Seulas senyum terukir di bibir Reinan selesai menutup telepon. Apa wanita itu sudah bisa memaafkannya?
"Jangan lupa makan."
Itu kata-kata perhatian kecil yang Reinan rindukan beberapa hari ini setelah sekian lama membisu. Senyum Reinan melebar diiringi embusan napas kelegaan.
Braaakk!
Suara majalah gosip di lempar di meja depan Reinan kontan membuyarkan fokus Reinan akan Nara. Reinan mendecakkan lidah saat menoleh ke arah Lusi dan Mia yang duduk dengan ekspresi kesal.
"Bagaimana foto ini sampai ke tangan wartawan, hah? Aku sudah berulang kali memperingatkanmu. Jangan bermesraan dengan Nara di tempat yang rawan penguntit!" Emosi Lusi meledak.
Reinan mengamati foto dirinya berpelukan dengan Nara. Ia berusaha mengingat kapan ia memeluk Nara demikian. Alis Reinan terangkat, ini jelas fotonya saat di ruang make up studio foto Reno.
"Carikan informasi saja, siapa saja orang yang ada dalam studio Reno saat pemotretan malam itu. Aku yakin di antara kita ada yang sengaja menyebar foto ini." Reinan melempar kembali majalah ke meja kaca di depannya.
Reinan hampir beringsut dari ruangan kerja Lusi. Namun, Mia menghentikan langkahnnya.
"Tunggu! Bagimana kalau kita korbankan Nara saja? Kita buat gosip tandingan. Aku akan berbicara di depan wartawan bahwa Nara adalah orang ketiga yang berusaha menyelinap masuk ke dalam hubungan kita demi menumpang ketenaran. Bagaimana?"
Reinan kembali duduk di sofa, menatap tajam ke arah Mia. Ada kilatan amarah di mata hitam pekat Reinan.
"Apa kamu sudah gila? Menjadikan istriku menjadi tumbal demi mengatasi masalah ini, hah?"
Lusi memutar bola matanya. "Rei, Nara belum menjadi model terkenal. Jadi, mengorbankan kariernya tidak masalah demi karier cemerlangmu ini. Lagi pula, Nara kehilangan pekerjaan masih bisa menikmati nafkah berlimpah darimu. Tapi kalau kamu yang kehilangan job, apa Nara bisa diandalkan menafkahimu?"
Reinan bangkit dari duduknya. Kedua telapak tangan ia angkat. "Cukup! Aku akan pikirkan cara lain. Aku tidak mau mengorbankan nama baik istriku sendiri. Bagaimana kalau kita balik. Jadikan Mia sebagai orang ketiganya saja? Aku pun tak masalah syuting film ini dihentikan dan mereka cari artis lain."
Mia mendelik. "Rei! Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku! Kamu mau menafkahiku kalau sampai jadi pengangguran?"
"Aku tidak mau tahu. Jangan lakukan apa pun sebelum aku memikirkan jalan keluarnya, mengerti?" Reinan beringsut keluar ruangan. Debuman pintu terdengar cukup keras, membuat Lusi dan Mia memejamkan mata dan menutup telinga.
**
Nara melihat jam di dinding kamarnya. Pukul setengah dua belas malam, Reinan belum juga pulang. Sesekali ia menyingkap tirai jendela kamar, berharap bisa mengawasi pagar rumahnya. Siapa tahu sosok yang ia tunggu muncul.
Ponsel masih ia letakkan di meja tulis, sudah kesekian kali tangannya tergerak membuka media sosial. Sekarang ia tahu kenapa rumah mereka dikepung wartawan. Nara menghela napas. Ia yakin Reinan pasti sedang pusing memikirkan berita ini sendirian.
Nara mengemasi kamera dan beberapa aksesories di meja. Ia baru saja menghilangkan bosan menunggu dengan mengambil foto beberapa produk aksesories untuk diunggah ke akun Instagram-nya. Ia menghela napas kecewa melihat hasil jepretannya. Kalau saja ada Reinan, pasti akan bagus hasilnya.
Nara melonjak saat ponsel di meja berdering. Senyumnya tersungging ketika nama Reinan terbaca di layar ponsel.
"Halo, Rei," sapa Nara.
"Mm, bukain pintu. Aku udah di depan rumah."
Tanpa berpikir panjang, Nara bergegas berlari ke ruang tamu. Hampir saja ia terjatuh saat tersandung karpet yang terlipat. Ia sempat mengambil napas dalam sebelum ia memutar kenop pintu. Jantungnya berdebar, entah kenapa. Mungkin karena sudah beberapa hari ini mereka terkungkung dalam kecanggungan dan Nara ingin mengakhiri kecanggungan itu.
"Hai," gumam Nara seraya menyandarkan kepala di sisi daun pintu.
Keduanya terdiam sejenak, saling tatap dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan dan bicarakan.
"Ibu sudah tidur?" tanya Reinan seraya mendorong tubuh Nara untuk berjalan mundur. Membiarkan dirinya masuk dan menutup pintu, kemudian memeluk erat Nara.
Nara mendongak demi menatap lawan bicaranya. "Sudah, ini tengah malam, 'kan? Waktunya semua orang tidur. Kamu yang pulang kemalaman."
"Ih, bukannya udah sering gini, nggak usah cemberut," protes Reinan saat melihat ekspresi raut wajah Nara yang terlipat. "Aku ngantuk. Ayo, tidur."
Nara mengangguk. Seperti biasa, Nara selalu cekatan mempersiapkan kebutuhan Reinan. Menyiapkan baju ganti, menata tempat tidur selama Reinan masih menggosok gigi di kamar mandi, dan menyediakan segelas air putih di nakas.
Reinan melompat ke ranjang dan meringkuk, bersiap untuk tidur. Nara sempat memukul kepala Reinan dengan guling, membuat Reinan mengaduh tak terima.
"Selama ini aku selalu setia padamu, Tuan. Bisakah sehari saja kita bertukar tempat? Jadikan aku ratu, pagi-pagi sarapan tinggal suap, ke mana-mana diantar, payungi aku saat ke panasan," protes Nara setengah bercanda.
Reinan meringis dan membalas timpukan dari Nara sebelumnya. Nara mengaduh seraya merebah di sisi Reinan.
"Tidurlah. Besok pagi aku banyak pekerjaan," gumam Reinan. Ia sudah memejamkan mata.
Nara mendesah memiringkan tubuh dan menatap wajah letih Reinan. Ia teringat cerita Sam di mana Reinan telah menanggung segala lelah hidup dalam keluarganya. Mungkin ini saat yang tepat untuk berbicara pada Reinan.
"Rei," panggil Nara dengan suara lirih.
"Mm?"
"Aku tahu masa lalumu terlalu berat. Aku tahu seberapa kuat dirimu menghindar dari segala hal tentang perempuan. Tapi, yang perlu kamu tahu adalah aku bukan mama. Bisakah kamu tidak memandang jijik padaku karena masa lalumu? Bisakah kamu menempatkan aku di hatimu sebagai seorang wanita yang istimewa?" Nara masih menatap Reinan yang masih saja memejamkan mata.
Hingga Reinan membuka matanya, menatap ke dalam manik mata Nara. "Aku tidak menyentuhmu sejak awal pernikahan kita bukan karena aku membencimu atau bahkan jijik padamu," terang Reinan. "Aku hanya sedang memberimu waktu, Ra."
Nara terdiam, ia berusaha mencerna perkataan Reinan perihal memberikan waktu.
"Aku tahu kamu butuh waktu untuk bisa menerimaku sebagai suamimu. Aku juga tahu kamu butuh waktu untuk memastikan bahwa kamu mencintaiku," lanjut Reinan.
Nara masih saja diam, ia tak tahu harus berbicara apa lagi. Ia sudah tidak peduli lagi dengan masa lalu Reinan. "Maaf," lirih Nara.
Reinan menarik tubuh Nara untuk lebih dekat, menghapus jarak di antara mereka dengan saling melekatkan kening. "Lupakan. Aku yang salah."
Malam itu, Nara bisa merasakan degup jantungnya lebih kencang. Pun sama dengan detak jantung Reinan yang memburu saat Nara menyurukkan wajah ke dada suaminya. Segala rasa kengerian dan takut malam yang lalu sirnah saat digantikan sentuhan hangat Reinan yang memabukkan. Tidak ada lagi mata gelap terselubung kabut emosi. Tatapan itu berganti tatapan lembut yang menghipnotis Nara untuk menerima segala perlakuan Reinan atas nama cinta.
**
Repost: 10-09-2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Selebgram in Love
Romance[Repost] Narayana Pratiwi yang mendadak hidupnya seperti di negeri dongeng. Namun, tak selamanya hidup layaknya di dongeng itu indah. Reinan Wiryawan, laki-laki sedikit bicara yang tiba-tiba meminta asistennya---Narayana Pratiwi untuk menjadi istri...