Menolak Lupa; Sejarah Menutupi Darah.

229 5 0
                                    

Bunga berduri kokoh berdiri membela tirani tak manusiawi. Kerangka kembang seakan siap menusuk asa yang mengaguminya. Menjerat derita insani yang menolak bungkam, dalam jeruji bengis atau hilang jiwa tak jelas rimba.

Masih tergambar jelas, perwatakan angkuh seorang lelaki tua, nahkoda haus tahta menjelma raksasa abadi dalam lini masa. Mencekik hak-hak di masa paceklik. Perempuan setengah baya menangis, sambil menggendong bayi dengan isak mengambang di dada. Tak berdaya dipaksa menjual tanah dengan harga murah, demi eratnya temali kongkalikong dengan kaum cukong. Bangsa besar hilang bernanah.

Ketika itu sore bersenja darah, saat selusin lebih kepala yang dibungkam memilih teriak. Menggoyangkan rezim yang menggelar pertunjukan biadab. Banyak aktivis muda tanpa nama menghilang dalam gelap. Di antaranya penyair demonstran yang berorasi lewat puisi. Menghembuskan api revolusi dari dalam parit berlumpur. Raga bersembunyi, suara bergaung di penjuru bumi. Berdiri gagah menolak patuh pada penguasa, meski harus dimangsa; pergi tak pulang--ranggas tak gugur--hilang tak temu. Entah sanggup lari walau akhirnya pasti mati.

Ketika itu segala haru dalam belenggu besi, banjir air mata di tanah terperana. Hujan batu bukan hanya sekedar sejarah. Serak suara patriot terdidik bak seribu gamelan bersuara lantang. Amarah dan air mata berdendang, melagukan nada sumbang berharmoni damai. Terdengar dari dalam lautan darah, terkesan mengancam di telinga kaum hedonis. Jutaan otot dari yang terpilih menghadang, otot kekar tak otak berbisik menikam.

Pijar hitam langit kelam tumpah mewarna. Porak-poranda kala moncong senjata dihunuskan. Ada yang tak seimbang kala itu, pertarungan batu melawan peluru. Hanya ada segelintir kebingungan dalam kelu, peluru dibeli oleh uang rakyat untuk membunuh rakyat. Lancip tajam serupa timah panas merasuk masuk menyusup inti jiwa. Empat malaikat tertidur pulas; tak bangun--tak bernapas. Sisanya luka-luka, tak terhitung jumlahnya.

Kini rezim telah lengser, kemudi telah berganti nahkoda. Semerbak amis darah telah berganti wewangian kamboja dari atas pusara yang masih antah-berantah adanya. Dari nyawa yang hilang serupa harta. Dari jiwa yang dibungkam oleh senjata. Dari mereka yang jatuh dan sengaja dihilangkan. Oleh pundak tegap berjajar bintang, otak kosong nafsu melintang. Indonesia tanah air tokoh tirani. Menimbun peluru aparat dalam sejarah yang kian berkarat. Berharap lupa pada aksara sejarah, namun ini sungguh nikmat untuk dicumbu. Luka pribumi belum sembuh dari kandungan bunda pertiwi yang gugur oleh saudara sebangsa.

Dan kami MENOLAK LUPA!

Dan kami MENOLAK LUPA!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ranu Ambara
Mei 2017

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang