Mungkin status jomblo akan terus meratu dalam dirinya. Hingga sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, suatu ketika membawanya terjun ke dalam dunia akun pencari jodoh, karena ada melaporkan bahwa hasil karangan-novelnya telah diplagiat.
Tanpa sadar...
Sepanjang perjalanan bibirku bungkam duduk di samping Gara. Nggak mau menatap, karena sedari tadi senyum merekahnya malah menyulut rasa maluku semakin dalam akibat pertanyaan menuntutnya yang kujawab dengan polos.
"Jawab, Dee! Kenapa kamu bilang kalau kamu nggak percaya sama gosip itu?" tuntutnya, tadi.
Yang aku jawab, "Aku nggak bisa percaya sama gosip yang belum ada buktinya. Aku berpikir kalau memang bang Gara kayak gitu, ya wajar aja. Secara, bang Gara itu gimana di kampus. Disenangin sama banyak orang, bahkan terancam lulus dengan nilai sempurna. Siapa yang berani nolak bang Gara? Tapi, mengingat aku juga nggak punya bukti akurat akan gosip itu, aku ingat omongan tentang kedua orangtua bang Gara ya aku makin nggak percaya sama gosipnya. Makanya aku niat ngumpulin bukti, dan sekaligus nanya bang Gara langsung soal ini, biar nggak ada kesalahpahaman."
"Jadi, kamu jelas nggak mau kalau saya seperti yang ada di gosip itu sampai ingin membuktikannya?" tanya Gara saat itu dengan pedenya.
Ah, mengingatnya saja membuatku ingin segera bersembunyi biar nggak digoda terus oleh laki-laki itu. Sambil memaki dalam hati, aku memilih menenggelamkan rasa maluku dengan membaca novel yang kubawa sejak tadi-- mengabaikan Gara yang masih cengar-cengir bahagia di sampingku.
Menguap panjang, rasa lelah menghampiri mataku yang mulai sayup-sayup. Nyatanya baru setengah perjalanan, aku sudah menghabiskan satu novel tipis ini. Aku melirik Gara yang sudah menyandarkan keningnya pada jendela bus. Dia menutup mata, tidur. Good! Tadi katanya mau ngasih bahu buat jadi bantalku kalau tidur, tapi apa nyatanya? Huh, laki-laki emang nggak bisa dipercaya! Malah dia yang ngorok duluan. Ewh.
Menyandarkan kepalaku ke kursi, aku mencoba menyamankan diri untuk tidur dalam posisi duduk. Berharap pas bangun nanti, aku nggak menderita sakit badan.
**
Terbangun mendengar suara teriak-teriak menyuruh kami semua bangun. Baru saja membuka mata, aku melebarkan mata melihat wajah Gara tepat di atasku dengan mata tertutup, dan menyadari bahwa aku kini berada direngkuhan tubuh Gara dengan seluruh tubuh yang ditutupi oleh selimut berwarna cokelat entah milik siapa.
Praska yang duduk di depanku, tiba-tiba mengajukan ponselnya yang memperlihatkan postingan snapgram di instagramnya kak Arif beberapa detik yang lalu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Asem. Dasar kakak tingkat, sialan!
Baru saja akan menjambak rambut kak Arif, Praska langsung menginfokan bahwa kak Arif sudah pergi duluan sejak memposting foto itu, takut diamuk masa sama aku sampai babak belur. Tenang saja, sekarang dia bisa bebas melarikan diri. Tapi, lihat saja nanti kalau aku bertemu dengannya, akan kuberi slending sampai ke kutub utara! Lagian, kenapa aku bisa tiduran dengan pose macam gini, sih? Pasti ini kelakuan Gara!
Aku mendorong lengannya kasar dari atas bahuku, sontak Gara terkejut, dan terbangun sekaligus memindahkan tangannya dari atas bahuku.
"Bang Gara yang bikin kita tiduran kayak gini?" tanyaku, mengintimidasi.
"Kalau iya, kenapa, Dee?" tanyanya, mengangkat sebelah alis. "What's wrong? Salahku di mana?"
"Bang Gara nggak salah, orang yang melebih-lebihkan. Aku nggak enak sama yang lain, dong."
"Ya udah, nggak gitu lagi. Janji! Tadi itu, aku cuma pengen kamu nggak capek tidur miring sampai hampir jatuh kayak sebelumnya. Makanya aku sandarin kamu ke aku."
"Iya, Dee. Udah nggak usah salah paham. Gue saksi matanya, kok. Lagian cecunguk ini mana berani juga macam-macamin lo di depan umum. Bisa-bisa dia diamuk masa karena melakukan pelecehan seksual. Temen lo di sini, nggak jahat-jahat amat, kok, sampai biarin lo diperkosa." Praska melanjutkan.
Aku menoyor keningnya. "Mulut lo dijaga, ya! Ngomongnya frontal banget, nggak ada sopan-sopannya di tempat umum. Yang denger banyak!"
Praska meringis, mengelus hasil kejailan tanganku di keningnya. "Dih, nakal banget tangan lo. Gue, kan, ngasih tahu juga, dan di dalem bus udah sepi. Nih, ya, kalau tangan lo mau nakal tuh jangan di jidat orang aja ngapa? Sekali-kali--"
"Berisik, Pras!" sergahku, mencegah mulut laknatnya yang akan menyemburkan kalimat-kalimat yang tak pantas di dengar. Ini anak kayaknya sudah kebelet merit. Makanya cepat lulus, biar kawin! Teriakku dalam hati, tidak berani meneriakkannya langsung. Bisa-bisa aku dapat karma, karena ngejekin orang tua. Benar, loh. Praska emang udah tuwik, alias tua! Sudah 25 gitu, tapi belum lulus. Katanya dulu emang nganggur 2 tahun.
Begitu aku, Gara, dan Praska keluar dari dalam bus, kami langsung mendapati udara sejuk yang dingin. Untung saja, aku nggak lupa membawa jaket. Mengingat, villa ini nyatanya dekat banget sama hutan dan pantai. Lengkap sudah dinginnya!
Villa yang kami datangi ini, memiliki 5 kamar yang gedong luasnya. Tiga kamar diisi oleh kaum perempuan, sementara sisanya diisi oleh laki-laki. Jumlah mereka lebih sedikit dari perempuan, makanya mereka cuma kebagian dua kamar.
"Dee, tidur di kamar yang mana?" tanya Gara, yang sedari tadi ngotot membawa tasku yang berat di lengannya. Alasannya biar aku nggak capek. Tapi aku tahu, itu hanya akal-akalannya saja memaksa membawakan tasku biar dia tahu aku tidur di kamar yang mana. Padahal, aku masih mampu membawa tasku itu sendirian.
"Kamar cewek lo bareng gue, Gar! Nggak usah ngimpi lo mau bawa dia nanti keluar malem-malem tanpa sepengetahuan gue!" Kak Bianca menatap tajam kami berdua, dengan kedua tangan di atas pinggang, kayak lagi marahin anak-anaknya.
"Siapa juga yang mau bawa kabur malam-malam? Yang ada, gue cuma mau tahu di mana kamarnya doang, kok. Memastikan nggak ada hewan ganas yang bakal nyakitin cewek gue." Gara menyolot, garang. Ini Gara kok jadi beringas gini, sih?
"Dih, sama gue juga dulu lo nggak gitu-gitu amat, Gar. Sekarang udah mabok sama satu orang doang, ya," goda kak Bianca.
Aku agak sedikit tegang waktu kak Bianca mengucapkan kata-kata pertama sebelumnya. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelubung masuk ke dalam hatiku saat melihat interaksi kak Bianca dan Gara. Apa mereka pernah menjalin hubungan? Rasa-rasanya, iya. Mengingat cuma kak Bianca yang sangat teramat akrab dengan Gara dibandingkan lainnya yang juga cukup akrab. Secara, kak Bianca kayaknya selalu bicara sama Gara dengan aksen seperti masih punya perasaan. Aku jadi nggak tega, sekaligus sesak. Bingung sendiri harus bagaimana?
Masalahnya, Gara juga nggak bilang kalau ternyata mantannya adalah salah satu orang dari komunitas yang aku ikuti. Apalagi dengan kesan seperti Gara memamerkanku sebagai pacarnya terang-terangan di depan mantannya yang kelihatan masih sayang. Seperti apa rasanya? Pasti sakit.
Mungkin kalau aku jadi kak Bianca, aku nggak bakalan mau ikut acara keakraban ini. Apalagi kalau diginiin sama mantan yang masih disayangi.
"Gimana, sih, Dee bikin Gara, si cowok DINGIN dulu ini bisa seromantis sekarang ini?" lanjut kak Bianca, menekankan kata dingin- yang ditujukannya untuk Gara, saat Gara dan aku diam sebelumnya.
"Lo gimana, sih, Bi? Ngapain bahas-bahas masa lalu?" tanya Gara dingin, menatap kak Bianca.
"Tuh, kan. Dia itu sama gue selalu gitu, Dee!" adu kak Bianca.
Duh, kenapa, sih? Ada apa dengan situasi ini? Aku jadi bingung. Pikiranku mendadak ada yang janggal, kak Bianca sepertinya sedang memancing emosi Gara. Dia memang nggak terlihat senang dari awal saat melihat dan berbicara dengan kami berdua. Tapi, aku nggak berani dong menuduhnya seperti itu. Nyatanya, memang benar. Baru juga makrab akan di mulai, masalah pribadi naik ke peradaban.
Entahlah, rasanya pening sekali. Belum karena Gara nggak cerita tentang hal ini, hatiku panas saat kak Bianca kini meraung, bertanya padaku kenapa dia selalu didinginin sama Gara.
Aku benci suasana ini. Bukan ini yang aku harapkan!
***
190718
Bonus satu bab doang yang cepet, jangan minta lebih yaw, soalnya kalau acu janji dan acu tidak sanggup, kalian bakalan nerror acuu wkwkwk 😳