Meja di hadapan Nara penuh dengan piring berisi aneka macam makanan. Nara melongo melihat apa yang telah dipesan Reinan untuk mereka berdua. Bagaimana ia bisa menghabis ini semua? Dua piring Chicken Cordon Bleu lengkap dengan kentang goreng dan saus, dua piring wafel berlapis es krim, dua piring Chicken Steak dengan saus lada hitam, dan beberapa gelas minuman lain.
"Apa kamu sedang kelaparan sekarang? Cara makan seperti ini bisa merusak dada bidang dan lengan kekarmu, tahu," gerutu Nara.
Reinan menatap Nara dengan tenang. "Itu tidak akan terjadi, aku jarang makan begini. Lagian tiap pagi juga olahraga, nggak kayak kamu yang hobi ngebo sampe siang," ejek Reinan.
Nara mendecakkan lidah sembari memutar bola mata jengah. "Terserah kau saja."
Nara sudah bersiap dengan pisau dan garpunya. Nara tidak takut gendut. Ia tidak begitu terpikir dengan bentuk badan. Toh, ia sering makan banyak tapi tak kunjung gendut meski rajin mengonsumsi obat cacing setahun dua kali. Mungkin efek banyak pikiran mengurus bayi besar yang bekerja sebagai model ini. Tak lagi ambil pusing, seharian menemani Reinan pemotretan di daerah Bandung cukup membuat perut Nara menggeliat lapar. Semoga semua makanan di depannya sanggup ia lahap.
Aktivitas makan malam mereka terhenti saat ponsel di saku Reinan berdenting. Ia meneguk air putih sebelum akhirnnya mengangkat telepon dengan malas; setidaknya gestur tubuh dan raut muka itu yang Nara tangkap dari nada bicara Reinan.
"Ya, halo, Pa," sapa Reinan.
"...."
"Tidak."
"...."
"Baiklah, sampai ketemu besok siang." Reinan menutup teleponnya begitu saja.
Nara menghentikan kunyahan di mulut. "Papa kamu?"
Reinan hanya mengangguk. Ia kembali menyantap makanan dengan tidak bersemangat. Pemandangan ini sudah biasa Nara temui. Reinan selalu berubah drastis saat berhubungan dengan Tuan Wiryawan; papanya. Menurut Nara, hubungan antara keduanya tidak baik. Selalu saja berakhir dengan pertengkaran yang mampu membuat moodboster majikan Nara itu rusak. Nara menghela napas tak kentara. Ia menggelengkan kepala pelan sambil mengalihkan pandangan dari Reinan kembali pada piring makan malamnya. Sosok Reinan sungguh misterius. Tak mudah bagi Nara mengenal seorang Reinan meski ia sudah bekerja padanya sudah hampir setengah tahun.
**
Reinan merebahkan diri di sofa ruang tengah. Kondisi pikirannya kurang baik setelah permintaan Wiryawan untuk menemuinya besok. Reinan tertawa getir. Laki-laki tua itu sepertinya belum mau berhenti mengusik hidupnya. Diusianya yang 28 tahun ini sudah cukup membuat Reinan paham dengan segala kelakuan dan tekanan dari sang papa. Bahkan mamanya rela merusak dirinya sendiri karena tak mampu menguasai rasa sakit yang ia terima.
"Rei, aku pulang dulu, ya?" pamit Nara yang baru saja keluar dari arah dapur. Ia sudah bersiap dengan flap backpack berbahan denim kesayangannya.
Reinan mengangguk dan bangkit meraih kunci mobil. Jaket dan sepatu Nara masih ada di mobil, belum sempat dikeluarkan. "Besok jam sepuluh, antar aku ke rumah papa. Aku malas nyetir," ungkapnya. Tangan kanannya mengulurkan jaket Nara yang baru ia ambil dari kursi mobilnya.
"Oke, aku selalu bisa tepat waktu," jawab Nara. Gadis itu sibuk memakai sneakers-nya sambil duduk di lantai teras rumah.
Reinan menatap Nara lekat-lekat. Mungkin Nara bisa membantunya keluar dari masalah yang ia hadapi karena tekanan Wiryawan. Ia mengembuskan napas kasar. Tangannya terlipat di dada dengan punggung bersandar pada pintu mobil.
"Ra," panggilnya.
Yang dipanggil sontak mendongak, "Ya?"
"Kamu ... udah punya pacar?" Reinan terlihat kikuk menanyakan hal demikian. Ia buru-buru melempar pandangan ke jalanan di depan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selebgram in Love
Romance[Repost] Narayana Pratiwi yang mendadak hidupnya seperti di negeri dongeng. Namun, tak selamanya hidup layaknya di dongeng itu indah. Reinan Wiryawan, laki-laki sedikit bicara yang tiba-tiba meminta asistennya---Narayana Pratiwi untuk menjadi istri...