19 | Absurd

957 149 2
                                    

Makrab pertama yang aku ikuti di kampus ini adalah hal paling terburuk sepanjang masa selama aku mengikuti jenjang pendidikan. Dari SD hingga SMA, aku nggak pernah merasa terintimidasi seperti ini. Aku dijaga sangat ketat, sampai mau minum saja harus ditemani. Atas perintah siapa? Tentu saja kak Bianca. Sepertinya dia benar-benar ingin menjauhiku dari Gara di makrab ini. Untung saja makrab ini hanya berlaku sampai besok.

Oh, bukannya aku marah dijauhi sama Gara. Aku sama sekali nggak keberatan. Kalau kak Bianca mau jujur, aku rela dia balikan sama Gara. Aku nggak mau dikira perebut pacar orang. Aku masih punya harga diri. Tapi, kalau caranya seperti ini. Aku kasihan juga sama Gara. Aku saja sudah dibikin ilfeel sejagat raya, apalagi Gara? Gimana Gara dulu bisa pacaran sama kak Bianca yang posesifnya seperti ini?  Membayangkannya saja, membuatku berhasil merinding.

Akhirnya aku bisa bebas dari kak Bianca saat acara api unggun, karena duduk berbaris bareng bersama anggota kelompok. Saat ini kami bersiap untuk menampilkan apa yang telah ditugaskan sebelumnya. Kelompokku memang belum sempat menyiapkan bekal acara apa-apa, oleh karena itu sekarang kami duduk melingkar, berdiskusi.

"Kita mau bawain penampilan apa, nih?" tanya Arif, seraya menatapku dan anggota yang lain bergantian.

Kulihat Praska mengedikkan bahu, seolah berkata, terserah. Sementara Dea dan Ratih, hanya menggelengkan kepala, nggak tahu. Akhirnya aku angkat suara.

"Ya udah, nyanyi aja, deh."

"Nyanyi apa? Suara gue jelek," sahut kak Arif.

"Kalau nggak bisa nyanyi, main gitar aja. Itu ada yang bawa gitar. Harusnya boleh dipinjam, kan?" tanyaku.

"Oke, aku pinjem sekarang!" Kak Arif beranjak meminjam gitar.

"Terus gue ngapain, Dee?" tanya Praska.

Aku mengedikkan bahu, tidak peduli, dan menjawab pendek. "Nyanyi."

"Suara gue jelek, gimana, dong?" tanyanya.

Aku memutar bola mata, sebal. "Joget aja. Kan lo jago."

Dia tersenyum sumringah. "Ide lo makyos banget. Deal!"

Aku nggak terkejut sama sekali. Praska memang sedikit nggak punya malu. Tapi aku bersyukur, dia itu salah satu penghibur bagi orang yang sedih. Entahlah, bagiku dia adalah salah satu dari kakak-kakak terbaik yang aku kenal. Dia nggak pernah pilih kasih atau membeda-bedakan orang lain.

Kami menampilkan acara musikal acak-acakan kami. Dea dan Ratih malu-malu, sementara Praska nggak tahu malu--dengan pedenya laki-laki itu berjoget lihai dan heboh. Aku dan kak Arif? Kami berdua terlihat santai, namun jujur saja berdiri di depan banyak orang membuatku gugup setengah mati. Nggak tahu bagaimana perasaan kak Arif, tapi pada akhirnya, penampilan kami sukses meski nggak ada bagusnya. Aku lega ini sudah berakhir.

"Wew, gue nggak nyangka Pras. Lo keren, Bro! Gue nyaris ikut loncat pengen joget juga!" ujar kak Arif menggebu-gebu.

"Ya, telat lo! Udah kelar baru lo tereak-tereak!" katanya. Sementara itu, perhatianku tertuju pada Dea dan Ratih yang diam-diam tersenyum. Lantas, langsung kutarik lengan mereka berdua menjauh dari Praska dan kak Arif. Biar nggak ketularan gilanya.

Kini giliran kelompoknya Gara yang maju. Kelompok Gara menampilkan paduan suara. Dan suara itu terpecah sangat rapi dan bagus. Mereka mempersiapkannya dengan sangat matang. Nggak heran, setiap aku ketemuan sama Gara, dia terus bernyayi menggunakan suara bazz-nya, yang sering membuatku tersipu malu, karena beberapa orang yang melihat kami, jadi ikut memperhatikan.

Sekitar 20 menit kemudian, semua kelompok sudah menampilkan masing-masing acaranya. Dan penampilan yang paling terbaik adalah dari kelompoknya Gara. Dan yang lainnya? Rata-rata, seperti kelompokku. Menyiapkan acara ditengah-tengah sebelum akan ditampilkan. Otomatis, mendadak. Menampilkan seadanya saja.

Acara makrab ini juga cukup membosankan. Setelah menampilkan acara itu, dan sang ketua memberikan penjelasan bertubi-tubi yang membuatku menguap sepanjang acara, akhirnya kami kembali ke dalam villa untuk menyiapkan acara selanjutnya yaitu bakar-bakar ayam, sosis, bakso, dan yang lainnya, sebagai menu makan malam.

"Dee, bantuin aku angkat galon keluar, dong!" teriak kak Bianca dari dalam villa.

"Loh, bukannya itu tugas cowok, ya?" tanya Ratih.

Aku mengedikkan bahu. "Gue kesana dulu, ya."

Ratih dan Dea mengangguk. Aku beringsut menjauh dari kerumunan, yang mulai asik memolesi daging ayam dengan bumbu, menyusul kak Bianca yang ada di dalam villa.

"Di mana galonnya, Kak?" tanyaku. Tapi, kak Bianca nggak kelihatan lagi di dalam villa. Aku mencari kak Bianca ke dalam kamar, hasilnya nihil, kak Bianca tetap nggak ada juga. Aku mendengar pintu kamar tertutup dan terkunci.

Duh, apalagi ini?

"Kak Bianca di luar? Kak?" panggilku, sembari mengetuk pintu.

Tidak ada suara sama sekali.

Duh, kok malah dikunciin di dalam kamar, sih? Ini jebakan kak Bianca? Kok udah mirip sinetron? Aku harus cepat cari akal untuk keluar dari kamar ini, sebelum ada yang curiga aku menghilang. Apalagi kalau sampai aku kena tuduhan ada barang hilang. Amit-amit, jangan sampai!

Aku melirik jendela, langsung mendekatinya. Untungnya bisa terbuka. Aku manjat dan melompat keluar dari jendela, dan terkejut ketika melihat Gara sudah berada di depanku dengan senyuman miring.

"Cewek aku pinter banget, deh." Gara mengelus pelan rambutku, membuatku berhasil mengedipkan mata dengan mulut terganga. Dia tertawa. "Ditutup mulutnya, nanti masuk lalat, loh."

Aku mingkep, menutup mulut. Mengedip sekali lagi, aku menatap Gara. "Kok bang Gara ada di sini?"

"Aku udah tahu Bianca bakalan bikin rencana kayak gini, makanya tadi pas aku denger Bianca manggil kamu ke dalem villa, aku langsung aja ke sini. Ternyata kamu sudah berhasil keluar duluan. Jadi, aku nggak perlu khawatir sama kamu banyak-banyak, karena kamu emang pinter."

Bibirku mengerucut. "Drama banget mantan kamu, Bang. Padahal kak Bianca kelihatannya nggak sejahat itu."

"Makanya aku merasa khilaf waktu itu pas pacaran sama dia. Awalnya baik, rajin, terus mendadak manja dan menyebalkan kayak sekarang gini. Beda banget sama kamu. Nggak ada acara meraung-raung lebai, apalagi drama," kata Gara, membuatku bergedik.

"Begitu banget cintanya kak Bianca sama bang Gara, ya? Nggak mau balikan aja?" tanyaku, sedikit kasihan memikirkan kak Bianca yang tidak berhasil move on.

"Ogah. Aku sekarang, dan sampai mati, cintanya cuma sama kamu. Nggak mau yang lain lagi, titik!" ucapnya, tegas, sembari menggenggam tanganku dengan erat.

"Iya, iya. Semoga ya, Bang."

"Kok semoga? Diaminin, dong!"

"Kan sama aja, sih, bang Gara."

"Beda, Dee!"

"Sama!"

"Beda!"

"Ya udah, beda."

"Terus kalau beda?"

"Amin. Puas?"

"Kok terpaksa gitu?"

"Nggak terpaksa, ya!"

"Itu ada kata puasnya."

"Banyak maunya, deh."

"Makanya, jawab yang bener!"

"Iya, iya. Amin."

"Kurang iklas, ih."

"Amin."

"Nah, gitu dong."

Obrolan yang absurd, kan? Apa jadinya kalau kami berakhir jadi suami dan istri?

***

270718

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang