"Gue nggak usah ikut aja, nggak apa-apa. Kalian kan pasti pengen berdua buat luangin waktu. Gue tahu Gara pasti mau itu, soalnya selama ini kan lo sama dia jarang ketemuan karena kesibukan masing-masing."
"Apaan sih, Put. Gara juga ngedukung, kok. Dia bilang, nggak apa-apa gue ajak lo." Aku meyakinkan.
"Gue kayaknya butuh waktu buat merenung hari ini, Dee. Gue tinggal aja ya."
Aku menghela napas. Ini benar-benar percuma, kekeraskepalaannya kembali lagi. Bagaimana bisa aku meninggalkannya sendirian? Nanti kalau ada kejadian apa-apa gimana? Duh, membayangkannya saja rasanya aku sudah takut duluan.
"Aku nggak bakalan bunuh diri, mba sinetron. Paranoid amat sih sama gue! Udah, gue nggak apa-apa. Lihat nih senyum manis gue!" Aku menatap senyumnya. Putri nggak baik-baik aja dengan senyum itu. Dia nggak pintar banget bohongnya. "Aduh, kalau gue bersumpah aja, lo percaya nggak sama gue? Bunuh diri itu dosa, Dee. Gue juga nggak mau kali nambah-nambah dosa gue yang udah numpuk makin bertumpuk."
Tapi...
"Bisa nggak sih lo mentingin diri lo sendiri?" tanya Putri, menatapku dengan wajah marah.
"Put...,"
"Gue nggak apa-apa. Percaya sama gue! Plis, ini kita lagi bukan main drama kan, Dee?"
Aku menggaruk belakang leherku yang nggak gatal. "Gue cuma nggak mau sahabat gue stress kayak gini."
Putri menunduk, mengambil tangan kananku dan menggenggamnya dengan erat. "Lo selama ini udah ngorbanin waktu lo buat gue, lo juga selalu ada di samping gue saat gue butuhin lo, bahkan lo juga marahin gue dan nasehatin gue kalau gue ngelakuin kesalahan. Gue yang selama ini terlalu egois, sampai kelihatannya gue nggak pernah ada terlibat di masalah lo, karena gue selalu ada alasan ini itu yang kebetulan mendadak datang tiap kali lo pengen cerita. Gue mau lo istirahat buat mikirin diri lo juga, Dee. Jadi...," Putri menghentikan kata-katanya, kemudian menatapku dengan sungguh-sungguh. "...untuk sekali ini aja, biarin gue jadi sahabat yang baik buat lo juga. Oke?"
"Baiklah, kalau memang lo mau gitu. Tapi, ada syaratnya."
"Ya, elah. Demi kebaikan diri lo ada syaratnya juga, ya." Dia menatapku malas. Aku terkekeh. "Yaudah, deh. Jadi apa syaratnya?"
"Benda tajam seperti pisau, gunting dan garpu gue sita!" tegasku.
Dia tertawa. "Bunuh diri juga nggak harus pakai benda tajam kali, mba." Aku menatapnya tajam. Dia terkekeh dengan mengangkat tangannya dan menunjukkan angka 2 dengan jari telunjuk dan tengah sebagai tanda 'peace', damai. "Hehe, canda ih. Serius amat nanggepinnya."
"Put, gue serius!" rengekku.
"Iya, gue juga serius. Gue cuma bercanda. Beneran, deh!"
"Yaudah, gue percaya. Tapi yang tadi tetep gue sita, ya?"
"Beneran?"
"Iya. Harus!"
"Jadi kalau gue mau potong buah, gimana caranya?"
"Gigit aja, udah. Gitu aja diribetin!"
"Kok gue jadi gemes gini ya pengen tampol lo?"
"Entah."
**
Aku sebenarnya nggak tega meninggalkan Putri sendirian. Memang sih benda-benda tajam itu sudah kumusnahkan dari dalam kost dan kutitipkan ke Mas Surya. Tapi, tetap aja aku merasa khawatir. Perasaan seperti ini harusnya nggak berlebihan, kan?
Putri pernah terlibat dalam cinta monyet yang cukup parah. Dia itu orang yang sekalinya jatuh cinta, langsung sampai ke akar-akarnya, bahkan rela ngorbanin semua miliknya demi seorang laki-laki yang katanya sangat dicintainya itu. Putri itu..., tipe perempuan yang menurut kepada pasangannya. Makanya hampir beberapa laki-laki yang Putri sukai kadang memanfaatkan kebodohannya itu, dan aku juga berkali-kali memakinya dengan kata-kata bodoh, tolol, bego, dan lain-lain agar dia sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Stay With Me
Fiksi RemajaMungkin status jomblo akan terus meratu dalam dirinya. Hingga sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, suatu ketika membawanya terjun ke dalam dunia akun pencari jodoh, karena ada melaporkan bahwa hasil karangan-novelnya telah diplagiat. Tanpa sadar...