20 | Akhir

1.6K 176 13
                                    

Setelah kejadian malam itu, nggak ada lagi kejadian apapun yang direncanakan kak Bianca. Tapi, kak Bianca semakin bersikap semena-mena padaku. Dia menjadikanku seperti babu, mengerjakan ini dan itu sesuai perintahnya. Bagiku nggak masalah, sih. Aku malah senang aja menanggapinya. Namun, yang bermasalah adalah Gara. Dia ngomel-ngomel sama kak Bianca sepanjang masa, membuatku semakin gencar dipelototi dendam oleh kakak senior itu.

"Kenapa lo ngelihatin gue, ha? Seneng lo lihat Gara marah-marah cuma karena gue nyuruh-nyuruh lo? Dasar tukang ngadu! Kalau nggak mau gue suruh-suruh, ya bilang! Nggak usah pakai ngadu segala," cercanya, marah.

Aku nggak mengeluarkan suara, hanya diam duduk di tepi kasur yang disediakan oleh villa. Bukannya takut, sebenarnya aku agak malas menanggapi kak Bianca yang selalu melebih-lebihkan seperti ini, persis sinetron. Tapi, apa boleh buat? Menghadapi orang gagal move on, memang harus sabar. Sebenaranya kenapa Gara dan kak Bianca bisa putus, sih?

Tak lama, aku mendengar isakan yang berasal dari kak Bianca. Duh, kok malah nangis, sih? Ini sudah hampir masuk jam beres-beres sebelum pulang, gimana caranya beres-beres kalau ada orang nangis tanpa harus memberi simpati?

Aku dan kak Bianca sekamar sejak awal. Dia yang memintanya. Memang ada satu kamar kecil yang cukup diisi untuk 2 orang. Dan kak Bianca sepertinya mengambil jalan singkat untuk membuatku jauh dari Gara dengan cara ini.

Kak Bianca seketika menoleh kearahku. Dengan mata berkaca-kaca berkata, "gimana caranya lo bisa narik perhatian Gara sih, Dee?" tanyanya.

"Hah?" Aku melongo, nggak mengerti maksud pertanyaan kak Bianca. Menarik perhatian Gara dari hongkong? Bahkan, dari awal saja aku nggak memiliki kesan apapun pada Gara, kecuali mengenalnya sebagai kakak triplek menyebalkan yang menghancurkan masa-masaku sebagai mahasiswa baru yang kalem-anyem.

"Gara dulu nggak sebegininya, nyaris nggak ada sama sekali. Dia itu orangnya cuek, ngomongnya irit, sama gue yang dulu berstatus pacarnya aja, jarang banget diperlakuin layaknya pacar, apalagi temen," adunya sesegukan.

"Terus kenapa Kakak bisa pacaran sama bang Gara yang begitu?" tanyaku, kepo. Gimana nggak penasaran? Kalau Gara memang memiliki sifat seperti itu, kenapa mereka bisa pacaran?

"Gue yang nembak, terus dia jawab iya."

Wah, ternyata kak Bianca yang nembak Gara duluan? Nggak kaget banget, sih. Mengingat ceritanya kak Bianca soal sifat Gara bagaimana.

"Memangnya apa yang Kakak suka dari bang Gara sampai bikin Kakak seperti ini?"

"Gara itu spesial buat gue."

"Se-spesial apa, Kak? Coba kasih tahu aku?"

"Kalau gue cerita, lo mau putusin Gara buat gue?" tanya kak Bianca, matanya berharap lebih padaku untuk segera menjawab YA.

"Bang Gara bukan barang, Kak, yang bisa dipindahtangankan gitu aja. Bang Gara itu juga manusia, sama seperti kita. Punya perasaan. Aku nggak berhak main-main sama perasaan orang lain."

Kak Bianca menutup wajahnya, isaknya semakin keras. "Gue tahu lo nggak bakalan nyerahin Gara gitu aja. Jahat lo, Dee!"

"Bukan nggak mau nyerahin, Kak. Tapi situasinya sekarang bang Gara milih aku sebagai pacarnya, walaupun sampai sekarang aku belum tahu bagaimana perasaan aku sama bang Gara," akuku dengan jujur. "Tapi, satu hal yang aku tahu pas bang Gara nggak cerita apa-apa soal mantannya yang ada di depan aku sekarang, aku merasa kesal. Bang Gara nggak bisa buka diri ke aku lebih luas, sementara dia tahu diriku lebih banyak. Aku nggak bisa kayak bang Gara yang bisa cari tahu sendiri apa yang ingin dia ketahui. Aku ini tipe orang yang selalu pilih diam, dan mau tahu dengan sendirinya saja. Jadi, lebih baik siapa yang jadi pacar bang Gara? Aku atau Kakak?"

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang