Dua Puluh

5.1K 211 35
                                    

Hai, ini adalah part terakhir versi Wattpad. :)

Jadi, aku selesai repost di sini, ya. Buat kamu yang mau pesan versi cetaknya masih bisa, kok. Silakan inbox. Versi cetak ada tambahan 8 part dan epilog.

Buat kamu yang suka e-book, Reinara ada di Google Play juga. Jangan khawatir, isinya sama persis dengan versi cetak. :)

Yang suka beli satuan, bolehlah nanti aku posting juga di KaryaKarsa. Biar lebih murah dan bebas pilih mau baca part yang mana. Jangan lupa isi saldo Kakoin via web biar lebih hemat. ^_^

Terima kasih.

Happy reading. Sampai jumpa di ceritaku selanjutnya, Kakak. :)

=========


Sudah sejak setengah jam lalu Nara mematut diri di cermin. Tak banyak yang ia lakukan, hanya mendesah karena sesak atau menelungkupkan wajah di meja rias. Reinan sudah berangkat menemui Lusi dan Mia untuk persiapan jumpa pers nanti.

Segenap resah menyelubungi hatinya. Semalam Reinan hanya bungkam tak memberikan jawaban atau menanggapi pernyataan cinta Nara. Bahkan Reinan meminta Nara untuk tak ikut jumpa pers dan tinggal di rumah saja, mengingat nanti akan ada dari pihak Reno yang akan menuntut Reinan ke pengadilan atas tuduhan penyerangan tanpa sebab.

Harusnya Nara muncul, memberikan keterangan akan apa yang sebenarnya terjadi. Agar Reno tak memutarbalikkan fakta begini. Reinan bisa saja dipenjara bila begini jadinya. Hanya saja mengakui hampir menjadi korban pemerkosaan bukan suatu hal mudah.

Nara menghela napas, ia tak bisa berdiam diri di sini. Tidak. Ia harus bisa menyelamatkan Reinan dari tudingan tak bertanggung jawab Reno.

Getar ponsel di nakas membuyarkan pikiran Nara. Ia buru-buru meraih ponsel dan tersenyum saat mengetahui nama ibunya tertera sebagai pemanggil telepon.

"Ya, Bu? Apa kabar?" sapa Nara. "Kangen."

"Hmm, baru beberapa hari lalu nginep di sini sama Reinan," sahut Wina setengah meledek. "Kamu baik-baik saja, 'kan? Ibu ... sudah tahu berita tentang kamu dan Reinan yang mengamuk di depan wartawan, Nak."

Nara terdiam, mengingat kejadian itu membuat ia sedikti trauma. "Iya, aku baik-baik saja di sini. Reinan juga pasti akan segera membereskan semuanya." Nara memaksakan senyum meski Wina tak bisa melihatnya.

"Pulanglah ke rumah bila kamu lelah. Rumah Ibu terbuka untukmu," imbuh Wina.

"Terima kasih, tapi aku masih bisa bertahan bersama Reinan, Bu."

Telepon Nara akhiri setelah beberapa percakapan ia lalui sekadar bertanya kabar dan kondisi kesehatan Wina.

**

Nara tertegun saat ia hampir beranjak menyusul Reinan. Sesosok wanita berambut sebahu dengan dress ungu tua tampak berdiri di depan pintu rumah. Seulas senyum dari bibir berlipstik merah menyala mengundang Nara untuk membalas senyumannya. Sebelah tangan wanita itu terlulur mengusap rambut Nara.

"Apa kabar, Sayang?" sapanya.

"Baik, Ma. Ayo, masuk. Tidak ada Reinan di rumah, dia sedang ada acara jumpa pers," cerita Nara sembari mempersilakan Laura duduk di sofa ruang tamu.

Laura tertunduk, menatap kedua tangan di atas pangkuan yang saling meremas. "Kamu ... tidak takut sama Mama?"

Nara tersenyum dan menggeleng. "Kenapa harus takut? Setahuku tidak ada orang tua yang akan menghancurkan anak sendiri, bukan?"

Selebgram in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang