Nara hampir kehabisan akal dan seluruh tenaganya. Sebisa mungkin ia meronta, menjejakkan kaki ke segala arah. Menghindar dari terkaman buas binatang bersosok manusia. Air mata sudah membanjir di pelupuk mata, membawa lelehan noda hitam dari sisa maskara dan eyeliner di garis mata. Suara terikan Nara bahkan sudah serasa hampir memutus pita suaranya.
Reno sudah tidak peduli lagi dengan tangisan wanita yang ia kungkung. Ia sudah tertutup kabut gairah. Tak sudi menerima isakan memelas Nara. Saking sibuknya mencari celah, ia tak sadar akan sesosok yang dengan cekatan mencekal kerah bagian belakang kemejanya.
Reno tersungkur ke lantai, ia hampir melawan dan bangkit. Akan tetapi sebelah kaki jenjang Reinan sudah menjejak dada Reno dan menahannya. Bukan Reinan jika ia hanya berhenti di situ saja.
Fina memekik takut saat tubuh Reno dipaksa bangkit dan berkali-kali Reinan memukul wajah dengan kepalan tangannya. Reno terjerembap, ia menggapai-gapai apa saja yang ada di sekitar. Ia melempar sebuah guci ke arah Reinan. Sedikit lagi guci yang melayang itu mengenai kepala Reinan bila ia tak menangkisnya. Namun, beberapa pecahan yang terburai di udara menyayat pelipis Reinan. Darah mengucur, pun sama dengan wajah Reno yang tampak lebam kebiruan berhias darah berbau anyir. Reno meludah ke kiri, ia berusaha bangkit lagi.
"Masih mau bertahan hidup? Dasar berengsek!" umpat Reinan.
Ia kembali meninju wajah Reno. Reno terpojok ke dinding. Sayangnya Reinan belum puas, luapan emosi menggelapkan pikiran dan matanya. Dengan sigap ia menahan kedua bahu Reno. Reinan hampir menendang perut Reno yang meringkuk mencari perlindungan.
Fina yang tergesa memanggil siapa saja di luar untuk melerai dan menahan Reinan yang semakin kasar dan membabi buta.
"Rei, hentikan! Cobalah kamu lihat Nara dahulu!" teriak Fina seraya merangkul Nara yang meringkuk di pojok ruangan dengan tubuh gemetar.
Reinan yang sudah dipegangi oleh dua orang satpam segera tersadar saat mendengar nama Nara disebut. Dua satpam itu melepas cekalan saat ketegangan dan amarah Reinan sedikit mencair. Reinan beringsut menghampiri Nara.
"Ra? Kamu baik-baik saja?" Reinan berusaha meraih Nara.
Nara masih gemetar, ia reflek menampik tangan Reinan.
"Ini aku. Ra?" ucap Reinan lagi meyakinkan Nara.
Sepertinya Nara masih ketakutan, ia berteriak histeris agar semua menyingkir darinya.
"Please, Ra. Lihat aku! Kamu baik-baik saja, ini aku!" Reinan mengguncang bahu Nara.
Saat kesadaran Nara sedikit pulih, ia menghambur ke dalam dekapan Reinan. Nara menangis sejadinya. Reinan membantu Nara berdiri, melepas jaket dan menyampirkannya ke bahu Nara.
"Ayo, kita keluar dari sini," ajak Fina setelah ia meminta kedua satpam itu membereskan sisa kekacauan. Termasuk Reno yang sudah pingsan.
Fina terperangah saat turun ke lantai bawah bersama Reinan dan Nara. Kerumunan wartawan sudah memenuhi halaman studio foto Reno. "Aduh, bagaimana ini? Dari mana mereka tahu ada kekacauan di sini?" panik Fina.
"Biarkan saja. Cukup bantu aku membawa Nara masuk ke mobil melalui kerumunan wartawan," sahut Reinan.
Fina mengangguk. Wartawan menyerbu seketika Reinan yang masih mendekap Nara keluar menuju mobil.
"Maaf, tolong hargai kami. Jangan ada yang mengambil gambar. Beri kami jalan," ujar Fina seraya menghalau kerumunan wartawan.
"Mas Reinan, apa yang terjadi?" tanya wartawan seraya mengacungkan alat perekam.
"Apa ini pemerkosaan terhadap asisten Anda?"
"Apa hubungan Anda dengan Mbak Nara sebenarnya?"
Kilatan cahaya kamera membuat Reinan risih. Emosinya kembali memuncak. "Aku mohon hentikan! Jangan ada yang mengambil gambar!"
Tidak ada yang mau mendengar. Semua nekat terus menyemburkan pertanyaan penuh keingintahuan. Bahkan meski Reinan sudah memberikan peringatan, mereka masih mengarahkan kamera padanya dan Nara.
"Aku bilang hentikan, Bangsat!" umpat Reinan. Sebelah tangannya merebut kamera seorang wartawan dan melemparnya hingga terjatuh terburai ke jalanan. Ia hampir kembali melepas tinju, akan tetapi tertahan saat Nara mengeratkan pelukan pada tubuh Reinan.
"Pulang, Rei. Aku mau pulang," rintihnya pilu.
Saat Reinan dan Nara berhasil masuk ke mobil dan berlalu, mobil Lusi memasuki parkir studio foto Reno. Ia langsung diserbu wartawan. Lusi semakin geram dan berusaha menahan pening di kepala. Mia yang juga ikut dengan Lusi ikut diserbu wartawan.
Fina memijit keningnya. Hari ini benar-benar kacau. Ia berlarian ke arah Mia, berusaha menghalau wartawan agar tak terlalu dekat.
"Maaf, beri jarak, ya. Kasihan Mbak Mia, tanya satu per satu, oke?" pinta Fina sabar.
Mia menggigit bibir, ia mengguncang lengan Lusi meminta perlindungan. Fina memutar bola mata, jengah dengan kelakuan Mia.
**
Reinan duduk di tepi ranjang. Ia sibuk mengamati wajah lelah Nara. Nara tertidur setelah dokter memberinya obat penenang. Kejadian ini cukup mengguncang kondisi psikis Nara.
Tangan Reinan terulur, merapikan juntaian anak rambut di kening Nara. Sesekali secara perlahan ia menyentuh bekas lebam di kedua lengan istrinya. Sejumput perih menyayat batin, merasa berdosa akan setiap luka di sekujur tubuh Nara. Seandainya tadi ia terlambat, mungkin Nara lebih memilih mati daripada pulang bersama Reinan. Reinan tahu Nara teramat menjaga dirinya. Tak terjamah laki-laki mana pun kecuali Reinan—suaminya.
"Tuan, makan malam sudah siap. Nanti keburu dingin. Sini biar Bi Lilis yang gantiin jagain Nyonya," kata Bi Lilis yang muncul dari arah pintu.
Reinan menghela napas. "Nggak lapar, Bi."
Bi Lilis tertunduk, ia ikut bersedih dengan apa yang sedang menimpa rumah tangga baru mereka.
"Bi, aku selalu menyusahkan Nara. Bahkan membuat Nara selalu tertimpa masalah karena aku," gumam Reinan. Ia tertunduk, menyangga tubuh dengan kedua siku bertumpu di atas lutut sembari meremas rambut karena putus asa.
"Jangan bilang begitu, Tuan. Bi Lilis yakin, Nyonya ikhlas ada di samping Tuan. Setahu Bibi, Nyonya nggak pernah ngeluh tentang Tuan. Malahan selalu mencemaskan Tuan." Mata Bi Lilis berkaca-kaca, menahan luapan air mata yang hampir terjatuh di sudut mata.
Reinan mengembuskan napas perlahan, kemudian mendongak dan tersenyum. "Terima kasih, Bi. Semoga Tuhan selalu membalas kebaikan Bi Lilis."
Bi Lilis tersenyum seraya menghapus air mata yang meleleh. "Ya sudah, panggil Bibi kalau ada perlu sesuatu," pungkasnya sebelum berlalu.
Reinan mengangguk. Ia merebah di samping Nara saat Bi Lilis sudah menutup pintu. Memeluk Nara dengan segenap rasa bersalah. Beberapa detik ia terdiam, namun detik berikutnya, ia tergugu sembari menyembunyikan wajah di ceruk leher Nara.
"Maaf,Ra. Maaf ...."
**
Repost: 10-09-2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Selebgram in Love
Romance[Repost] Narayana Pratiwi yang mendadak hidupnya seperti di negeri dongeng. Namun, tak selamanya hidup layaknya di dongeng itu indah. Reinan Wiryawan, laki-laki sedikit bicara yang tiba-tiba meminta asistennya---Narayana Pratiwi untuk menjadi istri...