Wanita Pemuisi Hujan

572 18 1
                                    

Aku pernah berkenalan dengan seorang wanita berparas ayu. Dia begitu menyukai hujan dan mencintai puisi, sebab katanya ; hujan dan tulisan yang paling bisa mengekalkan juga menenangkan.

Bersama bising hujan yang bergema menghantam keras-keras aspal jalan setapak, aku sering melihatnya meramu puisi bermodalkan pena dan halaman paling belakang sebuah buku catatan. Dia membentuk rasi huruf, menakar kata-kata dengan bumbu rima dalam bait sempurna terkait. Awalnya kupikir semua wanita memang penuh dengan hal-hal melodramatis. Bersembunyi dengan kata-kata manis kemudian tersudut di pojok ruang dan menangis. Begitupun prasangkaku padanya.

Lantas, setelah sepersekian waktu dari awal perkenalan yang janggal, tak sekalipun aku melihatnya bermata sendu. Atau mendengar kabar dia hilang sejenak dan muncul dengan sayu berwajah sembap. Yang selalu kudapati hanya senyum yang merekah hingga membuat semesta menerka-nerka tentang kenapa dan mengapa dia begitu tegar. Dan kini ada tanda tanya besar bertengger di kepalaku ; pergi kemana air matanya?

Kutanyai semua teman-temannya, satupersatu. Namun jawaban sama yang selalu kudapat, itu-itu juga hingga bosan. Mereka berkata ; perempuan itu terlalu terik untuk meluruhkan hujan dari matanya, bahkan hati yang dia miliki terlalu hangat untuk merasakan gigil perasaannya sendiri.
Lalu, tanda tanya besar mencuat di kepalaku ; akankah dia sepejal itu hingga di hatinya tak ada ruang untuk berduka dan berputus asa?

Dengan segala gemetar dan gemeletuk gigi, kuberanikan diri. Setelah titik yang mengakhiri bait puisinya, aku mencuri waktu untuk bertanya. Sekedar memastikan yang tidak pasti. Suasana berubah canggung, lagu hujan yang disenandungkan awan pun tiba-tiba berhenti terputar dari playlist aspal jalan setapak. Saat itu juga keringat dingin mulai mengalir. Ketakutanku beranak pinak, melipatgandakan emosi yang seolah menikam jantungku. Aku tak mau disangka lancang karena menanyakan yang bukan-bukan. Seketika itu juga deru nafasku menggantung, sepertinya kecemasanku menyumpal hebat diafragma.

Belum lega dari sesak bak anak kucing yang terserang asma, telingaku terjejali gelak tawa darinya-- semakin mengganjilkan kebingunganku yang menjadi-jadi. Tidak berselang lama dari kebingunganku, dia mengklarifikasi bahwa dia sedang menertawai dirinya sendiri. Ditambah lagi permintaan maaf kepadaku atas penolakan-penolakannya terhadap semua kebaikan yang kutawarkan.

Sesaat lengang membawa sadarku dalam lamunan, tapi sesegera mungkin dia menarik sadarku kembali saraya berkata ; aku hanya tidak ingin meruntuhkan pertahananku.
Lalu dia tersenyum sinis. Belum genap lamunan menyeruak di kepalaku, lagi-lagi dia menyuapi tempurungku dengan fakta tentangnya-- tentang pertemuan dan perpisahan, tentang kehilangan dan selamat tinggal yang tak pernah diucapkan, tentang waktu dan takdir yang mengubah satu menjadi dua, tentang caranya menangis dalam diam. Aku seperti disayat, kemudian ditaburi salmuera di atas luka yang menganga. Ternyata seperih ini saat tahu bahwa dia terlampau sempurna menutupi luka dalam tawa. Bahkan aku tak melihat sendu di wajah ayunya saat menceritakan lelakinya yang pergi terlalu dini.

Katanya ; di masa lalu sudah terlalu banyak air mata yang terbuang, suatu pemborosan. Belum lagi air mata yang jatuh tidak mampu mengembalikan yang telah pergi. Maka dari itu air mata tak bisa seenaknya menghapuskan kesedihan. Dan jika aku butuh penghiburan aku akan bernyanyi bersama irama hujan atau sekedar meramu kata dalam puisi, meski dengan bait paling sakit atau dengan rima penuh duka. Sebab aku tak punya tempat yang tepat untuk menangis.
Lalu dilanjutkannya dengan senyum sinis. Tidak, maksudku tidak benar-benar sinis, seingatku begitulah caranya tersenyum-- sedikit sinis tapi terlihat manis.

Sungguh bagiku dia seperti hujan yang datang menenangkan. Dari perkenalan yang janggal dan singkat dengannya aku belajar paham tentang pertemuan dan perpisahan, tentang rotasi waktu dari ada menuju tiada-- untuk menggantikan atau tergantikan. Dari caranya menguatkan dirinya sendiri lewat puisi, untuk itu aku memanggilnya Wanita Pemuisi Hujan. Sudah kuputuskan memanggilnya demikian.

Februari '20
ralwafi

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang