[Piatulah Rindu di balik Pintu Batu]

105 3 0
                                    

Alkisah dari antah-berantah romansa purba tentang elegi. Mendermakan segala luka berkecamuk dalam dada. Kuncup biduri merenggas dalam kematian kala rajutan asa terbentang jarak tak berkesudahan. Memanjang--mengantarkan pecinta pada gerbang setapak perpisahan. Penyair beriring, melantunkan puisi; menusuk sukma--merobek tilam--pecahkan air mata.

Pada kepingan yang terus berjatuhan, begitu terlatih pula kedua tangannya mengusapkan. Pipi yang semakin basah, sementara diksi-diksi didirikannya dengan penuh tabah, melepas yang pergi tanpa adanya salam perpisahan "hati-hati" ataupun "sampai jumpa lagi".

Di sini ada yang harus tumpah, saat hati menagih ketiadaan. Pada kata yang tak lagi sama atau janji yang segaris ingkar. Anak-anak rindu itu kini piatu. Kala seorang pecandu rindu dipaksa melupa sedang tangan masih erat menggenggam. Terkoyak ia nelangsa, bak akar pohon tua di penghujung usia. Hidup sebengis kematian, menari ia di atas pusara, yang dinamakan penantian.

Ia coba menenangkan diri dengan lisan paraunya yang jauh dari kata merdu. Diratapinya begitu dalam kesendirian--sepetak kolam yang memantulkan dirinya memeluk kesepian. Karena baginya, semakin erat mengingat apa yang tanggal, selalu ada sesuatu yang masih tinggal. Entah itu kecupan, harum masakan, ataupun wangi parfum yang biasa di kenakan. Dan pada piatu yang kini tinggal di kepala anak-anak rindu, tanpa Ibu yang telah menjadi abu, kini mereka menangis malu. Meratapi pintu kamar yang tak ingin lagi mereka ketuk, Ayah dan anak sama-sama saling mengutuk. Mereka sama-sama terduduk, melawan kantuk, suntuk dan juga sendiri yang begitu buruk.

: kolaborasi

Bumi, 2017
Ranu Ambara & Sambal Teri Kacang

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang