27

6.3K 368 1
                                    

"Ma, pa. Kalian pernah ga sih mikirin perasaan gita? Kalian berantem tiap malam, pecahin guci, piring, vas, dan masih banyak lagi. Gita capek ma--pa!" Ujar gita sambil menangis.

"Maafin papa." Ujar lelaki paruh baya berwajah tampan yang kini berada disebelah kanan gita sambil merunduk menyesali perbuatannya.

"Mama juga minta maaf, git." Ujar wanita paruh baya disebelah kiri gita dengan airmata yang tak hentinya mengalir sejak tadi.

"Kalian pulang kerumah cuma buat bertengkar. Kalian gapernah nanya keadaan gita. Kalian gapernah perduli sama gita lagi." Ujar gita dengan tangisnya yang mulai pecah.

"Engga sayang--engga." Ujar ibu gita sambil merengkuh anak gadisnya yang mulai menangis histeris.

"Maafin papa, git. Papa ga seharusnya meluapkan semua amarah papa sama mama kamu. Papa sayang sama kamu gita. Papa---"Ujar ayah gita sambil menutup mulutnya menahan tangisnya yang sudah siap pecah saat ini, "Papa gatau harus bagaimana kalau kamu pergi dari dunia ini git. Bahkan papa bisa gila! Kamu harus tau itu." Ujar ayah gita sambil menggenggam erat tangan putrinya itu.

Gita masih menangis dengan suara isakan yang sangat menyayat hati.

"Gitaa--" ujar sang ibunda kepada gita dan menangkup wajah anak tunggalnya itu, "Maafin mama ya. Mama mohon. Dan mama janji ga akan mengulangi semuanya. Mama janji." Lanjutnya sambil mengahapus setiap airmata yang gita keluarkan.

Gita pun mengangguk dengan sisa tangisan yang belum benar benar hilang.

"Papa juga minta maaf. Maafin papa. Papa janji ga akan bertengkar sama mama kamu lagi." Ujar ayah gita sambil merengkuh putri kesayangannya dan istrinya kedalam dekapannya.

Tangis gita pun semakin mereda. Kini akhirnya gita merasakan kehangatan keluarganya kembali.

"Git-- gita. Bangun git."

Suara shila tiba tiba terdengar ditelinga gita.

Ternyata sejak tadi gita hanya bermimpi.

"Shi--shila?!" Ujar gita kaget.

"Mana mama? Papa? Mereka dimana shil?" Ujar gita histeris.

"Mereka lagi dijalan, git. Mungkin bentar lagi mereka sampe. Lo sabar ya git. Lo harus tenang." Ujar shila menenangkan gita.

"Ja--jadi dari tadi-- gue cu--cuma mimpi?" Ujar gita dengan nada kecewa.

Entah apa yang dimimpikan gita, shila tak tau. Namun shila yakin gita tadi bermimpi indah.

Hingga tiba tiba pintu ruangan terbuka.

"Gitaa!" Pekik seorang lelaki paruh baya masih dengan setelan kerjanya menghampiri gita dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

Lelaki itu tampak hancur.

🔊 Ayah - Seventeen

"Kamu gapapa kan? Mananya yang sakit? Bilang sama papa." Ujar lelaki itu sambil yang kini telah berdiri disamping tempat tidur gita.

"Gita, kenapa kamu coba bunuh diri sih nak? Papa khwatir. Untung teman kamu tadi udah nyelamatin kamu. Coba kalo engga. Bisa gila papa nak." Ujar lelaki itu sambil mengecup dahi gita yang kini mulai kembali menangis.

"Pa-- gita capek." lirih gita dalam pelukan sang ayah.

"Kenapa sayang? Hm??" Ujar ayah gita sambil menangkup wajah putrinya itu.

"Gita capek liat papa sama mama berantem terus." Ujar gita dalam tangisnya.

"Gita mau kalian balik kaya dulu. Balik dimana kita ketawa ketawa bareng. Balik ke Papa dan mama yang dulu selalu perhatian sama gita, dan yang selalu ada disamping gita disaat gita senang maupun sedih. Gita mau kalian balik kaya dulu, pa." lirih gita.

"Gita kangen suara paduan tawa antara papa sama mama disaat gita ngelakuin hal hal konyol. Gita kangen pa. Gita kangen." Ujar gita uang kini mulai dengan tangisan yang semakin menjadi.

"Maafin papa. Maafin papa sayang." Ujar lelaki itu yang kini mulai tertunduk menangisi kesalahannya.

"Papa gabisa balik sama mama kamu. Papa gabisa."

"Tapi kenapa pa?!"

"Suatu hubungan, tanpa rasa cinta. Ga akan bisa bertahan lama, gita. Papa dan mama udah ga saling cinta."

"Tapi--- setidaknya kalian bisa kan balik kaya dulu, demi aku pa. Demi gita." mohon gita kepada sang ayah.

Namun lelaki itu menggeleng sambil menyeka airmata yang keluar dari mata putri kesayangannya itu.

"Papa gamau nyakitin mama kamu lagi gita. Papa gabisa. Papa harap kamu ngerti." Ujar lelaki itu kembali merengkuh gita kedalam pelukannya.

"Kamu tinggal sama mama kamu ya. Mungkin--- kita gabisa tinggal sama-sama lagi." lirih lelaki itu kepada gita.

Tangisan gita pun mulai pecah kembali.

"Enggak pa--enggak. Kita harus tinggal bareng lagi. Jangan tinggalin gita. Jangan pergi pa."

"Maaf nak." Ujar lelaki itu sambil mengecup pucuk kepala gita. "Papa janji akan selalu ada buat gita. Kalau kamu butuh papa, kan kamu bisa hubungi papa lewat telfon." Ujar lelaki itu dengan suara serak akibat tangisan yang tak bisa ia hindari.

Hati gita pun semakin tersayat.

"Mana anak papa yang kuat? Kok sekarang jadi cengeng. Ayo dong. Jangan nangis, gita." Ujar lelaki itu sambil menghapus airmata yang keluar dari sudut mata putri satu satunya yang ia punya.

"Mana senyumnya? Senyum dong. Anak papa gaboleh nangis lagi ya." Ujar lelaki itu menghapus airmata gita untuk yang ke sekian kalinya.

Namun gita tetap menangis.

"Anggap ini senyuman terakhir kamu untuk papa." lirih lelaki itu kepada gita.

Gita tau pasti, bahwa setelah ini sang ayah akan pergi ke Spanyol. Dimana tempat sang ayah tinggal sebelum bertemu ibunya.

Dengan terpaksa gita pun tersenyum.

Gita sadar, sekeras apapaun ia mencoba menyatukan kedua orang tuanya. Tidak akan pernah berhasil. Karena memang cinta dan rasa sayang kini mulai pudar dan bahkan mulai sirna diantara keduanya.

'Sekarang gue sadar. Mimpi ga akan pernah seindah realita. Mau gimana pun juga. Gue harus kuat. Tuhan tau gue bisa lewati ini semua. Lo harus terima git. Lo harus kuat.' Batin gita sambil memeluk erat sang ayah.

"Pa-- giya sayanh sama papa." bisik gita sambil memeluk erat sang ayah.

Berat rasanya berpisah dari lelaki yang selama ini selalu berada disampingnya, berada paling depan jika ia disakiti. Lelaki pertama yang hadir dihidupnya, bahkan lelaki pertama yang merebut cinta pertamanya didunia ini.

"Thanks for everything pa. Aku harap, kita bisa ketemu secepatnya. Jangan pernah lupain gita ya." Lanjut gita yang dibalas anggukan oleh sang ayah.

Shila memutuskan untuk keluar dari ruangan. Shila menangis tersedu-sedu. Mengingat betapa sayangnya gita kepada sang ayah. Betapa girangnya gita disaat bercerita tentang sang ayah yang selalu disampingnya dulu.

Gita mengingatkannya kepada dirinya yang dulu. Namun kali ini gita lebih lah menyedihkan dari dirinya.

Shila merasakan pilu dihatinya.

'Tuhan, shila mohon. Kasih gita kekuatan untuk melewati cobaan-Mu ini.' batin shila.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang