Bagian 15

3.2K 90 12
                                    

Pagi nan indah. Matahari tidak pernah lupa banguntepat waktu. Pendar-pendar warna merah keemasan di horizon timur sebagai tanda jika matahari sudah membuka matanya. Mungkin ia masih bermalas-malasan di atas ranjangnya. Di langit awan cumulus nimbus seperti lukisan kapas yang menempel pada kain kanvas. Sekelompok burung sudah menerbangi angkasa untuk berangkat mencari nafkah. Nyiur melambai-lambaikan tangannya seperti gemulai tangan Markenes menari erotis di panggungnya. Hari ini Desa Sindang Sari menggelar hajatan besar, pesta demokrasi "Pemilihan Kepala Desa."

Di setiap dusun terdapat dua tempat pemungutan suara dari total empat dusun. Jadi ada delapan TPS, yakni TPS1 sampai TPS8. Warga sudah berbondong-bondong mendatangi TPS, ada yang berjalan sendiri pun ada yang berjalan bergerombol. Ada pula yang membawa serta anak-anaknya. Lonte, germo, pedagang, karyawan, dan pegawai negeri semua menuju TPS kecuali Markenes yang tidak hadir, tentu karena dia tidak waras.

Tukiem yang bekas lonte yang kini jadi mami di Griya Sedut Snut berjalan bergerombol dengan anak-anak asuhnya. Lonte-lonte yang bohai, seksi, montok, dan semua berpakaian seronok. Tukiem sendiri memakai kebaya batik dan bersanggul besar seperti ban vespa, percis seperti sinden hendak manggung. Bibirnya bergincu merah menyala seperti habis makan daging mentah. Alisnya diukir seperti celurit madura. Bokongnya yang seperti bantal kapuk megal-megol berjalan menuju TPS, mirip itik habis bertelur sepuluh biji. Tukiem akan memilih di TPS3.

Tumin bekas maling sapi yang kini adalah germo di Griya Baitul Nikmat pun sudah berjalan menuju TPS. Para pendukungnya mengelu-elukan sepanjang jalan. Tumin selalu menebar senyum disepanjang jalan yang dilewati. Memakai batik safari bercelana cutbray mungkin pinjam punya A.Rafiq penyanyi dangdut era tujuhpuluhan. Sepatu pantopel kulit kuda liar disemir mengkilat. Seandainya ada lalat yang hinggap pasti terpelset. Kacamata hitam yang biasa ia pakai saat menari kudalumping pun melekat erat menutupi matanya. Tumin akan memilih di TPS7.

Ririn? Hmmm. Dia masih di rumahnya. Orangtuanya sudah berangkat sendiri ke TPS. Gadis cantik, montok, dan terpelajar itu seakan segan hendak ke TPS. Ia masih duduk di depan meja rias. Meski sudah mandi tapi tak juga tangannya sibuk mencoreng-moreng mukanya supaya makin tampak cantik. Ia menghela nafas panjang, meletakkan alat-lat riasnya. Ia tidak jadi meris wajahnya. Ririn pergi ke TPS hanya memakai kaos oblong warna putih, celana jeans hitam belel. Bibirnya pucat tanpa lipstik. Alisnya alami seperti bulan sabit. Ia tetap nampak cantik meski lesu. Ririn mencoblos di TPS1.

Jam dua siang pemilihan Kepala Desa Sindang Sari resmi ditutup. Mata pilih berjumlah 12.500, semua hadir. Panitia pemungutan suara sudah mulai menyiapkan form perhitungan suara. Mereka menempelkannya pada sebuah white board yang sudah tersedia di belakang meja panitia. Kotak suara mulai dibuka. Hati masing-masing kontestan berdesir kencang, begitupun Ririn yang sebenarnya sudah bisa menerka kalau dirinya bakal kalah. Ia sudah pasrah terhadap hasil ayang akan diraih pada Pilkades kali ini. Ririn siap kalah dan legowo.

{

Women On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang