Jika panitia menyebut nama Tukiem semua bertepuk tangan. Jika nama Tumin yang disebut mereka senrentah bilang "uuuuuu..." Sementara ririn tidak pernah disebut sama sekali. Suasana begitu meriah pada sesi perhitungan hasil pencoblosan Pilkades Sindang Sari. Tepat pukul 16.00 WIB perhitungan selesai, dan dari hasil rekapitulasi pemilihan Tukiem memperoleh suara 6.251 suara, Tumin mendapat 6.200 Suara, dan Ririn 1 suara, 48 suara rusak.
Satu suara untuk Ririn adalah suaranya sendiri. Suara perubahan itu menggaung sendiri dalam dada montok Ririn. Suara menuju martabat dan harga diri itu berjalan sendiri di lorong sunyi. Ririn gagal membawa warga desanya menuju kearah peradaban yang terang benderang. Ririn pulang menggeber skuter metiknya, tapi tidak menuju rumahnya. Ia memilih ke arah rumah Mbok Sosro Wedhok.
Seperti biasa mbok Sosro Wedhok asik menjilati munthu yang erat dalam genggamannya. Tatapan matanya kosong, hampa, tidak ada cahaya kehidupan di pupil renta itu.
"Tadi ikut nyoblos, Mbok? Tanya Ririn pada janda tua yang duduk bersandar pada kursi jati ukir jepara yang masih mengkilat.
"Ya datang di TPS," jawab Mbok Sosro Wedhok.
"Lalu?"
"Kertasnya tak robek."
"Loh kenapa, Mbok?"
"Lah biasanya aku yang dicoblos kontole Sosro, ini disuruh nyoblos."
"Oalah, Mbok. Ada-ada saja. Sudahlah lupakan kemaluan Pakde itu, cari yang lain saja."
"Ya ini, ada munthu."
Ririn terkikik sendiri mendengar jawaban Mbok Sosro Wedhok. Mata Ririn terlihat lekat menatap janda Lurah Sosro itu dengan rasa iba.
"Mana Mbok Jumilah dan Mbok Ngatinah, Mbok?" tanya Ririn melanjutkan.
"Mereka sedang tidur ngeloni pare dan terongnya," jawab Mbok Sosro Wedhok.
Ririn menyibak pintu kamar dan mendapati kedua janda Lurah Sosro itu sedang asik menjilati terong dan pare, benda bulat lonjong kesayangan masing-masing. Ririn hanya bisa menghela nafas panjang. Sebegini parahkah moralitas dan mental warga desanya termasuk keluarganya sendiri? Tawaran perubahan itupun di tolak mentah-mentah oleh mereka.
Hari itu warga Desa Sindang sari sudah memutuskan pemimpinnya, dan Tukiem mendapatkan takdirnya sebagai pemimpin baru. Tukiem adalah pemimpin wanita pertama di desa itu. Tukiem pun bekas lonte pertama yang bisa menjadi pemimpin atas warganya. Kemapanan, kesejahteraan, dan kemajuan ekonomi menjadi pilihan warga ketimbang kembali menjadi petani miskin.
Malam hari setelah pemilihan seolah tidak terjai apa-apa. Semua berjalan harmonis seperti biasa. Dentum musik, kedap-kedip binal lampu warna warni, dengus klimaks penikmat syahwat, rintih tulus dan pura-pura dari penyedia kenikmatan, semua berjalan selaras. Sebelum fajar menyingsing perhelatan "Tarian Dari Surga" pun tetap berjalan seperti biasa. Setiap goyangan Markenes selalu ada kemaluan yang memuntahkan lahar panas. Semua klimaks dalam kenikmatan duniawi, semua menikmati syahwat kemaluannya yang selalu dahaga.
Samingun bunuh diri! Begitu kabar yang menyeruak di tengah keheninganpagi. Warga masih lelap terlentang ditas ranjang. Ranjang rumah sendiri pun ada yang masih mendengkur satu ranjangdengan lonte yang mereka sewa kemaluannya tadi malam. Kabar angin itu semakin ramai kala mataharikian meninggi. Samingun ditemukantergantung dengan tali di pohon jengkol belakang rumahnya. Itulah hadiah kemenangan Tukiem sebagai kepala desa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Women On Top
General Fiction#1 dalam Satire pada 02 Agustus 2021 #1 dalam Satire pada 15 Oktober 2020 #2 dalam Satire pada 06 Maret 2019 #3 dalam Satire pada 16 November 2018 Women On Top adalah seri ke-4 Lurah Sosro. Inti cerita kali ini adalah tentang sebuah proses politi...