Usaha Mengikhlaskan

135 9 2
                                    

Penantian yang panjang juga pengorbanan yang tidak sedikit kelak akan berbalik dan membuahkan hasil yang menyenangkan. Begitu bukan seharusnya? Tetapi, hukum itu tidak berlaku dalam kisah cinta Yuda dan Nisa. Nyatanya, Yuda malah berpacaran dengan Zavira dan kembali berbalik membenci Nisa.

Permainan apa ini? Mengapa semua harus berakhir dengan cara seperti ini? Apakah Nisa terlalu payah hingga pantas untuk disakiti secara berulang? Tidak pantaskah dia berbahagia?

Ini memang kisah cinta yang konyol, terlalu konyol untuk dijadikan sebagai kisah cinta. Nisa yang baru saja merasa bahagia karena pikirnya dia telah mendapatkan cinta dari seseorang yang sejak kecil selalu diharapkannya, tapi rupanya tidak, salah besar. Tuhan punya rencana yang tidak terduga, dengan apiknya, Ia menunjukkan kepada Nisa bahwa Yuda memang tidaklah pantas untuk diharapkannya.

"Kamu itu cantik, sempurna. Kamu bisa dapetin cinta tulus dari siapa pun, tanpa perlu ngejatuhin harga dirimu. Tolong jangan melulu menjadi gadis murahan dengan mengemis cintaku. Apa sebegitu gak lakunya kamu sampai terus mengharapkan cinta yang salah."

Brak!!

Nisa langsung menggebrak mejanya ketika mengingat perkataan terakhir Yuda. Gadis murahan? Apa itu pantas ditujukan untuknya? Dia di sini bertindak sebagai korban, tetapi dia yang disalahkan. Apa salahnya jika meminta kejelasan kepada Zavira, apa salahnya jika dia masih terkaget dengan kenyataan ini? Tidak salah, kan? Tetapi, keadaan seolah terus menyalahkan Nisa dan mungkin inilah titik di mana dia harus mengikhlaskan Yuda.

"Demi apa pun, aku nyesel pernah kenal dan suka sama kamu, Yuda. Aku benci kamuuu," teriak Nisa yang diikuti dengan menumpukan kedua tangannya di atas meja lalu menutup matanya.

Kembali dia terkenang akan semua pertemuannya dengan Yuda. Ironis sekali, Yuda bagaikan dua sisi yang berbeda. Dia baik juga kejam. Dia ramah juga pelara, dia pemberi janji juga pendusta. Dia rupawan juga durjana, dia pelangi juga penghitam. Dia sang pemberi hati juga sang pematah hati. Dia ... iblis tidak kasat mata yang pernah Nisa temui secara langsung.

Nisa terus mengetuk-ngetukkan kepalanya, kesal karena tidak juga dirinya bisa mengikhlaskan sosok Yuda. Lalu otaknya memberikan perintah untuk melakukan hal yang lebih berguna daripada ini, mencurahkan isi hati. Ya, mungkin dengan itu dia bisa sedikit melupakan sosok Yuda.

     Dear Yuda ...

     Aksara ini tidaklah berarti apa-apa, tidak pula berarti bahwa aku marah dengan keadaan yang memaksa kita untuk menjauh. Sama sekali tidak. Di sini aku hanya ingin menegaskan, aku mencoba ikhlas dengan keadaan ini. Meski berat, hal itu tetaplah harus kulakukan. Demi semua rasa sakit ini, demi kita. Demi kebahagiaanmu dan demi kebahagian orang yang dulu kuanggap sebagai sahabatku. Walau aku sendiri tidak menemui arti dari bahagia itu.

     Sungguh, aku ingin tertawa ketika mengingat kisah kita, mengapa begitu konyol? Aku yang sendiri lalu ditemani dirimu, aku yang lemah lalu menjadi kuat karena doronganmu. Aku yang sudah merasakan perasaan nyaman lalu kau tinggalkan dengan begitu. Aku yang kembali dipertemukan denganmu lalu kau lupakan dengan begitu, aku yang berusaha mendekatimu lalu tak kau acuhkan hadirku. Aku yang mulai merasakan hangat cintamu lalu kau berikan kenyataan yang lebih pahit dari perpisahan sepuluh tahun ini.

     Yuda ... andai saja, elok pelangi tak selalu menunggu redanya hujan. Mungkin, luka ini sudah lama kuindahkan dengan senyuman.

--Nisa, mantan pengagum hujan--

Air mata Nisa kembali luruh ketika menuliskan surat ini. Begitu berat dan membuat hatinya tertikam hebat. Tentu mengikhlaskan tidak semudah berucap, 'ya, aku ikhlas', tidak juga ketika kita berkata, 'aku tak apa, tenang saja'. Bukan begitu. Namun, mengikhlaskan harus mengerahkan seluruh jiwa untuk benar-benar melupakan segala kisah buruk yang pernah terjadi. Hingga suatu hari, melalui perjalanan yang panjang kita pernah berkata, 'siapa kau? Apa kita kenal?'.

Yuda NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang