17 | Kebenaran (?)

1.1K 135 0
                                    

Sudah lima kali aku menoleh ke Gara, ingin menangkap basah laki-laki itu yang terus saja melihat kearah kelompokku-- atau lebih tepatnya kearahku. Tapi setiap kali aku menoleh padanya, Gara seolah tahu kapan dia harus membuang muka kearah lain agar tidak berpapasan mata saat aku menangkap basah dirinya, seakan-akan akulah yang kecentilan karena terus-menerus menoleh ke arahnya. Menyebalkan sekali.

Kali ini, aku memutuskan untuk mengacuhkan Gara seutuhnya, meski aku masih mendapati dirinya menoleh kearahku lewat ekor mataku. Sudahlah, biarkan saja dia berkembang di komunitas ini, dan melakukan kegiatan melirikku sesuka hatinya. Aku sudah nggak peduli.

Kak Arif, satu lagi orang menyebalkan selain Gara, baru saja datang dengan membawa tas camping berwarna hitam sangat besar dengan isi yang sangat padat. Laki-laki itu tergopoh-gopoh menghampiri kami dengan napas satu-satu.

"Sori gue telat," katanya, setelah menetralkan pernapasannya. "Kita mau nampilin apa nanti?"

"Nampilin lo telanjang, Rif!" celutuk Praska.

Aku menjitak dahi Praska. "Celetukan lo, Pras. Ih, cuci dulu otak lo sana, dasar mesum!"

"Kalau mesum, tandanya gue normal, Dee." Alasannya. Gini emang kalau ngomong sama Praska, harus sabar-sesabar-sabarnya kayak ngadapin anak bayi yang lagi nangis, tidak diketahui maunya apa.

Aku memutar bola mata. "Iya, Pras. Apa kate lu, dah! Serah."

Dia menyeringai jahil. "Nah, gitu, dong!"

Aku baru menyadari kalau Dea dan Ratih diam-diam memperhatikan perdebatanku dengan Praska. Pasti mereka mengira aku ini sangat lancang karena menjitak kakak tingkat yang sudah sangat terkenal di seantero kampus ini.

"Ah, aku sama Pra- eh sama bang Praska ini udah temanan lama. Jadi udah biasa main toyor-toyoran. Kalian juga selo aja ngadapin kedua kakak tingkat ini. Mereka itu, nggak perlu disopanin sama sekali," kataku, sembari tertawa kecil, berusaha menghangatkan suasana tegang diantara aku dan teman-teman seangkatan yang sekelompok denganku ini.

"Kamu udah kenal dekat sama kakak-kakak itu, ya?" tanya Dea, perempuan itu masih senantiasa berdiri sedikit jauh dengan yang lainnya.

"Sudah. Mereka berdua ini jinak, kok. Nggak usah takut."

"Lo kata, kita ini hewan?" ucap kedua orang itu serentak. Praska dan kak Arif.

Aku tertawa meledek. "Merasa?"

Keduanya hanya membuang muka. Aku melirik Ratih yang mulai senyum ramah padaku. Sementara Dea masih enggan untuk mendekat. Sepertinya, Dea punya masalah di sini.

"Dea, kamu nggak mau mendekat ke sini, kita mau bahas penampilan buat nanti, loh." Aku menegur Dea, membuat perempuan itu mendekat dengan gelisah.

Kak Arif tiba-tiba melompat, merangkul Dea, dan membuat perempuan bernama Dea itu sontak pingsan di tempat. Sadar bahwa kak Arif memasang wajah panik, aku langsung berteriak memanggil kakak-kakak yang lain agar segera bertindak membawa Dea ke UKS.

"Gue nggak ngapa-ngapain, kan? Gue cuma niat ngerangkul doang kok bisa pingsan, sih? Duh, gue berasa jadi penjahat," ucap kak Arif, panik.

"Tenang, Kak. Kita saksi matanya, kok, kalau Kakak nggak ngapa-ngapain dia. Cuma, tingkah kegenitan dan keganjenan lo itu perlu diubah. Bikin kaget dia itu kayaknya, makanya dia pingsan begitu," kataku.

"Masa, sih? Seumur-umur kayaknya yang pingsan pas gue rangkul itu cuma dia, doang."

"Bodo, Kak. Yang penting minta maaf aja lo sana pas dia sadar!"

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang