Embusan angin semilir menerobos jendela yang terbuka. Nara meringkuk semakin dalam di balik selimut. Namun silau matahari yang menembus kaca jendela kamar mengganggu matanya yang masih terpejam. Ia menggeliat, meregangkan sendi tubuh yang terasa kaku. Dengan mata malas dan setengah terpejam gadis dengan rambut acak-acakan sebawah bahu itu bangkit. Piayama kebesaran yang dikenakan tampak menutupi tumit dan separuh telapak tangannya. Nara berjalan gontai ke arah kamar mandi.
Ia harus membasuh muka dan menggosok giginya sekarang agar rasa malas hilang, berganti semangat pagi. Nara membuka pintu kamar mandi, ia bahkan tak terpikir bahwa sejak kemarin siang ia telah menjadi istri pemilik rumah ini. Langkahnya terhenti di depan pintu dengan sebelah tangan yang masih memegang kenop pintu. Ia mengerjap, memahami sejenak sosok yang sedang berdiri di depan cermin kamar mandi. Nara memiringkan kepala, belum sepenuhnya sadar, ia masih menatap sosok laki-laki di depannya yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana jogger sport.
Reinan berkacak pinggang, menunggu reaksi wanita yang sepertinya masih linglung. Ia mengangkat sebelah alisnya saat Nara mulai terkesiap.
"Oh, maaf," ucap Nara singkat dan buru-buru membanting pintu, kemudian berlari kembali ke ranjang, bersembunyi dalam selimut.
"Astaga! Aku lupa aku sudah jadi istri orang dan tinggal di rumah suamiku!" rutuk Nara hampir menangis menahan malu.
Jantung Nara berdebar hebat ketika pintu kamar mandi terbuka. Itu pasti Reinan sudah selesai.
"Masih mau bersembunyi di situ?" tanya Reinan.
"Jangan pedulikan aku," pinta Nara masih tak mau menyembulkan kepala dari dalam selimut.
Reinan hanya berdecak pelan. Ia baru akan membuka mulut saat ponsel Nara di nakas berdering. Tangan Nara menyembul dari balik selimut, menggeragap mencari ponselnya di nakas.
"Halo, Bu Lusi?" sapa Nara setelah mengangkat telepon dari manager Reinan.
"...."
"Oh, iya, aku segera ke sana bersama Reinan. Tunggu satu jam lagi, oke?" mohon Nara. Ia melompat dari tempat tidur. Ini bukan saatnya memikirkan rasa malunya. Pekerjaan menanti.
"Lusi ngapain telepon?" tanya Reinan.
Nara menoleh sebentar, tangannya sibuk membuka lemari pakaian Reinan dan memilih pakaian. "Aku lupa hari ini ada meeting untuk membahas kontrak kamu dan Mia," terang Nara.
"Kamu yakin?"
Nara mendesis gugup. "Jangan banyak tanya lagi. Cepat pakai baju ini. Aku mau mandi sebentar."
Dengan sigap Nara menyambar handuk dan berlari kecil ke kamar mandi. Mereka tidak boleh terlambat. Pekerjaan apa saja, perlu disiplin tinggi dalam hal waktu.
**
Nara menggigit bibir, sebentar-sebentar ia menghela napas lirih. Ia sedang berdiri di belakang Reinan yang sedang duduk bersanding dengan Mia. Mereka berdua sedang sibuk melayani pertanyaan wartawan dunia hiburan. Sesekali Mia bersandar manja di lengan Reinan saat wartawan mempertanyakan perihal hubungan mereka.
"Apa dengan mengambil peran sebagai suami istri, kalian akan membawa hubungan kalian di dunia nyata ke jenjang pernikahan?" Seorang wartawan melontarkan pertanyaan saat jumpa pers usai meeting.
Nara kesulitan bernapas sekarang, paru-parunya seperti diremas. Bahkan dunia seperti menyempit di sekelilingnya. Ia meremas jaket Reinan yang tersampir di kedua lengannya. Oh, demi Tuhan. Tak menyangka semua ini ternyata begitu menyesakkan. Nara memperhatikan mimik suaminya, menanti jawaban apa yang akan dilontarkan Reinan.
Reinan tak menjawab, ia hanya tersenyum simpul. Hal itu membuat Nara sedikit lega. Akan terasa lebih menyesakkan saat Reinan menjawab 'iya', bukan?
"Kami belum terpikir ke situ, tapi kalau ada kesempatan kami ingin mendekatkan keluarga terlebih dahulu. Karena menikah tidak hanya mempersatukan dua insan." Mia mengambil alih menjawab pertanyaan wartawan. Wajahnya berseri-seri seraya melingkarkan sebelah tangan di lengan Reinan.
Astaga, Nara mengembuskan napas berat, menghimpun segala energinya agar tak pingsan di saat seperti ini. Nara mual, muak, dan merasa tak berdaya lagi saat keduanya berjalan beriringan usai jumpa pers. Sementara dirinya mengikuti di belakang bersama Lusi. Berusaha tersenyum semanis mungkin di depan kamera. Lusi memisahkan diri setelah membantu Nara menghalau wartawan demi kenyamanan Reinan dan Mia.
Nara membukakan pintu mobil, mempersilakan Reinan dan Mia masuk ke mobil. Ia terus berusaha menghalau kerumunan wartawan dan fotografer yang nekat menyerbu mengambil gambar. Kemudian ia masuk ke dalam mobil di sisi kemudi dengan susah payah. Oke, Nara. Berperanlah dengan baik sebagai supir sekarang!
**
"Hentikan mobilnya," pinta Reinan saat mobil sudah melaju cukup jauh dari tempat jumpa pers.
Nara menoleh ke belakang sebentar sebelum ia benar-benar menghentikan mobil di tepi jalan yang sepi. Mia yang sedari tadi merangkul lengan Reinan terkesiap. Alis yang terbentuk cantik melalui sulam alis itu mengerut tak mengerti dengan permintaan Reinan. Reinan turun dari mobil, membuka pintu sisi kemudi.
"Aku yang nyetir, kamu duduk saja," ujar Reinan dengan nada ketus pada Nara.
"Ta-tapi...."
"Jangan membantah, aku tidak suka berdebat," tegas Reinan seraya mencengkeram lengan Nara, menariknya ke luar dan membawanya mengitari mobil. Kemudian Reinan mendudukkan Nara di kursi sebelah sisi kemudi. Ia sempat memasangkan sabuk pengaman pada Nara.
Nara baru akan membuka mulut untuk kembali bicara, tapi lagi-lagi Reinan menyelanya. "Jangan banyak bicara, Ra. Aku malas berdebat!"
Bibir Nara kembali terkatup rapat. Ia tidak ingin bertengkar di jalan, apalagi di depan Mia yang mulai memasang wajah masam. Mia tampak kesal, mengempaskan punggung ke sandaran kursi mobil seraya melipat kedua tangan di dada.
"Jadi, kamu mengabaikanku?" gumam Mia kesal.
"Kamu mau pulang, aku antar segera. Aku tidak punya banyak waktu untuk berpura-pura menjadi kekasihmu." Reinan sudah bersiap melajukan mobil.
Mia sedikit terkejut saat mobil sport Reinan membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. "Kau benar-benar gila, Rei!" pekiknya.
Nara menggigit bibir, matanya terpejam mendengar pekikan dan umpatan Mia sepanjang jalan. Mungkin, Nara butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi Mia. Bahkan lebih sabar lagi ketimbang saat ia mengadapi Reinan. Mia bukan wanita biasa yang gampang dihadapi.
**
(20-08-2017)
Vomment, please. ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Selebgram in Love
Romance[Repost] Narayana Pratiwi yang mendadak hidupnya seperti di negeri dongeng. Namun, tak selamanya hidup layaknya di dongeng itu indah. Reinan Wiryawan, laki-laki sedikit bicara yang tiba-tiba meminta asistennya---Narayana Pratiwi untuk menjadi istri...