Bagian 6

5.8K 99 15
                                    

Samingun besila terpaku di depan Dukun Mardubus yang sedang merapal matra dan membakar kemenyan di sebuah anglo dari tanah. Raung praktik Dukun Mardubus sungguh kontras saat Samingun mendatanginya sebelum pemilihan kepala desa beberapa tahun yang lalu yang dimenangkan oleh Sosro. Sekarang menampakkan kemewahan dan kewibawaan yang luar biasa. Dulu hanya gubuk doyong yang nyaris bersujud kepada matahari terbit. Kini rumah joglo bernilai milyaran.

Samingun celingukan mengamati seisi ruangan, tidak ada sudut yang lepas dari pengamatannya.

"Jangan celingukan, goblok!" bentak Mardubus.

"Ohh..i..ii...iya, Mbah." dengan suara terbata Samingun kembali menunduk pasrah di hadapan Dukun Mardubus.

"Jadi maksudmu apa datang kemari, Ngun?"

"Seperti biasa, Mbah. Saya ingin bertaruh saat pemilihan kepala desa nanti."

"Bertaruh? Bukanya kamu sudah jatuh kere? Kamu sekarang hanya centeng di Griya Baitul Nikmat to?"

"Inggih, Mbah."

"Jadi kamu mau mepertaruhkan apa lagi? Kontolmu? Tidak laku, Ngun. Harga dirimu? Itupun tidak laku, Ngun!"

"Inggih, Mbah."

"Kok inggih lagi, lalu apa modal taruhanmu, goblok!"

"Ada yang mau minjami modal, Mbah."

"Lah kalau kalah, mau bayar pakai jembutmu?"

"Ya tidak, Mbah".

"Lalu pakai kontolmu?"

"Hmm pakai nyawaku, Mbah."

Mendengar itu suara Dukun Mardubus tertawa menggelegar seperti badai petir yang menyambari pepohonan. Wangi kasturi dari jigongnya seraya mengkudeta bau asap kemenyan yang ia bakar. Gigi yang tinggal dua dan berwarna hitam kelam, sehitam dan kelam moralnya itu menghiasi gusinya ketika ia terbahak menganga. Ludahnya muncrat-mucrat membasahi muka Samingun yang tertunduk pasrah, di hadapannya.

"Nyawamu pun tidak ada harganya, Ngun!" bentak Dukun Mardubus menghardik.

"Inggih, Mbah."

"Inggih lagi! Tapi baiklah, Ngun. Aku akan melihat siapa yang bakal memimpin desa ini kelak. Sekalian aku ingin tahu peta politik kedepannya. Itu penting untuk melestarikan hegemoni kekuasaan kerajaan iblis."

"Inggih, Mbah."

"Inggih kontolmu itu. Mulutmu hanya bisa mengucapkan itu? dasar sampah masyarakat!"

"Inggih, Mbah."

Medengar jawaban yang monoton itu dukun tua bangka itu menyepah ludah ke kiri, cuuuiiih! Seraya api membumbung ke udara tepat pada titik ludahnya mendarat di lantai rumahnya. Samingun yang melihat itu terdorong ke belakang dan nyaris terjengkang. Ia kembali memperbaiki bersilanya di hadapan Dukun Mardubus.

Women On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang