7 | Nonton

3.2K 362 10
                                    

Beberapa kali Gara menoleh ke belakang menarikku berjalan di sampingnya, beberapa kali juga aku tak bisa mengimbangi langkah cepatnya. Ya, memang dari awal masuk ke dalam mall, alhasil aku jadi mengekorinya seperti anak bebek dari belakang. Lagian si doi juga aneh, kenapa harus banget buru-buru gitu.

"Kamu kenapa jalan di belakang aku terus, sih?" tanyanya, terlihat kesal. Astaga, gimana aku mau jalan di sampingnya sementara kakinya melangkah sangat cepat dan lebar. Lebih baik cepat dengan langkah biasa sajalah. Hei, meski aku memiliki postur tubuh yang cukup tinggi dan kurus, aku tidak suka jalan dengan langkah lebar seperti itu, kan kesannya kelihatan aneh. Ya, kan?

"Kamu langkahnya kelebaran, Bang. Emang harus ya buru-buru banget?"

"Nggak, sih."

"Yaudah, nyantai aja."

"Masalahnya, kak Via nggak suka nunggu. Kamu mau kak Via pulang dan kita batal double date? Nanti kamu malah canggung berduaan sama aku aja." Aku menggeleng cepat.

Oh, no! Aku belum siap berduaan doang sama Gara. Takut khilaf. Eh, mikir apaan sih Dee?

"Yaudah, ayo!" Kali ini Gara menarik tanganku masuk ke dalam lift. Kemudian melepaskan tanganku begitu pintu lift sudah tertutup. Aku menarik napas lega sesaat, karena beberapa detik yang lalu, aku sempat kaget dan merasakan aliran listrik menyengat kulitku. Oke, sekarang bersikap seperti biasa dan tetaplah bernapas, Dee!

Kami tiba di lantai keempat, lantai paling atas gedung di mall ini. Aku menemukan bang Essa dan kak Via sedang asik mengobrol sambil menikmati minuman mereka di kedai kopi-- yang tepat di samping bioskop.

Aku mendelik sebal ke Gara. "Apaan? Bang Gara bilang, kak Via nggak suka nunggu. Buktinya dia hepi-hepi aja nunggu bareng bang Essa tuh."

Dia menyengir. "Ya mana aku tahu, Dee. Mungkin bang Essa berhasil bikin kak Via betah adem-anyem buat nungguin kita," katanya. "Yuk, kita samperin!"

Gara kembali menarik tanganku, membuat aliran listrik itu kembali lagi menyengat kulitku dan membuat napasku ngos-ngos-an, karena sesak napas. Oh, God. Kapan siksaan sengat listrik ini berakhir, kalau double date saja jantungku menggila, sementara aliran darahku terhambat. Bisa mati aku lama-lama bersama cowok triplek yang menjelma jadi ramah dan mudah senyum saat ini.

"Hai, bang Essa. Hai, kak Via," sapaku, ramah. Spontan duduk di samping kak Via. Menoleh, aku menyengir saat kulihat kak Via memasang raut wajah sebal. Dia berdecak.

"Lama banget, sih. Yang ngajak janjian nonton sebenernya, aku atau kamu, Dee?" tanyanya, gemas.

Aku terkekeh. "Sori, kak. Yang penting sekarang kami udah nyampe, kan?" Aku menaik-turunkan alisku. "Yok, nonton!" Kak Via mendengkus sebal, tapi ikut berdiri juga. Aku terkekeh lagi. "Ternyata kakakku ini bisa ngambekan juga, ya?" godaku.

"Jangan mulai deh, Dee. Pulang nih aku kalau gitu."

"Ih, jangan dong." Aku merangkul kak Via. "Ayo, ayo, kak." Aku berjalan sambil merangkul kak Via, sementara Gara dan bang Essa terlibat obrolan kelaki-laki-an mereka-- yang entah apa, sambil mengikuti langkahku dan kak Via masuk ke dalam antrian bioskop.

**

Beberapa kali, sejak film di mulai hingga keluar dari dalam bioskop, aku menahan tawa melihat raut wajah Gara yang tampak tegang dan pucat pasi. Aku tak menyangka, di balik wajah tampan bak Dewa Yunani dan tubuh tegap, kurus-- yang mulai sedikit berisi, namun tidak atletis itu ... takut dengan hantu? Oh my, jadi waktu malam keakraban itu, dia memang takut hantu? Bukan cuma gelap, doang? Dasar pembohong! Tapi, lucu juga, sih. Kenapa bisa coba dia takut sama hantu? Astaga.

Please, Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang