Satu

17.8K 1.4K 23
                                    

Nara berjalan mengikuti langkah kaki jenjang Reinan. Kedua tangannya sibuk membawa dua paper cup berisi kopi panas. Sesekali ia mengangkat kedua bahu; menggigil kedinginan. Kawasan Puncak, Bandung, sudah cukup memberinya alasan kedinginan. Tahu begini tadi ia membawa jaket tebal, bukannya hanya sekadar jaket berbahan kaus biasa.

"Apa hari ini masih ada pemotretan lagi?" tanya Reinan seraya meraih kopi dari uluran tangan Nara.

Nara menggeleng, "Tidak."

Keduanya duduk di atas kap mobil sport berwarna putih. Hari ini Reinan baru saja menyelesaikan job pemotretan untuk sebuah majalah. Pekerjaannya sebagai model menuntut waktu dan tenaga sering terkuras habis. Sama halnya dengan Nara. Sebagai asisten pribadi, ia harus mengikuti ke mana pun tuannya pergi. Bukan perkara mudah menjadi asisten pribadi seorang model. Nara kerap direpotkan dengan segala tuntutan pekerjaan Reinan. Mulai dari memikirkan jadwal makan, memikirkan asupan gizi sang tuan, menata pakaiannya yang kusut, memayunginya agar tidak kehujanan dan kepanasan, membawakan tas dan jaket sepanjang perjalanan, dan membukakan pintu mobil sekaligus terkadang menjadi sopir.

Beruntung Reinan tipe tuan yang peduli terhadap pendidikan asistennya. Reinan cukup mengerti bila Nara harus izin untuk ke kampus; konsultasi skripsi. Nara memang sedang menjalani semester akhir kuliahnya, tapi ia butuh pekerjaan. Ibunya sudah tidak sanggup lagi bekerja, mengingat sang ibu sering jatuh sakit. Sementara ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu.

Menjadi asisten pribadi seorang super model ternyata mendatangkan keuntungan lain untuk Nara. Ya, sekarang Nara sering kebanjiran e-mail dari berbagai online shop untuk keperluan endorsement. Hanya saja belum begitu digeluti oleh gadis berusia 22 tahun itu. Ia sibuk mengurusi sang bayi besar, Reinan. Nara ada waktu free setiap hari Minggu saja untuk mengurus tawaran endorse, itu pun hanya sekadar paid promote saja. Gadis bermata lebar itu belum berani dan ahli untuk menerima tawaran paid endorse.

Nara mengembuskan napas perlahan, kembali mengangkat bahu karena hawa dingin mulai menusuk tulangnya. Secangkir kopi panas belum cukup membuatnya hangat.

"Dua minggu lagi kita berangkat ke Melbourne. Kamu sudah mengosongkan semua jadwal kuliahmu, bukan?" Reinan bersuara, membuyarkan nikmat gigil yang sedang Nara rasakan.

"Sudah," sahut Nara dibarengi anggukan kepala, "aku akan menyelesaikan kosultasiku minggu-minggu ini juga."

Reinan mengangguk-angguk perlahan. "Oke, kita pulang sekarang."

Nara bergegas, ia berjalan membukakan pintu mobil. Reinan sempat berteriak pamit pada manager-nya yang sibuk bercakap dengan fotografer. Lusi, wanita paruh baya bertubuh gempal yang sudah 5 tahun menjadi manager Reinan itu mengangguk dan melambaikan tangan.

"Aku yang nyetir, Ra. Kamu duduk saja," pinta Reinan seraya masuk ke dalam mobil di sisi kemudi.

Nara mengembuskan napas. Reinan memang tipe orang yang sulit diterka. Sepanjang perjalanan Nara bekerja padanya, banyak sekali kejadian tak terduga. Ekspresi laki-laki itu sulit ia tebak. Begitu tenang, dan santai. Hanya saja bila sedang marah semua akan terkena dampaknya. Beruntung Reinan memiliki manager layaknya Bu Lusi yang baik hati dan begitu paham dengan emosional Reinan yang terkadang labil dan ... ngambekan.

Reinan bisa saja membatalkan job secara tiba-tiba bila sedang labil, membuat Bu Lusi naik darah. Tentu saja naik darah, terutama bila Bu Lusi sudah telanjur mempersiapkan segalanya dengan dana pribadi. Anehnya, Nara belum pernah sekali pun terkena imbas sikap labil Reinan. Paling beberapa kali kena jitakan atau potong gaji bila Nara ceroboh.

"Apa suasana hatimu sedang baik sekarang?" tanya Nara dalam perjalanan pulang.

Reinan menoleh sebentar. "Menurutmu begitu?"

Nara hanya menganggukkan kepala cepat.

"Baiklah, hari ini aku jadi sopir pribadimu. Mau ke mana kita sekarang?" Reinan menepikan mobil dan berhenti sebentar.

Mata Nara membola dengan binar kegirangan. "Serius? Cari kafe yang enak deh, aku lapar. Antar aku ke kafe paling enak," pinta Nara.

Reinan memiringkan tubuh menghadap Nara. "Potong gaji untuk bayaran sebagai sopir pribadimu dan makan di kafe bersama super model," ucapnya dengan tatapan datar. Ia kemudian kembali menjalankan mobil kembali.

"Hiiiish, dasar majikan kejam!" rutuk Nara. "Hentikan mobilnya," pintanya.

"Bodo amat, kamu ngerusak moodboster baikku," ujar laki-laki beriris mata hitam pekat itu. Ia tersenyum sinis, membuang pandangan ke jalanan yang berkabut.

Kalian lihat, bukan? Emosi Reinan cukup berbahaya. Sedikit-sedikit potong gaji. Nara hampir setiap hari pusing mengatasi sikap moody tuannya. Tapi, selebihnya, hubungan mereka berdua baik. Reinan sangat menghargai setiap hak Nara sebagai asistennya, dan tidak mudah mengucapkan kata pecat pada Nara. Padahal, berdasarkan cerita-cerita sebelumnya dari pembantu di rumah Reinan. Reinan sudah berhasil memecat sepuluh asisten pribadinya hanya karena masalah sepele. Entahlah, Nara sendiri tidak cukup tahu mengapa demikian. Selama posisinya aman-aman saja dalam pekerjaannya, Nara tak terlalu ambil pusing dengan cerita dan riwayat asisten Reinan yang berakhir teragis itu.

"Hobi banget potong gaji, sih, kamu," gerutu Nara kesal.

Mobil sudah berhenti kembali dan mereka bertukar posisi. Nara menutup pintu mobil dengan kasar.

"Pintu mobil rusak, potong gaji," gumam Reinan lagi dengan santai. Ia sempat membenarkan posisi kursi mobil agar ia bisa tiduran dengan nyaman.

Nara menggerutu sepanjang perjalanan. Reinan sendiri sudah cukup terbiasa dengan segala gerutuan Nara. Ia cukup memasang headset dan mendengarkan musik untuk menyumpal telinganya dari serangan omelan asistennya. Ya, hubungan mereka baik meski sering terjadi pertengkaran kecil tak bermakna.

(11-08-2017)

***

Yep, terima kasih yang masih setia membaca karya saya.

Bila berkenan silakan vote dan comment, ya.

Terima kasih. :))

Selebgram in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang