Hai, selamat membaca Reinara lagi. 🥰🤗
Saya repost, ya. 😁
💞💞💞
Studio Sam memang selalu tampak sepi. Tidak ramai seperti layaknya studio foto lain yang banyak digandrungi remaja yang suka berfoto demi mengabadikan moment bahagia mereka. Sangat disayangkan karena menurut Nara, hasil bidikan Sam terlalu mulus untuk studio yang sepi ini.
Nara mendorong pintu dari kaca. Sosok pria paruh baya berambut kelabu itu tampak sedang memaku dinding. Lita tampak memegangi tangga lipat yang sedang menyangga Sam.
“Hai, Nara!” sapa Lita gembira.
Nara tersenyum dan mengangguk.“Hai, Nak! Apa kabar?” Sam sama gembiranya menyadari siapa yang datang ke studio sepagi ini. Perlahan orang tua itu turun sambil berpegangan pada Lita. “Mari duduk. Maafkan orang tua ini yang semakin lambat berjalan saja,” kekeh Sam.
Lita menarik sebuah kursi untuk Sam duduk. Kemudian ia berlalu menyiapkan beberapa cangkir teh dan camilan.
“Aku baik, Uncle. Bagaimana dengan Uncle?” Nara sedikit mencondongkan tubuh ke depan.
“Seperti yang kamu lihat, aku semakin tua,” tawanya hingga terbatuk ringan. “Ada apa? Ada sesuatu yang ingin kamu tahu? Tentang Reinan?” terka Sam.
Nara tertunduk seraya menggigit bibir. “Aku ....”
“Kamu sedang meragukannya?” terka Sam lagi. Ia tersenyum, membuat garis senyum di kedua ujung bibirnya tampak semakin keriput. “Percayalah, dia menyukaimu,” lanjut Sam. Sebelah tangannya menyentuh tangan Nara yang saling meremas di atas meja.
“Aku tidak tahu, Uncle. Terlalu banyak rahasia dalam diri Reinan. Dan ... apa Uncle tahu kenapa Reinan begitu menghindari perempuan?” Mata Nara menatap lurus ke dalam mata kelabu Sam.
Sam terkekeh pelan. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. “Menghindari perempuan bukan berarti suamimu tertarik pada sesama jenis, bukan?”
“Tapi kenapa?”
“Percayalah pada suamimu. Dia tak seburuk yang kamu pikirkan, Nak.” Sam kembali menguatkan Nara.
Nara terdiam, berusaha mencari kebenaran dari tatapan Sam. “Lalu, apa sebenarnya yang terjadi pada masa lalu Reinan?”
Sam menghela napas perlahan, menatap ke luar jendela. Di luar hujan rintik mulai turun. Suasana ini mengingatkan dirinya akan kejadian beberapa tahun silam. Saat pertama kali Reinan datang padanya.
**
Sam baru saja akan menutup studio fotonya. Ini adalah minggu pertama ia memulai membuka studio foto. Keputusannya pindah ke Indonesia—tanah kelahiran sang istri sungguh tepat. Di sini ia merasa tenang dan merasa dekat dengan mendiang istrinya. Umurnya yang tak lagi muda, tak memiliki keturunan dan keluarga lain. Karena hal itu ia tergerak untuk ke Indonesia, mengenal lebih jauh di mana dulu istrinya tumbuh besar dan menjadi wanita cantik.
Namun, kala itu seseorang datang padanya. Di saat hujan gerimis turun rintik-rintik, dengan seragam putih abu-abunya yang setengah basah. Pemuda itu berdiri di depan studio foto, menatap jajaran foto karya Sam. Mata pemuda itu terpana dengan foto seorang anak yang digendong pundak sang ayah. Ibu dalam foto itu tampak bahagia dalam dekapan sebelah tangan suaminya. Ketika itu, Sam bisa merasakan kepedihan dan sepi dari manik mata hitam pemuda itu.
“Masuklah, Nak. Kau bisa saja sakit karena kedinginan,” ajak Sam.
Pemuda itu bergeming, hingga ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti Sam masuk. Semenjak itu, pemuda bernama Reinan Wiryawan itu kerap memohon padanya untuk tak memintanya pulang ke rumah. Mengikuti ke mana Sam pergi, berkelana setiap sore mengelilingi kota Jakarta hingga petang. Menangkap setiap siluet keindahan melalui lensa kamera.
Hingga Reinan tumbuh dewasa di bawah naungan pertikaian kedua orangtuanya, dan di bawah bimbingan Sam untuk menjalani kehidupan lebih baik. Akan tetapi, sisi lain Reinan yang tak tersentuh Sam membuat Sam terkejut.
“Uncle, aku benci Mama dan aku benci perempuan,” ucap Reinan.
Kepalanya tertunduk, menatap kamera di pangkuan dengan tatapan kosong. Kakinya terayun ringan, seringan setiap kata-kata yang meluncur dari bibir tipisnya kala itu.
Mereka berdua tengah menikmati senja di Pantai Anyer. Duduk di sebuah kursi sambil menatap ke arah bibir pantai. Sam menoleh pada Reinan, ia menghela napas. Bertahun-tahun Reinan mengikutinya, telah banyak cerita yang ia sampaikan. Tentang papa yang selalu pulang larut malam, tentang mama yang selalu menjerit histeris dan melempar semua barang saat papa pergi dengan perempuan lain, tentang mama yang menyerah dan memilih membenci laki-laki. Dan ... tentang mama yang memilih jalan untuk pergi bersama perempuan berambut cepak bergaya layaknya pria. Mama ... memilih dicintai sesama perempuan.
“Kenapa kamu membenci perempuan? Bukankah kamu lahir dari rahim perempuan?” Sam memancing cerita lebih jauh.
Reinan mengembuskan napas perlahan. “Karena papa berlaku semena-mena terhadap mama sebab perempuan. Dan mama pergi meninggalkanku juga sebab perempuan.”
Sam menghela napas, menepuk bahu Reinan dengan kuat. “Kelak akan ada seseorang yang mengagumkan dan melebur kebencianmu itu, Nak. Percayalah, Tuhan menciptakan ribuan perbedaan. Kelak akan ada sosok perempuan yang Tuhan ciptakan berbeda dengan wanita yang kau benci.”
Reinan mendongak, menatap ke dalam mata berwarna kelabu Sam. Seketika itu juga, Sam paham bahwa Reinan mengerti apa yang ia ucapkan.
**
Nara menatap ke arah jalanan yang basah terguyur hujan. Ia tengah menaiki taksi menuju rumah selesai mendengarkan cerita dari Sam. Tangannya tengah menggenggam sebuah foto. Foto karya Reinan, gadis berseragam abu-abu yang tampak sedang berlari kecil membelah gerimis rintik. Merentangkan kedua tangan dengan wajah menengadah. Itu adalah gadis SMA dengan nama Narayana Pratiwi yang terukir di name tag bajunya.
“Aku menyukainya, Sam.”
**
Nara tersenyum mendengar cerita Sam tentang pengakuan Reinan saat berhasil mendapatkan foto itu. Susah payah menunggu di depan sekolah dan sembunyi-sembunyi mengamati Nara. Saat itu, Reinan belum setenar sekarang. Reinan hanya bekerja sebagai model pengganti dan model majalah lokal. Tapi hobi fotografinya terus berkembang. Kecintaanya terhadap fotografi yang tanpa sengaja mempertemukannya dengan sosok gadis bernama Narayana.
“Maaf, Mbak, sepertinya di depan rumah itu ramai. Sebaiknya turun sini saja,” terang sopir taksi saat menghentikan laju taksi di tepi jalan kompleks.
Pikiran Nara buyar, ia segera membuka kaca jendela taksi. Matanya membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin wartawan dan kameramen tampak berkerumunan di depan rumahnya? Apakah ada sesuatu yang terjadi?
Dering ponsel mengurungkan niat Nara untuk turun dan menutup kembali kaca jendela mobil.
“Ya, Rei?” sapa Nara saat tahu panggilan itu dari Reinan.
“Pulang ke rumah Ibu saja, jangan ke rumah. Aku akan segera membereskanya nanti,” pinta Reinan.
“Iya, tapi ada apa? Kenapa wartawan berkerumunan seperti semut begini?”
“Nanti aku jelaskan. Aku masih di tempat syuting sampai malam. Jangan keluar rumah, minta bantuan Ibu atau telepon Bi Lilis bila kamu butuh sesuatu di luar rumah. Mengerti?” pungkas Reinan.
“Oh, baiklah. Sampai ketemu nanti malam, Rei. Jangan lupa makan.”
Nara segera memutus panggilan telepon setelahnya. Kemudian meminta sopir mengantarnya pulang ke rumah Wina. Entah apa yang sedang terjadi, mungkin ada hubungannya dengan Nara hingga Reinan memintanya untuk tak keluar rumah. Nara mengembuskan napas kasar. Ia semakin paham, menjadi istri super model dengan karier seorang selebgram yang tak sengaja numpang tenar suaminya itu sungguh mengesalkan. Sedikit saja berulah, gosip tak sedap pasti menerjang. Tapi ... apa yang telah mereka lakukan? Bukankah mereka sudah menutup rapat pernikahan mereka? Adakah yang membocorkannya? Tapi siapa?
**
Repost (28-05-2021)
💞💞💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Selebgram in Love
Romansa[Repost] Narayana Pratiwi yang mendadak hidupnya seperti di negeri dongeng. Namun, tak selamanya hidup layaknya di dongeng itu indah. Reinan Wiryawan, laki-laki sedikit bicara yang tiba-tiba meminta asistennya---Narayana Pratiwi untuk menjadi istri...