Tumin, bekas maling sapi yang kini menjadi salah satu germo di Griya Baitul Nikmat tidak mau kalah. Laki-laki satu-satunya kandidat Kepala Desa Sindang Sari juga sudah mensosialisasikan visi-misinya. Ia mulai dengan mengumpulkan lonte-lonte rumah penyedia kenikmatan syahwati itu untuk mengenalkan program kerjanya.
Tumin nyerocos ngalor-ngidul, ngalor –ngulon tanpa arah yang jelas. Dengan diksi sekenanya ia berusaha memaparkan semua yang ia inginkan jika menjadi kepala desa nanti. Ia akan menaikkan tarif memakai lonte tigaratus persen, memperhatikan kesejahteraan pekerja kenikmatan itu, memberikan jaminan sosial dan kesehatan, memberikan pensiun, pelatihan purna bakti bagi lonte-lonte uzur.
"Uangnya darimana, Pak Germo?" tanya salah seorang lonte yang hadir.
"Tenang saja, saya akan menikkan pajak tiga kali lipat kepada semua pemilik usaha penyedia kesenangan," jawab Tumin.
"Lah, nanti jatah kita-kita juga yang akan di potong, Pak Germo."
"O, tidak. Saat ni keuntungan pemilik tempat hiburan terlalu tinggi, itu tidak adil. Mereka juga rata-rata bukan orang sini, tapi para cukong-garong dari ibukota negeri ini."
"Berarti selama ini kita ditindas, ditipu, dikibuli, dan dijajah?" sela seorang lonte lain.
"Tentu, kita hanya menjadi budak-budak para konglomerat. Diperalat oleh kepentingan ekonomi. Mungkin kita tidak sadar karena kita mendapat bagian dan seolah menjadi bagian dari perente-perente itu."
"Kalau begitu kita mogok melayani tamu saja! Memang ini memek negoro!" kata lonte lain sambil berdiri, dengan kalimat berapi-api sambil menunjuk kemaluannya sendiri.
"Ya jangan mogok! Nanti kita tidak mendapat penghasilan!"
"Loh sampeyan itu bagaimana? Mencla-mencle macam memek lonte saja!"
Grrrrrrrrrrrr... semua tertawa. Tumin gemetaran lututnya dipodium. Mungkin ujung kemaluannya sudah mengeluarkan sedikit air najis. Apalagi kemaluannya sering dipakai untuk mencoba rasa, setiap ada lonte baru masuk ke Griya Baitul Nikmat.
Karena kecewa dengan orasi Tumin satu per satu lonte-lonte penghuni rumah penyaji kenikmatan itu membubarkan diri. Tinggalah tumin sendiri berdiri di atas podium. Ia memukul jidatnya sendiri sambil nyengir seperti bandot berahi pingin kawin.
Sementara lima pemuda progresif yang telah mendengar visi-misi Ririn merasa terusik hegemoninya. Ia rajin menyambangi warga menyampaikan maksudnya agar tidak memilih Ririn, jika tidak ingin desa ini kembali miskin dan menjadi patani yang selalu tertindas kebijakan kekuasaan. Mereka juga rajin membagi-bagikan uang kepada warga, mengarahkan untuk tidak memilih calon termuda, tercantik, dan terpelajar itu.
Merekapun memanggil dua kandidat selain Ririn. Lima pemuda yang merasa sangat berjasa memajukan bangsanya itu mengendalikan permaian demokrasi abal-abal itu. Tukiem dan Tumin yang kalah intelektual dan harta hanya mengangguk-angguk seperti burung punguk. Mereka semua sepakat untuk menjegal Ririn agar tidak berkuasa, jika tidak ingin negeri mereka mundur jauh ke belakang. Para iblis intelejen yang mengamati mereka tertawa puas terhadap sinergitas antara kedua calon dan lima pemuda progresif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Women On Top
General Fiction#1 dalam Satire pada 02 Agustus 2021 #1 dalam Satire pada 15 Oktober 2020 #2 dalam Satire pada 06 Maret 2019 #3 dalam Satire pada 16 November 2018 Women On Top adalah seri ke-4 Lurah Sosro. Inti cerita kali ini adalah tentang sebuah proses politi...