Malam kian larut, suara-suara serangga yang berzikir setiap malam kalah berebut ruang sunyi dengan gegap gempita suara-suara kemaksiatan yang menggurita. Bahkan kedip bintang gemintangpun kalah pamor dengan kedap-kedipnya lampu-lampu tempat hiburan malam. Kemaksiatan begitu masifnya menguasai semua ruang dan waktu. Pemmbicaraan lima pemuda progresif itu kini mengarah ke perpolitikan Desa Sindang Sari.
"Sebagai golongan terpelajar aku secara pribadi sebenarnya mendukung pencalonan Ririn, tetapi jika ia yang naik, kita dalam bahaya. Hegemoni kekuasaan bisnis kita akan terganggu. Ririn yang sok moralis itu sangat menentang praktik eksploitasi terhadap kaumnya. Baik itu Markenes maupun lonte-lonte yang menjual kemaluannya di rumah-rumah bordil," papar Kuntarto.
"Dilematis kalau begitu, Kun. Lalu kepada siapa kita harus mendukung?" tanya Bambang.
"Supaya bisa sinergi dengan bisnis kita tentu kita harus mendukung dan menjadikan Tukiem, bekas lonte itu sebagai kepala desa. Bekas lonte yang sudah gaek itu pasti akan mendukung semua visi kita."
"Kenapa tidak mendukung Tumin? Dia kan laki-laki, lebih berkarakter," usul Ishom.
"Dia bekas maling, Shom. Sekali maling tetap maling, nanti anggaran pembangunan desa habis dimalingnya," tukas Bambang.
"Ya, itu kerisauanku terhadap Tumin. Dia bekas maling sapi. Biasanya mental maling itu susah berubah, menjadi pejabat pun tetap bermental maling," terang Kuntarto.
"Tapi sebaiknya kita jangan under estimate terhadap Tumin, Kun. Mbang. Bagaimanapun laki-laki lebih layak memimpin desa ini ketimbang perempuan," kilah Ishom.
"Sebenernya Tukiem atau Tumin sama saja, mereka para pemangku kepentingan bisnis lendir dan syahwat. Keduanya pasti bisa sinergi dengan bisnis kita," papar Lukito.
"Kau benar, Luk. Untuk apa kita memperdebatkan dua kandidat yang sebenarnya para pendukung faham hedonisme. Mereka semua orang-orang yang hidup dan mendapat manfaat dari bisnis kita. So Tumin apa Tukinem sama saja," terang Pambudi.
"Oke case closed. Kita cukupkan sampai disini dulu pertemuan kita. Masalah sustainabilitas bisnis kita lebih penting, meski tetap tidak bisa dipisahkan antara bisnis dan politik. Yang penting bukan Ririn. Next time kita lebih serius membahas masalah pengganti Markenes jika pasar sudah tidak berselera dengannya," kata Kuntarto sebagai penutup pertemuan.
Malam berjalan tidak pernah kesepian. Selalu ada riuh kegembiraan di tempat-tempat "kesenangan semu" itu. Suara-suara yang jauh dari puja-puji terhadap Tuhan, apalagi rintih pertaubatan dan penyesalan. Semua jauh dari Nur Illahi, semua mendustakan dan menistakan nilai-nilai religi. Malam selalu dihiasi rintih-rintih kenikmatan, dengus-dengus kepuasan, tawa-tawa kegembiraan. Tidak ada tangis-tangis penyesalan terhadap prilaku amoralisme yang telah mereka perbuat. Inikah tanda-tanda jaman sudah akhir?
Lima pemuda progresif itu menggeser tempat berkumpulnya ke sebuah tempat hiburan malam yang paling mewah dan berlimpah wanita-wanita seksi dan cantik dari seluruh belahan dunia.mereka membunuh waktunya dengan menuruti syahwat nikmat muncrat. Itu bukan surga yang terlalu dini mereka nikmati, tetapi itu dalah jalan yang mereka rintis menuju neraka jahanam, dimana para pendusta dan penista kekal di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Women On Top
General Fiction#1 dalam Satire pada 02 Agustus 2021 #1 dalam Satire pada 15 Oktober 2020 #2 dalam Satire pada 06 Maret 2019 #3 dalam Satire pada 16 November 2018 Women On Top adalah seri ke-4 Lurah Sosro. Inti cerita kali ini adalah tentang sebuah proses politi...