Bait Kurusetra

155 4 1
                                    

Kelak bacalah bait-bait ini, telah kupungkaskan baris yang tak tereja. Bait demi bait yang di dalamnya adalah padang kurusetra, di mana tiap lariknya adalah perkabungan mayat-mayat harap yang bergelimpangan.

Di sepanjang bentang bait-bait ini akan kau temui sayatan-sayatan kecil paling sakit. Kata-kata tidak membawa keindahan, melainkan pedang yang dihunuskan ke jantung penyairnya sendiri.

Di sini kau tidak akan menemukan Tuhan, apalagi tentang keimanan. Di sini hanya akan kau dapati kembang yang selesai kutanam dari ribuan anak panah yang dimuntahkan gandewamu.

Kembang itu kubiarkan tumbuh dengan indah; ada yang berkelopak kuning dan yang bukan kuning, atau warna apa saja yang melambangkan duka Bhisma yang sebatang kara dalam sumpah serapah, menantikan reinkarnasi Dewi Amba menjemput cintanya dalam kematian paling menawan.

Lalu kubiarkan bala pandhawamu menghabisi penyesalan-penyesalan purbaku. Biarkan aku tertidur di sini, sembari meramu kematianku yang ditawarkan mantra-mantra Dewa Sangmuka di dadaku; mengintai desah tawa, memupuk kekalahanku.

Dan sebelum titik yang mengakhiri bait-bait kurusetra, biarkan aku tertidur di ceruk matamu yang dulu— ceruk mata yang pernah merebahkan segala kerinduanku di malam-malam yang sebentar lagi mengulurkan tangannya; di antara usia dan takdir para dewa.

Ranu Ambara
Februari '18

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang