Aku sangat bingung dengan siapa yang akan kupertahankan. Aku tidak mau mengurus bayi ini, tapi juga sangat malas melihat Anna jika dia hidup. Aku tidak bisa memilih, tapi tidak mungkin jika aku mengatakan biarkan keduanya mati. Bisa-bisa pencitraanku hancur.
Plok
Seseorang menepuk bahuku halus. Ternyata itu mom. Dia terlihat sedih dan matanya berkaca-kaca.
"Save Anna. Kalian bisa menghadirkan bayi yang lain jika Anna hidup. Biarkan bayi itu pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Mungkin kalian belum siap," saran mom sambil terisak pelan.
"Baiklah dok, selamatkan istri saya. Biarkan bayi itu pergi," ujarku mantap pada sang dokter.
Setelah itu aku disuruh menandatangani surat perjanjian dan berlangsunglah operasi prematur.
30 menit
Aku ditemani the boys dan para istri masih harap-harap cemas.
60 menit
Ele dan Louis telah meninggalkan rumah sakit karena harus melihat keadaan Andrew di rumah.
Sekitar 4 jam berlalu tinggallah aku, mom, Karen dan Billy. Aku agak cemas juga. Kenapa operasi berlangsung begitu lama? Apakah dokter dapat menjamin keselamatan Anna?
1200 menit
Akhirnya salah satu dari kami memutuskan untuk mencari makanan. Billy yang pergi. Sementara aku dan ibu-ibu menunggu proses operasi hingga selesai.
Tak lama ruang operasi terbuka. Seorang suster membawa bayi yang sudah bersih, namun tak bernyawa.
"Tuan Styles, anda sendiri yang akan mengadakan pemakaman atau dari pihak kami saja?" tanya suster tersebut.
"Biar kami saja," jawab mom bahkan ketika aku masih hendak memikirkan jawabannya.
Aku mengambil bayi tersebut dalam gendonganku. Rasanya dingin dan kosong. Apakah Anna merasa dingin dan kosong juga? Tidak. Dia tidak menyadari kondisi ini.
"Tuan, maafkan kami. Nyonya Styles mengalami pendarahan serius. Jadi tak mungkin sadarkan diri untuk beberapa minggu," kata suster tadi ketika kami berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang bayi.
Aku hanya diam. Masih menatap bayi kami yang kini tak bernyawa. Bagaimana bisa Anna terpeleset salju? Sepertinya terakhir aku meninggalkan rumah, dia sedang duduk santai hanya melihat salju. Mungkin ini semua salahku, meninggalkan Anna di rumah sendirian. Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang sudah punya janji dengan teman-teman di luar, yang tidak sengaja ternyata ada Kendall di sana.
Kami sampai pada ruang mayat. Aku dan seorang perawat harus menaruh bayiku di sana hingga pemakaman yang keluargaku buat siap, tentu saja hari ini aku akan langsung mengadakan pemakamannya.
Aku kembali ke ruang inap Anna. Sejak melahirkan enam jam lalu dia sama sekali belum sadarkan diri. Karen terus menangis, begitu pula dengan mom. Mereka berdua terus-menerus meminta pertolongan dari Tuhan kami. Aku sudah putus asa. Kupikir dalam waktu dekat keluarga kami akan berbahagia lagi menyambut anak kami. Tapi apa? Aku dan dirinya malah dihadapkan dengan cobaan baru.
"Harry, mom mau bicara. Ayo pergi sebentar ke kantin. Biarkan Karen dan Billy di sini," kata mom menarik lenganku untuk keluar ruangan.
Aku mengangguk dan berjalan berdampingan dengannya.
"Kenapa Anna bisa ada di luar rumah saat cuaca seburuk itu, nak?" tanya mom saat kami berdua menyusuri koridor.
"Aku tidak tahu, mom. Aku pamit padanya dan bilang ada janji dengan teman," ceritaku pada mom.
"Siapa temanmu itu? Bukankah kau sedang tidak ada acara dengan the boys?" tanya mom lagi.
"Dengan personil White Eskimo. Dan kebetulan sekali ada Kendall di sana. Jadi kami sedikit nostalgia, mom" dengan berat kuhela napas.
Mom tidak bicara apa-apa lagi. Tetapi dia terlihat geram. Semoga saja perkataan jujurku tidak memancing emosinya.
***
Sudah dua minggu aku menunggu sadarnya Anna di rumah sakit. Aku lelah. Aku sama sekali belum menginjakkan kaki di rumah setelah hari itu. Hanya teman-teman yang mengirim support serta barang-barang yang aku butuhkan.
Dokter mengatakan jika minggu ketiga Anna belum juga sadarkan diri, aku hanya diminta untuk bersabar dan semoga saja Tuhan memberikan mukjizat. Entah bagaimana tapi aku ingin Anna hidup. Rasanya sangat sepi, hampa. Aku tidak bisa membayangkan jika Anna pergi, padahal aku sudah mengorbankan bayiku.
Sekali lagi aku menghela napas. Aku tidak ingin ini terjadi. Aku ingin Anna kembali.
"Harry? I'm sorry to hear that," aku melihat siapa yang datang.
"Hi, Ken, it's okay. Ayo masuk," ajakku menarik Kendall masuk ke dalam ruangan.
Kami bercerita banyak. Aku juga jujur tentang Anna yang sudah hampir setahun menjadi istriku. Kendall memberiku banyak ucapan menenangkan. Kadang dia mengelus bahuku atau langsung membawaku ke dalam pelukannya.
Lama Kendall duduk di ruangan ini dan menemaniku mengobrol. Dia harus pamit pulang karena hari sudah gelap. Aku pun berinisiatif untuk mengantarnya, karna tidak baik wanita pulang sendiri malam hari begini.
Sekembalinya aku, ruangan Anna sangat sepi. Tidak terlihat suster yang berjaga. Detak jantung Anna juga sepi, terdengar lemah, aku mengampirinya untuk memberi kecupan selamat malam. Tapi setelah kuperhatikan, ada setitik air mata diujung kelopak matanya yang tertutup. Apakah dia sudah sadarkan diri?
"Anna! Anna!" Aku mengguncang tubuhnya.
"Anna, don't fool me," kataku lagi, mengguncang tubuhnya lebih keras.
Aku tidak tahu bahwa selang oksigen tersebut terlalu kendur, sehingga saat aku mengguncangnya selang itupun lepas. Aku panik melihat Anna yang kesulitan menarik napas. Aku segera memanggil suster.
Suster kembali memakaikan selang tersebut pada hidung Anna. Dia segera tenang kembali. Aku juga bertanya pada suster, apakah tadi Anna sudah sadarkan diri atau belum. Tetapi jawaban yang kuterima ternyata belum. Karena itu akhirnya aku memutuskan tidur di sofa. Aku sedikit membayangkan apa yang akan terjadi jika dari awal pernikahan kami penuh dengan kehangatan. Tapi aku yang membuat aura dingin di antara kami, aku ingin dia menjaga jarak denganku. Tetapi semakin aku menjauhi Anna, semakin gigih dia mengejarku.
Kemudian aku terlelap karna sudah lelah menunggu Anna kembali.
***
-Author's note-
Halo!
Sesuai dengan permintaan readers, jadi Anna yang diselametin ya.
Nah maaf kalo pendek, author sibuk banget hehe :(
Regards, RBF♡
KAMU SEDANG MEMBACA
My Jerk Styles
Fanfic[Harry Styles fan fiction] Aku Annalyn Virgie Finn, seorang fan One Direction sejak umurku 12 tahun. Aku tidak pernah menyangka akan menikahi salah seorang idolaku, Harry Styles. Ibuku dan ibunya ternyata adalah teman lama. Walaupun begitu kehidupan...