Bagian 14

3.3K 95 20
                                    

Eskalasi politik di Desa Sindang Sari kian memanas. Ririn semakin tidak mendapat panggung. Dua kandidat lain yang lebih berpihak pada kemapanan ekonomi dan kesejahteraan kian mendapat tempat di hati para calon pemilihnya. Stiker, baliho, dan spanduk bergambar wajah Ririn hampir sebua dirusak. Ada baliho yang dirobohkan, di cat dengan pilok tepat bagian mukanya, ada baliho yang dirobek-robek.

Warga tidak pernah ada yang hadir setiap digelar kampaye untuk calon Ririn. Mereka semua takut menjadi petani lagi, miskin lagi, tidak berdaya lagi, terinjak lagi, tidak diperhatikan pemerintah lagi. Mereka semua mendendam kepada kemiskinan, ketertindasan, ketidakberdayaan. Meski yang sekarang mereka nikmati adalah kesejahteraan semu, kemajuan ekonomi semu, dan jauh dari nilai-nilai moral dan religiusitas.

Berbeda dengan kandidat selaian Ririn, mereka menguasai panggung. Tumin yang bekas maling sapi itu selalu ramai jika menggelar kampaye. Dana yang melimpah dari lima pemuda progresif bisa mendatangkan biduan dangdut koplo disetiap kampaye yang digelar. Selain itu lonte-lonte binaannya juga selalu menyumbang lagu dan dan goyangan erotis.

Tukiem yang bekas lonte itu paling dimaninati jika menggelar kampaye, selain karena hiburannya juga karena orasinya yang sangat berpihak kepada kesejahteraan dan kemapanan ekonomi warganya. Tidak peduli meski harus menjual kemaluan. Tukiem akan semakin mensejahterakan para pekerja seks yang masih aktif dan memberikan dana pensiun kepada para lonte yang purna bakti. Tukinem pula yang memprogramkan kesehatan dan pendidikan gratis bagi anak-anak lonte.

Desa Sindang Sari kian hiruk dalam pesta demokrasi, meski tidak demokratis. Kampanye hitam yang ditujukan kepada Ririn kian menguat. Ia dikaitkan dengan Lurah Sosro yang merupakan paman dari Ririn. Ririn akan membawa kehancuran desa seperti pada masa Lurah Sosro. Isu-isu politik menjadi santapan warga setiap hari menjelang hajat delapan tahunan itu.

"Jangan pilih Ririn, Kang. Bahaya! Dia akan mengembalikan kita menjadi petani," ucap Samingun.

"Lah kamu sendiri milih siapa, Ngun?" tanya lawan bicara Samingun.

"Yang penting bukan Ririn, Kang."

"Ah, kamu pasti berpihak kepada Tumin. Dia kan kawan baikmu. Satu institusi di Griya Baitul Nikmat."

"Institusi? Hahaha...." Samingun terbahak ngakak mendengar diksi yang terlalu intelek itu.

"Kok malah ketawa"

"Mbok jangan pakai istilah institusi, wong hanya tempat perlontean. Kalau dinas anu..., baru cocok pakai istilah itu."

"Lah walaupun tempat pelacuran kan membuat kita semua basah. Basah kantongnya dan basah selangkangannya juga."

"Hahaha.." Mereka terbahak bersama.

Besok sudah hari tenang menjelang pencoblosan, hari ini kampanye terakhir masing-masing kandidat di dusun-dusun dari Desa Sindang Sari. Semua memanfaatkan waktu yang tersisa se-efektif mungkin. Tapi lagi-lagi hanya kampanye Ririn yang tidak dihadiri warga. Ririn pulang dari tempat kampanye sendiri dengan skuter metiknya. Ririn menahan tangis.

Women On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang