Menonton Cermin

122 3 0
                                    

Aku sedang memperhatikan orang asing yang kukenal— terperangkap dalam dunia tiga dimensi dan tak mampu bersuara. Seperti menonton televisi dengan volume nol.

Lamat-lamat kuamati ia kian asing di dalam keterasingannya yang kukenal. Namun ia begitu tenang seperti pemabuk ketika subuh menjelang, atau seorang pelacur sehabis ditindih bergantian oleh sekawanan hidung belang.

Aku benci orang-orang yang tenang, mereka kekanak-kanakan. Seperti sepasang kekasih yang saling berpelukan dan berbahagia dan melupakan kisah sedih tentang usaha melewati kehidupan berbahaya. Saat datang kesedihan, semesta adalah satu-satunya kesalahan. Mereka tidak mau tahu jika masih punya alasan lain.

Telapak tangannya adalah kuas untuk melukis sabit bulan warna hitam pada kelopak matanya. Seperti lukisan dengan perasan tinta perasaan yang lembap, dingin dan sangat gigil. Langit bersama kilaunya mungkin sedang kurang sehat. Atau matahari yang perangainya hangat telah ia tinggalkan.

Di dalam mulutnya terdapat banyak kata yang ingin menyerang, selalu siap meledakan isi kepala kapan saja. Seperti kerikil kecil yang menjadi senjata dalam genggaman massa. Namun ia tak mampu bersuara, hanya terkulum dan kata-kata menjadi hantu di gang-gang buntu.

Dirinya adalah rapuh rumah, sisah remah dari rencana yang menjadi bencana sebab ditinggal pemiliknya. Diselubungi jaring laba-laba dan kebisingan yang membentak dari kepala. Tempat peri malam bersayap perih membawa ketakutan— pun segala kesedihan bersarang. Disanalah binatang buas dibesarkan oleh luka dan kecewa, dan siap dilepaskan kapan saja oleh masa lalu di benak pendendam.

Aku menonton cermin, seperti menyaksikan upacara pemakaman diriku sendiri. Keputus asaan selalu bunuh diri dan hidup sekali lagi menjadi sepi.

R A N U A M B A R A
Minggu ketiga ;
Februari 2019

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang