8 | Khawatir

3K 367 27
                                    

Sepulang sesi di kampus, aku mengajak Putri mampir ke supermarket yang menjual banyak barang kebutuhan yang diperlukan warga sekitar, baik keperluan rumah tangga maupun mahasiswa. Benar-benar lengkap. Mulai dari pakaian, buku, pena, kipas angin, telepon, rice cooker, makanan dan minuman, sampo, sabun, sapu, dan banyak lainnya. Ini kok aku malah jadi promosiin supermarket, sih? Udah ah, intinya supermarket ini isinya sangat lengkap dan banyak dikunjungi sebagian masyarakat luas. Ya udah, gitu aja.

"Mau beli apa lo jadinya? Udah nyampe gini, kuy cepetan! Gue udah ngantuk nih, mau bobo."

Aku menoyor dahinya. Dia merengut sebal. "Baru juga nyampe, udah minta pulang aja."

"Makanya, otw sekarang nyarinya. Biar kelar. Abis itu udah, kita pulang."

"Temenin makan siang abis ini," ajakku dengan menampilkan puppy eyes.

"Ogah. Minta temenin bang Gara aja, deh. Udah punya lakik, kok masih manja aja sama akoh," cibirnya.

"Njir, bukan lakik juga kalee," sanggahku. Lah, ya emang bukan, kan? Belum, lebih tepatnya, sih. Ih, aku ini mikir apaan, sih? Kok ngeselin?

"Yaudah. Akannya aja kalau gitu," lanjutnya. Entahlah, ya. Aku bingung mau jawab apa untuk perkataan Putri yang satu ini. Dilema. Di satu sisi, aku nggak yakin. Sementara di sisi lain, aku ngerasa ada feel kalau sedang bersama dengan Gara. Argh, pusing. Sudahlah, lupakan dulu. Fokus dengan kuliahmu, Dee! Come on!

"Yaudah, ke bagian intinya yang pengen aku beli dulu ya."

"Hayukk! Lo cuma mau beli softex aja, kan?"

"Shit!" umpatku, pelan. Ini si Putri emang nggak bisa pelan dikit ya kalau ngomong. Kan aku jadi malu. Malah beberapa orang yang lewat di dekat kami banyakan laki-laki. Astaga! Mau taruh di mana wajahku ini?

"Lo bilang apa, Dee? Shit, eh?" Matanya membulat besar. "Tega lo sama gue."

Aku menarik napas kasar, sambil berjalan mencari keberadaan pembalut dengan bertanya ke salah satu penjaga di supermarket, sementara Putri dengan setia mengekoriku dari belakang. Setelah menemukan tempat berkumpulnya pembalut, aku melirik sekilas wajah Putri yang masam.

"Muka lo kusem banget, Put. Sorry deh, sorry. Iya, gue emang bilang shit. Abisan mulut lo nggak bisa di rem, plus gede juga lagi oktafnya. Pas lo bilang softex itu, pas juga banyak cowok yang lewat di depan kita. Gue ... cuma sedikit merasa malu aja."

Dia berdecak. "Ahelah, gitu doang aja." Kemudian, raut wajah masamnya berubah cerah. Dia terkekeh tanpa dosa. "Eh, nih ya gue kasih tahu, deh. Ini ... biar lo nggak ngerasa malu lagi buat beli softex."

"Apaan?"

"Gini ... kenapa kebanyakan cewek itu malu beli softex, ya? Sementara itu, kan softex memang termasuk dalam  salah satu list kebutuhan cewek di saat sedang masanya datang bulan. Apa yang perlu di malu-in, coba? Kalau beli softex aja udah malu, gimana kalau nggak pakai softex sama sekali? Lebih malu lagi kan kalau tembus gitu nanti?"

Iya, sih.

Aku mengangguk. "Cuma kesannya aneh gitu kalau di denger sama cowok, Put. Ya nggak, sih?"

"Ya nggak harus malu juga, kali. Biasa ajalah. Cowok juga ngerti kenapa kita butuh pembalut gitu. Yang harusnya di malu-in itu, kalau kita mencuri, melawan orang tua, mengemis padahal tangan dan kaki masih berfungsi dengan baik, dan perbuatan buruk lainnya. Itu sih menurut gue yang patut di malu-in, kalau kita ngelakuinnya. Kalau nggak ngelakuin itu semua, ya kita nggak perlu malu. Santai aja, kayak di pantai."

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang