu pada meja dengan mata menatap lurus pada layar laptop yang menampilkan microsoft word yang masih kosong. Aku merenung mencari ide untuk bahan tulisanku kali ini, padahal masih banyak ceritaku yang menggantung dan belum sempat kulanjutkan akibat ide yang terbangnya entah kemana.

Memutuskan untuk menutup microsoft word, aku mengambil modem untuk mencari gambar di google sebagai bahan inspirasi. Baru saja menancapkan modem pada satu kotak lubang laptop yang pas, ponselku berbunyi, menampilkan pesan WhatsApp dari mama.

Mama: Dey, lagi ngapain? Udh tdr?

Dey adalah pangilan mama untukku. Secara tidak sadar aku terbiasa dipanggil seperti itu oleh mama. Entah sejak kapan, mungkin sejak aku bayi? Aku tidak pernah memperasalahkan itu, yang penting aku mempunyai nama untuk dikenal.

Baru beberapa hari jauh dari mama dan semenjak aku akan mengikuti ospek, mama terus mengirimi pesan dan menanyakan hal-hal yang tidak terlalu penting. Contohnya, ya seperti ini. Meski aku sering terlibat pertengkaran kecil dengan mama, bahkan jarang sekali terlihat harmonis, apalagi jika berurusan dengan nilai dan pekerjaan rumah-- yang nilaiku buruk setiap menerima rapor, lalu yang cucianku masih terlihat kotor atau masih meninggalkan jejak aroma yang katanya terasa bau. Nah, jika sudah seperti itu keluarlah kata-kata maut; kamu kalau nggak iklas ngerjainnya, ya bilang! Kan jadi harus ngerjain dua kali. Setelah itu, aku terkadang hanya mendengar atau menggerutu dalam hati, sambil mulai mengulang pekerjaanku. Atau lainnya lagi, karena lelahnya, aku akan menjawab; iklas loh padahal. Lalu pada akhirnya aku mendapat cibiran; mulai-melawan-kemudian.

Ya, tapi tidak bisa kupungkiri bahwa mama dan aku saling menyayangi. Terbukti dengan jelas jika sudah berjauhan seperti ini. Kasihan sekali ya kita, ma. Baru tahu aku rasanya LDR ternyata semenyedihkan ini. Hanya mampu menyalurkan rindu lewat sosmed.

Me: belum, ma. Msh beresin perlengkapan buat besok.

Mama: yaudah, klo udh siap lgsng istirahat ya! Jangan begadang lagi. Jaga kesehatan.

Me: iya, ma. Mama jg jaga kesehatan sama adek 😘

Tak berselang waktu lama, ponselku bergetar memunculkan pesan WhatsApp. Bukan balasan dari mama, melainkan dari Gara yang menandaiku sebagai miliknya beberapa minggu yang lalu.

Gara: Maret, 96.

Well, sangat singkat. Sebelumnya akan kuberitahu, beberapa jam yang lalu aku mengirimkan pesan kepadanya; jangan kebanyakan rahasia. Aku ini pacarnya atau bukan, sih? Masa cuma mau tahu kapan bang Gara ulang tahun aja, susah.

Lalu sekarang aku membalas pesannya.

Me: singkat banget 😒 Tanggal lahirnya mana?

Gara: yg penting kan udh di jwb, dek.

Baiklah, akan kuperkenalkan sedikit tentang pacar online-ku ini. Namanya Gara dan jangan tanya aku nama lengkapnya apa. Karena aku tidak tahu. Lebih tepatnya, dia tidak mau memberitahuku. Bahkan sampai sekarang, kami masih sama-sama saling tertutup. Untuk meminta tanggal lahir saja susahnya minta ampun. Entahlah, sejak pertama kali chattingan dia orangnya memang kaku dan sedikit dingin,
dan juga tidak ada romantis-romantisnya, kecuali aku yang mulai menggodanya dengan gombalan receh. Jujur saja, sesungguhnya aku heran hubungan apa yang kujalani saat ini.

Saat pertama kali chattingan pun sambutannya membuatku ngeri.

Gara: 😬 salam kenal ya, semoga menjadi teman yang menyenangkan dan bermanfaat.

Mengerikan sekali, kan? Seperti menganggapku seorang yang tidak pernah bermanfaat bagi orang lain. Tapi, memangnya teman itu bertugas untuk selalu bisa menyenangkan dan bermanfaat? Contoh pertemanan yang sangat realistis. Haha. Kalau seperti ini, tidak ku-acc saja tadi. Pikirku pertama kali. Tapi, setelah sedikit mengobrol dengannya, justru dia yang bermanfaat untukku. Bisa dikatakan, dia adalah spesies sejenis profesor botak.

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang