Baru keluar dari kelas, Dita langsung menarik dan merangkul lenganku tiba-tiba. Katanya mau makan bareng sama aku di kantin sambil bahas masalah kerja kelompok yang barusan diberikan sama dosen. Aku memesan nasi goreng ayam dan es teh, sementara Dita memilih nasi ayam dan es jeruk sebagai menu makan siangnya.
"Btw, besok kita ngerjain tugasnya di kos lo aja ya," katanya santai sebelum menyeruput es jeruknya.
"Gue ikut aja. Mau di mana aja juga oke," jawabku. Kami sudah bisa bicara lebih santai dan akrab sekarang. Pertemanan kami juga sudah lumayan dekat dari yang pertama kali sekelompok. Di beberapa mata kuliah yang bebas memilih kelompok, pasti kami akan memilih bersama. Soalnya mau sama-sama kerja, bukan cuma mau enaknya aja. Tapi, dari beberapa kali aku berkelompok dengan orang lain, semuanya nggak seperti masa-masa SMP atau SMA yang namanya kerja kelompok rasa kerjain sendiri, tapi ini benar-benar semuanya mau mengerjakan. Di kelompokku ya, nggak tahu kalau kelompok yang lain.
"Beberapa kali, gue lihat lo sama cowok tiap keluar dari kelas. Setahuku itu cowok most wanted di kampus ini. Itu cowok lo ya, Dee?" tanya Dita.
"Eh," Aku terkekeh sembari menggaruk leherku yang nggak gatal sesungguhnya, sebab malu. "Iya, bang Gara."
"Bukannya dia terkenal playboy dan suka selingkuh dari belakang? Kok lo mau sama orang kayak gitu, sih?" tanya Dita.
"Bang Gara playboy? Lo tahu darimana?"
Aku emang nggak tahu gosip-gosip tentang Gara, sih. Nggak pernah dengar juga dari mulut yang lain selain Dita yang bilang Gara itu playboy ataupun tukang selingkuh. Aku sih nggak kaget kalau Gara playboy, dan menurutku wajar-wajar aja, sih. Tapi selingkuh? Masa iya? Kalau benaran iya, sebenarnya wajar juga, kan? Siapa yang mau nolak cowok most wanted yang ganteng dan pintar kayak dia? Well, harusnya sekarang aku berterimakasih sama Dita karena sudah memberitahukan info ini ke aku,kan ? Tapi anehnya, kok aku jadi kesal sama Dita bilang Gara kayak gini sama aku, ya?
"Gue banyak denger-denger gosip, sih. Katanya bang Gara itu suka gonta-ganti pacar dan gitu-gituan. Terus--"
"Eh tunggu! Maksud lo gitu-gituan gimana? Gitu-gitu ganti pacar?"
"Bukan, loh. Maksud gue..., gimana ya bilangnya? Emm, suka making love gitu sama pacar-pacarnya. Denger-denger, beberapa kali dia ada main sama yang masih perawan, loh."
Masa Gara gitu, sih?
"Terus juga katanya dia suka selingkuh. Kan udah punya satu masih kurang terus. Kan gila," katanya menggebu-gebu. "Gue ngasih tahu ini ke lo, biar lo hati-hati. Jangan sampai pas lo lagi sayang-sayangnya, terus lo mau-mau aja nyerahin semuanya sama dia, atau bahkan diputusin karena lo nggak mau ngasih semuanya ke dia. Sebagai temen, gue cuma nggak mau lo sedih atau rusak gara-gara tipikal cowok playboy model bang Gara. Sayang Dee, orang cantik dan sebaik lo pacaran sama orang kayak gitu."
Aku tersenyum tipis, menanggapinya. "Oke, thanks ya buat infonya. Btw, gue duluan ya. Ada janji soalnya." Aku berdiri. "Sampai besok, ya."
Aku nggak bakalan berpikir negatif tentang Gara sebelum benar-benar dengar gosip itu sendiri. Tapi, gosip nggak menjamin kebenaran yang sesungguhnya juga. Cuma Gara aja yang bisa ngasih fakta untuk ngebuktiin itu, bukan gosip! Atau aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku nggak berhak nuduh dia sembarangan juga, soalnya aku nggak punya bukti yang nyata kalau Gara itu playboy, apalagi suka gitu-gituan, dan selingkuh. Juga, kemarin aku sudah bertemu dengan kedua orang tua dan adiknya, dan mereka bilang Gara nggak pernah dekat sama cewek, bahkan sampai dituduh punya kelainan. Menurutku, ini hanya cuma gosip belaka dari orang-orang yang nggak menyukai Gara.
Semoga aja pendapatku ini benar.
**
Aku bilang ada janji sama orang, bukan untuk menghindari pernyataan-pernyataan yang kudengar dari Dita, kok. Kalau bisa, aku mau mendengar semua gosip itu dari Dita meski aku akan merasa benar-benar kesal. Tapi, mau gimana? Aku memang benaran ada janji. Janji tetaplah janji, dan harus ditepati!
"Ini beneran mau main di timezone?" tanyaku, ketika kami berempat sudah tiba di depan timezone. Kebenaran yang sesungguhnya, aku cuma janjian berdua sama Putri untuk belanja dan menghabiskan quality time berdua hari ini. Tapi, ternyata ada dua senior mengekori kami sejak tadi, dan kini memohon dan mengemis-ngemis kepada kami untuk main ke timezone. Siapa lagi kalau bukan Gara dan Praska. Heran. Mereka berdua ini senior atau bocah, sih?
"Kan adek Putri kemarin-kemarin suka sedih. Nah, makanya kita harus buat adek Putri ketawa-ketawa di timezone." Kalian tahu kan yang bisa ngomong begini itu siapa?
Aku menoyor kepala Praska dengan sadis. "Adek, adek, sejak kapan emaknya Putri ngelahirin lo? Mirip aja kagak, ngaku-ngaku kakaknya lagi."
"Cie, jealous ya gara-gara gue cuma akui Putri sebagai adek? Ulululu, sini-sini gue akui biar nggak jealous-an."
"Si kampret. Sini lo gue pites!" Belum sempat aku kasih toyoran maut, Praska sudah berlari menarik Putri masuk bersamanya ke dalam timezone. Kan ngeselin emang itu orang. Aku beralih ke Gara. "Bang Gara beneran mau main? Kok kalian kompakan sih bocahnya?"
Gara tertawa. "Ya nggak apa-apa kan sekali-sekali. Aku soalnya belum pernah main di timezone."
Aku terperangah. "Demi?"
"Demi kamu," katanya, tersenyum lembut. Pipiku memanas. Serius, kenapa ini? Apa aku mau sakit makanya panas gini?
"Mulai goda-godainnya, deh. Nggak usah menggombal, nggak cocok sama bang Gara!" kataku, menghindari tatapan matanya yang sibuk memperhatikanku-- sejak tadi.
"Siapa yang godain, sih? Loh, ini kok pipinya merah banget? Kamu sakit?" tanya Gara sembari menyentuh dahiku. "Nggak demam kok."
"Iya, ih. Aku emang nggak demam," kataku. Aku nggak merasa mau sakit, tapi masa iya beneran merah? "Tapi, emang pipiku beneran kelihatan merah?" tanyaku. Gara mengangguk, namun di detik kemudian dia tertawa, dan mencubit pipiku dengan gemas.
"Kok kamu gemesin banget, sih?" katanya. "Jangan kayak gini di depan cowok lain ya. Awas aja kalau ketahuan!" katanya, posesif.
"Ih, kok horror. Lagian aku nggak tahu, aku gemesin di mananya," ucapku jujur.
"Ekspresi kamu itu semuanya gemesin! Kan aku jadi nggak tahan." Aku tersedak, karena Gara bilang gitu pas aku minum. Dia langsung menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkan. "Duh, kok bisa tersedak gini, sih?"
"Bang Gara bilang nggak tahan. Maksudnya apa?" tanyaku setelah lega dengan ketersedakkan tadi.
"Nggak tahan buat nggak cubit pipi kenyal kamu ini, Dee." Aku memperhatikan sorot mata Gara. Dia berkata jujur. "Kamu pikir apa, sih? Hayoloh!"
"Nggak pikir apa-apa, tuh," jawabku, pura-pura ngambek.
"Hayo, mikir apa tadi?" tanyanya, menggodaku.
"Nggak pikirin apa-apa! Udah ah, ayok main! Katanya belom pernah main." Aku langsung berjalan, sementara Gara menyusulku dari belakang.
Aku nggak bisa kayak gini dengan nuduh-nuduh Gara dalam hati terus-menerus. Sepertinya, aku harus buktiin kalau gosip itu emang nggak benar!
***
020418
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Stay With Me
Novela JuvenilMungkin status jomblo akan terus meratu dalam dirinya. Hingga sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, suatu ketika membawanya terjun ke dalam dunia akun pencari jodoh, karena ada melaporkan bahwa hasil karangan-novelnya telah diplagiat. Tanpa sadar...