14 | Makan Malam

1.7K 242 14
                                    

Kami sampai di sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar yang cukup mewah. Sekata apa Gara sekaya ini? Ya ampun, ini nggak seperti bayanganku. Gimana ini? Kenapa aku jadi takut begini, padahal belum tentu juga aku bakalan selamanya berurusan dengan Gara. Bahkan belum pasti kalau aku akan benar-benar jadi istrinya Gara. Ini masih awal dan bisa saja nanti kami putus. Benar, kan?

"Udah jangan gugup gitu, dong. Orang tuaku bukan kanibal, kok."

Kok makin kesini, makin kampret ini cowok?

"Lagian siapa juga yang nggak bilang-bilang? Kan aku nggak ada persiapan!" rengekku. Kali aja dia jadi nggak tega membiarkan aku masuk dan mengantarku pulang, karena melihatku memang tidak siap sama sekali. Tapi, sayang itu semua hanya ada dalam pikiranku, nyatanya Gara kampret ini malah merangkul lenganku.

"Percaya sama aku, ya!"

Akhirnya aku anggukkan kepala. Tidak ada alasan lagi yang bisa aku lontarkan untuk mundur kalau sudah begini. Gara memencet bel rumahnya, seorang wanita paruh baya membuka pintunya, lantas berteriak ketika melihat Gara.

"Tuan, Nyonya, Den Gara pulang!"

Gara tertawa kecil. Heh?

"Maaf ya, bibi memang begitu. Heboh aja gitu bawaannya kalau liat aku pulang," kata Gara, sembari menarik lenganku berjalan masuk ke dalam rumahnya yang mewah.

"Bibi itu tadi siapa?" tanyaku.

"Pembantu. Bi Nana udah kerja di sini sejak aku umur 2 tahun dan kami sudah anggap Bi Nana keluarga," jelas Gara.

"Oh," komentarku singkat.

Aku melihat Bi Nana bersama seorang wanita serta seorang pria paruh baya sudah berada di ruang tamu. Mereka semua tersenyum lembut melihat kedatangan kami--atau mungkin hanya ke Gara?

"Selamat datang gadis cantik," sambut wanita paruh baya itu sembari berdiri dan memeluku.

Apa ini?

"Selamat datang ke keluarga kami," kata pria paruh baya itu kemudian.

***

"Sebelum ini Gara nggak pernah ngenalin siapa-siapa ke Om ataupun Tante, kami takut kalau anggapan orang-orang ternyata benar anak ini punya kelainan. Makanya kami mengamcam dia kalau dia nggak bawa perempuan sampai hari ini, kami akan menjodohkan Gara sama seseorang. Tapi ternyata hari ini dia membawa gadis cantik akhirnya." Papanya Gara menghela napas lega setelah mengatakan itu.

"Kan aku bilang belum ada yang cocok, Pa. Ini baru nemu juga," balas Gara setelahnya.

"Dee, kamu beneran nggak di bayar sama dia buat jadi pacar bayaran biar nggak dijodohin, kan?" tanya Papanya Gara untuk kesekian kalinya setelah makan malam kami berakhir.

"Pa..," Gara mendesah lelah.

"Nggak kok, Om. Cuma Bang Gara emang tipe yang misterius ya?" tanyaku.

Memang Gara ini orang yang misterius, kan? Gara ini manusia yang datang tiba-tiba ketika kehidupanku yang flat ini berwarna karena chattingan kami akhirnya membawa ke hubungan yang seperti ini. Aku bahkan nggak nyangka kenapa kami bisa ketemu di kampus yang sama bahkan ketika aku nggak tahu identitas yang sebenarnya saat kami bertemu di chattingan nggak masuk akal di sebuah akun pencari jodoh. Terus dia ini bisa mengenali aku begitu saja ketika kami bertemu, seperti yang dia bilang waktu itu, dia sudah tahu itu aku, hanya saja dia mengenalkan aku dengan dirinya dengan menjadi seseorang yang menyebalkan dan mencoba membuka naluri kepekaanku terhadapnya. Padahal aku ini kan tidak tahu apa-apa. Aku bukan dewa yang bisa tahu dia itu siapa atau bahkan apa. Tapi, tiba-tiba aja kami bisa seperti sekarang ini. Seperti sudah diatur dengan sedemikian rupa agar kami bisa bertemu.

Yang setuju sama aku coba angkat tangan!

"Kalau itu memang iya, Dee. Gara ini anaknya tertutup banget. Om nggak bakalan tahu apa-apa kalau emang dia nggak bicara langsung," jawab Papanya Gara.

Gitu, ya?

"Dee udah berapa lama kenal sama Gara? Nggak baru-baru ini, kan?" tanya Mamanya Gara kali ini.

"Bisa di bilang nggak baru-baru banget sih, Tan. Yang pas tahun ini aku masuk kuliah yang benar-benar kenal," jawabku.

"Maksudnya gimana itu ya?"

"Pertama kenalnya dari chattingan akun pencari jodoh gitu." Terlihat orang tua Gara terlihat heran gitu, aku langsung melanjutkan. "Emm, aku waktu itu nggak sengaja pakai aplikasi pencari jodoh karena ada yang lapor kalau ada yang memplagiat novelku yang aku tulis di web ke akun pencari jodoh itu. Akun itu bisa buat nulis cerita juga soalnya. Nah, begitu kenal akun itu, aku jadi aktif juga nulis di sana dan gabung di beberapa obrolan semacam grup gitu. Terus kenal sama Bang Garanya lewat situ."

"Kamu pakai akun pencari jodoh, Gar?" tanya mamanya Gara.

"Sebenarnya bukan aku yang buat akun itu, Ma. Itu tuh kerjaannya si Jenar!" adu Gara ke mamanya. Jenar, adiknya Gara hanya cengengesan menanggapinya. Aku baru tahu hari ini Gara punya seorang adik perempuan yang seorang mahasiswa baru juga. Bedanya dia kuliah tepat waktu, dan aku nggak. Intinya dia beda setahun sama aku, hanya sepentara dalam pendidikan saat ini, sama-sama berstatus mahasiswa baru.

"Loh?" Mamanya Gara terkejut.

"Hehehe, aku iseng aja, Ma. Kan Abang nggak mau tuh dijodohin, jadi aku cariin solusi dengan pakai itu akun pencari jodoh, kali aja beneran nemu gitu kan. Awalnya aku yang mainin akunnya, ngegodain cewek-cewek yang pakai akun itu."

"Lo lesbian, Jen?" Gara bertanya dengan tatapan datar.

"Dih, harusnya lo itu bersyukur dong sama gue tahu, Bang. Berkat gue nih kan lo nemu sang pujaan hati lo sekarang!" kata Jenar, membuat pipi gue kerasa panas. Yalord, aku ini kenapa? Plis, jangan malu-maluin, Dee!

"Terbaeklah emang putri papa!" Puji papanya Gara kepada Jenar.

"Iya, dong!" balas Jenar dengan nada sombong.

"Tapi yang nemu akunnya Dee itu Jenar, loh." Aku menatap Jenar. "Dan yang digodain Dee pertama kali itu Jenar, bukan Bang Gara. Eheheheh," kekehnya. Ya ampun, apalagi ini? "Bang Gara baru ngerampas hp-nya setelah dua hari kita chattingan, Dee. Bang Gara sempet ngamuk gara-gara tahu ada akun tersembunyi di hp-nya yang gue mainin gitu. Terus setelah itu gue nggak bisa megang hp-nya Bang Gara lagi. Dia bener-bener jauhin hp-nya dari gue." Jenar menatap Gara dengan sinis.

"Tapi kok kamu tahu itu aku?" tanyaku penasaran. Kok dia bisa tahu kalau emang aku itu Dee yang ajak akunnya Gara chattingan? Nggak mungkin akun yang namanya Dee cuma satu doang, kan?

"Akun lo yang gambarnya doraemon itu, kan?" tanya Jenar, menantang. Aku meneguk salivaku dengan gugup dan menjawabnya dengan anggukan. Jenar kemudian tertawa. "Ya ampun, sumpah lo itu cewek paling polos yang pernah gue chat dan temui sekarang ini tahu nggak?"

"Dee itu benar-benar lucu dan baik, Pa. Dia tertarik sama hal yang nggak biasa. Katanya kalau nggak penasaran dia bakalan blokir gitu, tapi karena dia berhasil penasaran dia jadi nge-accept akunnya Gara, dan itu karena dia penasaran sama postingannya Gara yang bijak, padahal suka ngata-ngatain gitu. Lucu kan, ya?"

"Masa, sih? Emang segimana bijak dan kata ngata-ngatainnya itu, Jen? Coba cerita ke mama!"

"Ya gitu, Ma. Kan Abang suka pikir psikologis gitu. Terus kayak konyol juga. Konyol buat Jenar, sih. Tapi karena Jenar sering nginget Abang sering ngomongin apaan gitu, Jenar bikin jadi statusnya aja, deh. Eh nampol dah si Dee," jelas Jenar sekaligus dengan kekehan yang pengin aku tampolin. Buat apa coba dia cerita? Kan aku jadi malu kalau begini.

"Selamat ya, Dee. Gue nggak tahu kenapa lo bisa nempel di hatinya Abang gue. Tapi gue cukup senang karena itu lo, dan bukan orang lain. Fighting buat ngadepin Abang gue yang serba misterius mengerikan ini."

***

170218

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang